Senin, 02 November 2009

Pengalaman bertemu pak Pudjono

Pengalaman pertama dengan pak Pudjono


Pada hari Minggu sore waktunya lupa, sekitar tahun 1998 aku mengikuti sembahyangan lingkungan di rumah keluarga Anton Saidi. Kebetulan aku yang membawakan renungan dan aku mengajak untuk berdialog berbagi pengalaman dengan semua umat yang datang. Salah seorang yang menyampaikan sharing adalah seorang bapak yang penglihatannya sudah jauh berkurang. Dia men-sharing-kan masalah keluarga yang dihadapi, yang ditinjau dari sisi duniawi dan sisi sorgawi. Dalam hatiku berkata bahwa bapak ini mempunyai sesuatu yang perlu dikorek, digali lebih dalam. Siapa tahu? Sepertinya ada simpul-simpul yang merangsang aku untuk lebih dekat dan lebih mengenal dia.

Selesai doa lingkungan aku mengajak ngobrol bagi yang masih ingin melanjutkan dialog, dan tuan rumah tidak berkeberatan, malah sekalian ikut nimbrung untuk melepas kangen. Bapak tersebut bernama Pudjono yang bekerja di LIPI Bandung. Dalam obrolan tersebut terungkap bahwa pak Pudjono mempunyai kelebihan yang didapat sewaktu merasakan kekesalan tidak lulus suatu mata pelajaran kuliah. Dalam keadaan gusar dan panas dia disuruh bapaknya, mendinginkan diri dengan cara masuk sungai kungkum di malam hari. Dalam masa-masa kungkum itulah dia mengalami penglihatan dan pendengaran yang lain. Di awalnya memang terjadi perang batin yang bermacam-macam. Lama kelamaan pak Pudjono mulai bisa mengendalikan dan merasakan tentang apa saja yang dilihat dan didengar. Mana yang baik dan mana yang buruk mulai dapat dibedakan.

Pada zaman itu kelebihannya dapat dimanfaatkan untuk membeli nomor undian sejenis Nalo atau nomor buntut. Namun juga dapat untuk membantu bagi keperluan lain-lain. Dari pendengaran dan penglihatan yang dimiliki, nyatanya dapat memberikan juga kebutuhan hidup pada waktu itu. Anggaplah, dengan uang seribu rupiah pemberian orang tua, dibelikan nomor undian maka motor DKW sudah bisa terbeli. Hoby berburu dapat dicapai dengan membeli nomor undian, dapat terbeli senjata laras panjang model BSA atau Diana.

Akupun menceritakan pengalaman rohani yang pernah aku terima. Pengalaman rohani di sentuh Tuhan, bukan karena menerima karunia Roh sejenis indera keenam. Aku ceritakan juga sewaktu aku sekeluarga mengunjungi saudara seorang bruder di Tanjungsari, bahwa dia mengatakan :”Dik Dar, sakjane kowe kuwi oleh bendho nanging ora tau diasah. mBok coba diwiwiti bendhone diasah.” Aku ceritakan juga sewaktu aku masih duduk di SMA, sakit dirawat di rumah Sakit dr. Karyadi Semarang. Aku merasa disentuh di perutku oleh orang berjubah putih dan aku sembuh. Pada saat itu aku bisa merasakan dapat melihat yang akan terjadi untuk hal-hal tertentu, dan aku buktikan yang nyatanya betul. Sayangnya setelah aku bekerja dan mengenal uang atau yang disebut mamon itu, lama kelamaan hilang.

Pada akhirnya aku mencoba mengajak pak Pudjono untuk memanfaatkan segala kelebihannya, melihat dan mendengar dimana orang lain tidak dapat melihat dan mendengar, untuk pelayanan kepada umat dan masyarakat. Yang kita terima secara cuma-cuma kita bagikan juga secara cuma-cuma. Mulai saat itu kami berdua sering berkumpul, ngobrol yang lebih rohani, jika bukan disebut yang lebih sorgawi. Pak Pudjono sendiri sebenarnya merindukan orang-orang yang mendapatkan karunia sejenis dan bisa berkumpul bersama, saling menguatkan, saling berbagi. Dia ingin memastikan bahwa pengalaman tersebut bukan rekayasa pribadi. Dia ingin mengajarkan karunia yang diperoleh, namun tidak tahu juga bagaimana caranya.

Rasanya memerlukan waktu yang cukup panjang untuk dapat mempercayai apa yang dia dengar dan yang dia lihat. Apakah hal tersebut betul ataukah ada cara-cara yang aku tidak tahu. Kebimbangan dan keraguan itu berjalan mungkin berkisar dua tiga tahun. Sampai pada suatu ketika aku mengajak teman lain untuk sama-sama menyaksikan dan mengalami sebagai bahan perbandingan, untuk pembenaran diri atau apapun namanya. Dia adalah pak Yohanes Budi Prasetyo yang kebetulan menjadi wakil ketua lingkungan. Pertama kali umat lingkungan tahu bahwa pak Pudjono mempunyai kelebihan, sewaktu ada doa lingkungan di rumah keluarga Agus Budianto. Namun nyatanya pada waktu itu hampir tidak ada yang tertarik untuk mengetahui lebih lanjut. Segala macam keraguan dan keinginan untuk lebih tahu bercampur menjadi satu. Sering kali aku bertanya kepada diri sendiri, benar atau salah yang kami lakukan selama ini. Pada suatu saat aku bertanya kepada Pastor Paroki, Romo F.X. Sukarno OSC. tentang apa yang kami alami dan meminta petunjuknya, sewaktu ada doa di keluarga ibu Sudjana.

Jawaban Pastor Paroki melegakan hatiku karena dia berkata :”Pak Dar, lihatlah buah-buahnya. Apabila buahnya semakin mendekatkan diri kepada Allah, semakin rajin ke gereja, silahkan jalan terus. Namun apabila buahnya malahan menjauhkan diri dari Tuhan, ya tinggalkan saja.”

Seakan-akan aku menjawab :”Terima kasih Pastor, karena yang kami alami adalah malah kerinduan dan kerinduan untuk berkumpul dan menerima ajaran dari yang tidak kelihatan. Yang semakin menyadarkan diri untuk lebih dekat dengan Yesus Kristus Tuhan kami dan Bunda Maria sebagai Bunda Pengantara kami.”

Sewaktu aku melapor kepada pastor C. Kristianto OSC. Tentang pengalaman rohani ini, dia menyarankan untuk ditulis. Dan sayangnya aku belum bisa menulis semuanya, karena memang tidak terpikir untuk menulis, maupun tidak selalu siap untuk menuliskannya. Paling tidak apabila disinggung ke dalam suatu topik pembicaraan tertentu, biasanya secara otomatis jawaban atau wejangan Tuhan akan keluar.

Pengalaman baru inilah yang kami sebut sebagai pengalaman komunikasi rohani yang aneh. Sering kali aku mengharapkan terjadinya komunikasi rohani yang sudah aku siapkan dari rumah. Namun kenyataannya, setelah berkumpul dengan pak Pudjono, dia mengatakan bahwa malam itu sepi-sepi saja tidak ada apa-apa. Dan kejadian seperti ini bisa berhari-hari, tetap sepi tidak ada yang rawuh sampai tengah malam. Pada suatu ketika pernah juga sewaktu aku datang ke rumah pak Pudjono, dia langsung berkata bahwa sudah ditunggu oleh yang di atas. Pada saat lainnya, yang tidak kelihatan berkata bahwa malam itu baiknya ngobrol saja dan tidak perlu ditulis, sebab semuanya sebenarnya sudah ada di Alkitab. Dalam sukacita yang aku alami, rasanya perlu disebarkan dan diceritakan secara pelan-pelan. Pertama-tama aku ajaklah pak Yohanes yang dengan setia bersedia berkumpul bersama, entah jalan kaki, entah naik sepeda motor dan berkumpul sampai pagi.

Satu hal yang jelas, bahwa kita tidak bisa mengatur yang di atas untuk hadir dan ngobrol bersama kami. Semuanya tergantung dari yang di atas dan bisa siapa saja yang hadir menemani kami. Jika yang hadir bukan Tuhan Yesus, dia yang hadir selalu mengatakan bahwa dia yang diutus Tuhan pada saat itu. Dan tidak selalu orang katolik! Paling tidak, hal tersebut menyadarkan kami bahwa surga itu merupakan kasih karunia Tuhan yang dianugerahkan kepada setiap orang yang mau mengikuti ajaran-Nya, melalui perbuatan nyata.

Pengalaman pak Pudjono, dia berkata bahwa yang kudus datangnya selalu dari atas. Berbeda dengan roh yang masih menghuni di bumi ini, yang datangnya seperti manusia biasa. Dari jauh datang mendekat, seolah-olah berjalan seperti biasa dan sejajar dengan kita, malahan ada yang menghormat kepada kita lebih dahulu. Anehnya, yang datang tidak selalu berwujud manusia. Ada juga yang berwujud atau simbul binatang atau malahan seperti dalam cerita pewayangan. Mengapa begitu, aku tidak tahu. Yang jelas memang banyak simbul-simbul yang harus kami coba untuk menterjemahkan, entah benar entah salah.

Pada suatu saat, ngobrolah kami dengan para sesepuh di lingkungan dan aku ceritakan bahwa setiap malam Jumat Kliwon aku sering diundang sembahyangan dalam Bahasa Jawa dari paroki lain. Pak Mardayat sebagai sesepuh lingkungan mengajak, agar pertemuan malam Jumat Kliwon kita buat sendiri untuk lingkungan kita bagi yang bersedia. Dari situlah lingkungan atau malahan dari beberapa umat lingkungan lain bergabung berkumpul bersama, ngobrol yang lebih rohani dan kami sebut sebagai Paguyuban Durpa (sak-sedulur sak-rupa sak-pandonga sak-tuladha, ning nyatane durung bisa sak-rasa). Nama ini sendiri didapat sewaktu komunikasi rohani pada Juli 2004, kebetulan yang hadir pertama bersimbul gajah dan menyebut diri Ki Durpa. Memang kenyataannya komunikasi rohani ini lebih banyak dalam bahasa Jawa, namun peserta paguyuban sendiri campur baur dari Jawa, Flores maupun Batak.

Pengalaman di bawah ini adalah yang sempat aku tulis, walaupun kadang-kadang tidak komplit karena tidak bisa mengejar kata-kata yang disampaikan. Tidak semua bahasa Jawa dapat aku terjemahkan dengan baik, namun setidak-tidaknya sudah dapat membantu bagi yang bukan berasal dari Jawa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jagalah kesantunan dalam berkomunikasi, walaupun diselimuti kemarahan, kejengkelan, tidak puas dan sejenisnya.