Selasa, 10 November 2009

Pengalaman Oktober 2004

10 Oktober 2004

Selesai mengikuti Misa sore malam Minggu, aku ke rumah pak Mardayat untuk latihan koor. Maklum untuk persiapan pergelaran paduan suara dan kebetulan aku menjadi ketua panitia penyelenggara. Ibu Sardiman mengabarkan bahwa pak Pudjono berada di Bandung. Kebetulan pula mas Hendrayanto bersama rombongannya pencinta vespa sudah berada di rumah Pasirimpun namun tidak bisa masuk. Kebetulan juga isteriku dan Januaji si bungsu sedang ke Jakarta menghadiri pernikahan. Aku pergi ke Pasirimpun dan minta mas Wira membawa kunci rumah atas. Berkisar pukul 21.00 aku ke rumah pak Pudjono.

Di tengah asyiknya ngobrol, aku bertanya tentang sakitnya Kristin mantunya pak Tamba. Dalam pandangan pak Pudjono, pertama adalah belahan jeruk nipis yang masih segar berair, di atas piring kecil. Setelah itu terlihat cabe merah segar di atas cowet. Kami tidak tahu apa maksudnya. Keluarga tersebut diminta untuk berdoa bersama, dan dipimpin oleh anaknya yang masih kecil. Kemudian diminta menyediakan garam di atas piring kecil. Garam tersebut diambil dengan potongan jeruk nipis dengan cara ditotolkan. Garam yang menempel di jeruk nipis kemudian diusapkan di telapak kaki sebelah kiri. Kemudian diusapkan ke sekitar pusar dan selanjutnya dioleskan ke githok dibawah tengkuk. Sisanya dibuang saja. Doa yang harus diucapkan Kristin adalah :”Gusti, aku njaluk waras, aku njaluk tamba, aku njaluk urip.”
Pak Pudjono melihat bahwa salah satu ginjal kristin masih berwarna putih sedangkan yang satunya sudah mengecil dan berwarna gelap. Masih ada harapan untuk operasi yang mungkin harus ke luar negeri.

Pembicaraan selanjutnya, kami berdua dilambangkan seperti dua orang yang sedang naik perahu kecil mendayung bersama. Dalam simbul binatang kami berdua bagaikan dua ekor kerbau yang sedang dipersiapkan petani untuk membajak sawah, namun kedua kerbau tersebut masih saling mbijig beradu tanduk, walau sudah dipasang kuk.

Sewaktu aku bertanya tentang tulisanku yang mencoba memahami kata-kata Dia. Tuhan mengatakan agar aku menyebarkannya. Dalam hal ini tulisan tersebut masih berhubungan dengan pemberian jubah kuning maupun tongkat gulungan Alkitab waktu dulu. Dari komunikasi rohani ini, aku seperti diminta untuk menulis, mencoba memahami ajaran-Nya yang tertulis di Injil.

Sewaktu bertanya tentang keinginan membuat patung Tuhan Yesus dan Bunda Maria, Tuhan Yesus mengatakan bahwa sebaiknya diberi warna yang jelas. Pakaiannya berwarna putih blacu seperti pada zaman waktu itu yang rata-rata terbuat dari kain katun warna putih. Tuhan Yesus meminta agar patungnya dibuat dengan tangan terbuka, seperti mengajak semua orang untuk datang kepada-Nya dengan penuh keramahan. Wajah-Nya brewok bercambang namun tidak panjang, seperti wajah orang Timur Tengah. Bunda Maria juga berpakaian warna putih dengan kedua telapak tangan terkatup di depan dada, seperti berdoa. Hal itu menyiratkan bahwa Bunda Maria sedang mendoakan semua orang agar berubah dan kembali ke jalan yang benar sesuai perintah-Nya.

Ada wejangan yang cukup panjang dan cukup membingungkan bagi kami berdua. Agama, agemane jalma manungsa kelihatannya bermacam-macam. Ada agama yang berpegang kepada perintah Tuhan, yaitu agama kasih yang menghindari konflik dan perselisihan, karena kasih itu melayani. Ada agama kadonyan (duniawi) yang lebih mementingkan kehidupan di dunia ini, biarpun diselimuti dengan kebaikan dan kebenaran yang sejatinya semu. Yang kelihatannya lebih cenderung dengan pembenaran diri. Agama itu kawruh atau pengetahuan karena belajar mengenal Tuhan tidak ada batas akhirnya. Tidak ada buku atau Kitab Suci manapun yang bisa menjelaskan Allah sampai tuntas, dan itu harus digali, dirasakan, dihayati dilaksanakan dan diamalkan. Semakin masuk kepada Tuhan, maka akan semakin merasakan betapa manusia itu bukan apa-apa, bukan siapa-siapa. Aku tidak tahu apakah hal ini berhubungan dengan cerdik, tulus dan waspada?

Dalam hal kematian kami bertanya tentang orang tua kami yang dibaptis sendiri, dijawab bahwa itu urusan Tuhan. Tuhan Yesus menekankan pentingnya baptisan kepada seseorang dalam keadaan kritis; kalau bisa memakai air yang sudah diberkati. Namun diperibahasakan ekstrimnya bahwa memakai air cucian beraspun tidak masalah, karena maknanya adalah berkat baptisan yang diutamakan. Kami diminta untuk berani melakukan baptisan secara terbuka dan tidak sembunyi-sembunyi, nanti kurang afdol. Demikian juga dalam hal berdoa untuk orang yang akan meninggal, bahwa yang paling penting itu sebelum meninggal agar orang tersebut sadar akan kesalahan yang pernah dilakukan dan dapat bertobat sebelum tarikan nafas terakhir. Hal ini bukan berarti bahwa baptisan saat kritis dan doa sesudah meninggal tidak perlu. Hanya mungkin akan ada yang mubazir apabila yang bersangkutan sendiri “tidak siap atau tidak mau sewaktu masih sadar.” Semuanya diserahkan kepada yang masih hidup ini untuk merenungkannya.

Malam itu kami berdua mendapat wejangan dari Tuhan Yesus yang begitu bersahabat dan setia menunggui kami sampai sekitar pukul 03.00 pagi. Sayangnya aku tidak siap untuk menulis atau menghapalkan ajaran-Nya secara rinci. Namun apabila sedang ngobrol dan berhubungan dengan ajaran-Nya, seringkali ingatan itu keluar dengan sendirinya, bahwa pernah diajarkan walau bahasanya tidak persis sama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jagalah kesantunan dalam berkomunikasi, walaupun diselimuti kemarahan, kejengkelan, tidak puas dan sejenisnya.