Selasa, 10 November 2009

Pengalaman Desember 2004

08 Desember 2004

Malam itu hari Rabu kami berkumpul di rumah pak Mardayat. Yang hadir adalah pak Saan, pak Abraham, pak Yohanes, pak Siahaan, pak Pudjono, pak Mardayat dan aku sendiri.
Simbul pertama yang diterima pak Pudjono adalah dua ekor gajah yang saling bersalaman dengan belalainya. Gajah tersebut saling mendekatkan diri dan akhirnya bergabung lebur menjadi satu.
Simbul kedua yang terlihat adalah kereta kencana keemasan yang tempat duduknya berwarna merah bersih, tanpa kuda tanpa sais. Ada suara yang didengar pak Pudjono yang diperkirakan Tuhan Yesus sendiri :”Iku simbul kamulyan sing paling dhuwur kanggone Gusti. Kita kabeh isih durung wayahe ana palungguhan kuwi, amarga isih kadunungan kadonyan.” (Itu simbul kemuliaan yang paling tinggi menurut Tuhan. Kita semua masih belum waktunya berada di tempat duduk tersebut, karena masih dihinggapi duniawi)

Simbul ketiga adalah tutus, tali yang dipakai untuk mengikat padi di sawah. Kemudian ada suara :”Kowe metua tak utus, bisaa mengku manungsa akeh, lan bisa awoh kanggo wong akeh, bisa nulungi wong liya.” (Kalian keluarlah Aku utus, semoga bisa merangkul manusia banyak, dan bisa berbuah untuk orang banyak, bisa menolong orang lain)

Percakapan selanjutnya menyangkut kehidupan kami sehari-hari sampai berkisar pukul 01.00 yang ditutup dengan doa oleh pak Saan. Pak Pudjono mengatakan bahwa sewaktu berdoa bersama tadi, juga didampingi oleh monyet yang ikut berdoa dan ada jawaban :”Sapa wae melu memuji Allah rak ya becik ta? Mulane aja sok ngece sing ngono, mengko mundhak dilehke. Mulane kowe kabeh kudu bisa lembah manah.” (Siapa saja ikut memuji Allah kan baik saja bukan? Makanya jangan suka meremehkan yang begitu, nanti malah dipermalukan. Makanya kalian semua harus bisa rendah hati)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jagalah kesantunan dalam berkomunikasi, walaupun diselimuti kemarahan, kejengkelan, tidak puas dan sejenisnya.