Senin, 02 November 2009

Sentuhan Tuhan

Sentuhan Tuhan

Pada pertengahan bulan Juli 1997 aku sekeluarga pergi ke Cilacap karena keponakan, anak dari adikku akan melangsungkan sakramen pernikahan pada hari Jumat. Pada hari Kamis malam Jumat aku tidur di luar rumah, di atas panggung yang akan dipergunakan resepsi esok harinya. Hal tersebut dapat dimaklumi karena banyak saudara datang dari luar kota, sehingga tidak ada lagi kamar kosong untuk melepaskan kepenatan.

Malam itu hujan cukup deras dan agak dingin, jadi memang terasa enak untuk tidur. Aku tidak tahu kapan mulai tertidur. Hanya dalam perjalanan tidur aku bermimpi yang cukup aneh dan tidak biasa. Dalam mimpi yang aku rasakan, sepertinya langit gelap gulita dan langit tersebut mendekati bumi. Jarak kegelapan langit semakin mendekat, yang seakan-akan mau runtuh menimpa kami semua. Anehnya aku tidak merasa takut, namun berpikir di dalam hati, apakah hari kiamat akan terjadi? Sepertinya di sebelah sana apakah itu yang disebut neraka? Memang aku mendengar seperti banyak orang yang sedang berebut berbicara, menyelamatkan barang-barang. Suasananya memang terasa mencekam karena dimana-mana, di segala arah yang terlihat hanya kegelapan.

Aku merasa tersadar dari tidur dan yang terlihat memang kepekatan malam hari. Aku tidak tahu apakah aku terbangun atau masih di alam mimpi. Waktu itu yang terdengar hanya suara jatuhnya air yang tertumpah dari langit. Sewaktu aku melihat ke sebelah utara, terlihat ada percikan api dan aku sadari bahwa ada seseorang sedang menyalakan sebatang rokok. Malam itu memang terjadi lampu padam yang kemungkinan karena hujan deras. Nalarku mengatakan bahwa suara yang aku dengar tadi adalah suara ibu-ibu yang memang menyingkirkan barang-barang dapur agar tidak kehujanan. Kegelapan yang aku rasakan karena memang terjadi listrik padam. Dan mimpi tersebut tidak aku pikirkan kembali, aku anggap sebagai bunga tidur yang situasional.

Sewaktu pulang ke Bandung, banyak saudara yang ikut ke Bandung sehingga mobil travel seperti kami borong. Anak-anak terpaksa membolos sekolah satu hari. Pada hari Selasa sewaktu mengantar anak yang masih di TK, aku menunggu di toko buku gereja. Sebenarnya aku sudah sering masuk ke toko buku tersebut dan hanya melihat-lihat saja tanpa ada rasa tertarik untuk membeli sesuatu. Namun hari itu aku iseng-iseng membuka buku secara serampangan. Yang mengejutkan adalah sewaktu membuka tersebut, terbaca tulisan yang berhubungan dengan zaman akhir dan gambaran neraka. Buku tersebut berjudul “Hidup Sejati dalam Allah” tulisan Vassula Ryden. Tulisannya aku anggap aneh karena ditulis dengan huruf Latin seperti tulisan tangan. Tanpa pikir panjang buku tersebut aku beli dan aku baca, kepingin tahu apa isinya. Yang terpikir waktu itu hanya apakah ada hubungannya dengan mimpiku di Cilacap.

Sebenarnya, pada permulaan harus aku akui bahwa aku sedikit merasa bosan dengan komunikasi rohani yang dialami Vassula. Hanya anehnya aku merasa ditarik dengan kuat, terbawa dan merasa semakin masuk dalam bacaan tersebut. Aku semakin terperosok ke dalam buku tersebut dan semakin menyadari bahwa Tuhan Yesus begitu lembut, merendah dan memohon. Permintaan yang diulang-ulang agar aku mau mengikut Dia dan melakukan perbuatan yang sesuai dengan kehendak-Nya. Aku merasakan bahwa Tuhan Yesus dan Bunda Maria begitu dekat dengan aku. Buku Hidup Sejati dalam Allah yang sudah terbit sampai jilid enam aku beli semua. Dan aku semakin merasakan bahwa melalui tulisan Vassula, sepertinya Tuhan Yesus dan Bunda Maria memanggil aku tanpa bosan. Beliau meminta aku supaya berubah dan berubah tanpa pernah memaksa. Aku tidak tahu mengapa mereka berdua terasa begitu dekat dengan aku. Dan aku mulai menyadari bahwa aku harus berubah dan berubah biarpun merasa sulit sekali. Mungkin bisa dibayangkan kehidupan Jakarta dari tingkat paling bawah sampai paling tinggi ada. Kehidupan yang paling lembut sampai paling kasar ada. Kehidupan yang bersih suci sampai yang paling kotor dan hina ada. Akupun mengalami dan merasakan kehidupan malam di tempat-tempat hiburan, berjoget dan minum-minum dikelilingi wanita penghibur. Satu hal aku masih bisa bersyukur kepada Tuhan, bahwa aku belum sampai terjebak masuk ke dalam perbuatan zinah, walaupun kesempatan ada serta tanpa mengeluarkan uang dari kantong sendiri.

Ajakan atau sentuhan Tuhan pada saat itu bagaikan tali-tali kasih yang menjerat semakin erat dan anehnya aku tidak kuasa melawan secara frontal. Kadang-kadang sambil mengendarai sepeda motor aku mendaraskan lagu ajaran bahasa cinta-kasih yang aku ubah sendiri. Tidak terasa suaraku berubah parau dan aku menangis dalam artian mengeluarkan air mata, betapa aku masih begitu jauh dari ajaran-Nya. Beruntunglah karena tidak ada yang tahu karena tertutup helm. Aku bertanya kepada pastor paroki dan dijawab bahwa itu yang disebut karunia air mata. Aku sendiri merasa heran dengan diriku yang mulai berubah begitu gampang terharu mengeluarkan air mata, sewaktu mendengar lagu pujian atau bacaan yang menyentuh hati nurani.

Entah kapan waktunya aku lupa, pagi-pagi aku naik ke lantai atas yang masih terbuka dengan membawa semua buku, majalah gambar dan lain-lainnya. Semuanya memang buku, majalah yang tidak layak untuk ditonton dan dibaca orang baik. Semuanya itu aku dapatkan dari teman maupun membeli sewaktu aku sekolah di luar sana. Semuanya aku bakar sedikit demi sedikit sampai habis. Sebenarnya ada pertentangan batin antara akal budi dengan hati dan jiwa ini. Beruntunglah hati dan jiwa menang dan akal budi ini bisa menuruti kehendak hati. Pembakaran segala macam media sesat tersebut hanya disaksikan burung perkutut di kandang. Aku memejamkan mata sambil berbicara dengan Dia yang intinya semacam sebuah janji untuk mengikut Dia dan melakukan kehendak-Nya sampai akhir hidupku. Namun aku katakan juga bahwa aku begitu lemah dan gampang tergoda oleh gemerlap duniawi ini. Aku membuka mata dan memandang matahari yang sudah keluar dari timur. Aku terheran-heran karena sewaktu aku meram kembali yang terlihat hanya sinar salib atau salib yang bersinar kemilau. Dalam kekagetan itu aku coba berulang kali untuk memastikan penglihatan tersebut salah atau benar. Yang terjadi memang hanya sinar kemilau berbentuk salib!

Apakah semua kejadian ini sentuhan Tuhan? Sentuhan Tuhan Yesus yang datang secara misteri dan tidak aku sadari? Atau, sebenarnya sudah lama Tuhan Yesus menyentuh aku, namun tangan-Nya selalu aku kesampingkan? Ach, entar dulu lah! Jangan ganggu aku, aku sedang sibuk dengan kenikmatanku sendiri, kesenanganku sendiri! Jangan sekarang lah!
Terima kasih Tuhan, Engkau telah mengundang aku yang hina ini. Aku serahkan hidupku hanya kepada-Mu. Namun tuntunlah aku selalu, karena aku lemah tak berdaya bagaikan daun kering yang gampang kabur tertiup angin. Amin.

Mulai saat itu rasanya ada suatu sukacita yang tidak dapat digambarkan atau dilukiskan. Kedadeyan kang tan kinaya ngapa, kata orang Jawa. Perasaan plong, merasa merdeka atau bebas dari tindihan batu yang berat. Mungkin hanya isteri dan anak-anak yang dapat merasakan perubahan dalam hidup yang aku jalani pada waktu itu.

Dari keluarga melarat yang ingin merubah nasib menuju ke kehidupan yang lebih mapan dan terhormat, rasanya menguap bagaikan embun pagi yang hilang tersapu sinar matahari. Rasanya ada harta yang lebih berharga dibandingkan dengan harta kekayaan duniawi. Dan itu jarang aku sentuh biarpun tahu bahwa harta rohani lebih penting, namun karena tidak kelihatan, lebih sering aku abaikan. Memang sekarang inilah saatnya untuk bisa menikmati harta duniawi yang pernah aku impikan, biarpun tidak muluk-muluk. Aku berjanji dalam hati untuk berubah, namun dengan catatan bahwa aku masih manusia biasa yang bukan apa-apa. Aku masih membutuhkan segala sesuatu untuk hidup dengan keluarga.

Dalam sukacitaku, aku memborong buku Vassula dan aku berikan kepada sahabat-sahabat maupun pastor yang sedang ulang tahun. Pada waktu itu, hanya itulah yang dapat aku sharing-kan, yang dapat aku bagikan sebagai kabar sukacita. Harapanku hanya satu, semoga mereka juga mendapatkan sukacita seperti yang aku alami. Aku tidak pernah memikirkan apakah mereka tertarik membaca atau tidak, biarlah Tuhan sendiri yang berkarya menyelesaikan sisanya. Aku harus menyadari bahwa sentuhan Tuhan tidaklah harus selalu sama dengan yang aku alami. Sentuhan Tuhan untuk orang lain bisa dengan cara berbeda, terserah Tuhan saja. Paling tidak aku mencoba berbuat sesuatu menurut perkiraanku pada waktu itu.

Tuhan Yesus, Bunda Maria, tuntunlah aku selalu dan jangan tinggalkan aku walaupun hanya sebentar. Amin.

1 komentar:

  1. Mas Dar;
    Kelihatannya sentuhan Tuhan bisa bermacam-macam ya? Mungkin buku Vassula itu yang perlu diperbanyak dan dibagikan.

    Salam

    BalasHapus

Jagalah kesantunan dalam berkomunikasi, walaupun diselimuti kemarahan, kejengkelan, tidak puas dan sejenisnya.