Kamis, 05 November 2009

Pengalaman September 2003

09 September 2003

Pada tanggal 9 September 2003 pagi hari aku mampir ke rumah pak Pudjono, setelah mengantar anak sekolah. Kebetulan pak Pudjono juga berniat akan main ke rumah di Pasirimpun. Berdua kami berangkat naik ke rumah atas, dimana ibu dan Hari sedang bersih-bersih halaman.

Sewaktu kami berdua sedang ngobrol di dalam rumah sebelah timur, pak Pudjono mengatakan bahwa ada yang datang. Seorang perempuan dengan pakaian model barat namun kepalanya ditutup dengan kain sorban digulung keatas. Saya berdoa dalam hati "Tuhan, apabila dia utusan-Mu aku mengucapkan terima kasih; Namun bila yang datang utusan iblis enyahkan dia dari sini, karena kami anak-anak Tuhan.”

Saya minta kepada pak Pudjono untuk menanyakan, siapa dan dari mana asalnya. Dia menjawab :"Aku biasa dipanggil sebagai Ibu Kunthi dari Girigondo, daerah Gajahmungkur. Tempat tersebut sering disebut sebagai "petilasan akhir" dari Paku Buwono VIII. Asliku sebenarnya dari Seloning dekat Gunung Merapi, sebelah timur gunung."

Lha koq jauh-jauh datang ke sini, dijawabnya bahwa Ibu Kunthi datang mendampingi ibu yang baru datang dari Solo dan tidur di atas. Kebetulan pak Pudjono melihat dan diajak ngobrol seperti ini.

Apakah Ibu Kunthi ada hubungan dengan wanita bule yang kelihatan di rumah tetangga, dijawabnya bahwa wanita bule yang kelihatan itu berasal dari Gegerkalong dan suka berjalan-jalan di perbukitan; Dia tidak mengganggu, biarkan saja karena bukan urusan kami untuk terlibat dengan dia.

Kami tanyakan tentang rumah yang kami tempati ini, apakah baik-baik saja. Jawabnya baik-baik saja; Namun apabila ingin syukuran atau slametan, sajennya tumpeng lancip ditambah pisang raja setangkep, sedangkan yang lainnya hanya sebagai "ubo-rampe" tambahan. Nasi tumpeng yang ujungnya runcing adalah sebagai simbol untuk menuju yang di atas, yang Satu. Sedangkan pisang raja adalah rajanya segala pisang, sebagai simbol persembahan yang paling baik dan tidak bercela (maklum orang Jawa ?)

“Iku kabeh kanggo nguri-uri sedulur sing uwis ora ana, sebab mbah-mbahmu sing nulungi lan darah daginge dhewe, lha wong nulungi anak putune dhewe. Kabeh iku wis kawaca ana jlentrehane critane (?.) Lha yen kanggo keslametan (damai dan kasih) kaya sing mbok jaluk, coba sendalen slendhang putih sing katon iku.”

(Bagaimana caranya ?) “Mengko yen ndonga, donga lan donga (doa - doa - dan doa yang tidak pernah habis) rak bisa weruh slendang iku; Yen ora biso mengko rak ono uwong sing biso ngudhari. Lha yen arep semedi ngeningake cipta, madhepa ngidul amargo para tamu tekane saka kidul. Bisa ana ngarep kolam apa ana ngendi wae.”

Saya tidak tahu apakah selendang putih itu sejenis stola yang biasa dipakai para pastor, atau ada jenis selendang putih yang lain dan punya makna lain lagi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jagalah kesantunan dalam berkomunikasi, walaupun diselimuti kemarahan, kejengkelan, tidak puas dan sejenisnya.