Jumat, 30 Juli 2010

Pengalaman 29 Juli 2010

29 Juli 2010

Kamis malam Jumat kami berkumpul di rumah pak Mardayat. Aku, pak Pudjono, pak Yohanes, bapak ibu Siahaan, pak Sumeri, pak Hartono dan pak Sugeng dan tuan rumah. Kami ngobrol seperti biasa, sambil menunggu teman-teman.

Sekitar pukul 21.50 kami berdoa bersama menyiapkan diri apabila yang kudus berkenan mendampingi kami. Yang terlihat oleh pak Pudjono adalah simbul peniti, dan kemudian peniti tersebut berputar. Sepertinya terlihat tulisan namun kecil sekali dan tidak terbaca.
Pak Hartono seperti melihat bola berwarna hijau, yang bergerak menyebar ke arah barat sebelah utara, semua terlihat hijau. Padahal di arah lain seperti biasa. Demikian juga pak Siahaan melihat hal yang sama. Pak Pudjono melihat yang hijau tersebut adalah seperti daun kelapa.

Kemudian warna hijau tersibut menghilang, diganti seluruh ruangan seperti berkabut tipis. Setelah beberapa saat, kabut tersebut sepertinya naik ke atas dan menghilang. Pak Pudjono bertanya tentang simbul kelompok Durpa untuk malam itu. Simbul yang kelihatan adalah buah pete. Sewaktu bertanya apa maksudnya, ada jawaban :”Cupet ulate.” Kami bertanya apa yang dimaksud, dijawab :”Durung gaduk.”

Kemudian pak Pudjono melihat simbul seperti gulungan kain putih yang cukup besar. Kemudian yang terlihat satu tusuk sate yang masih mentah, tusuknya terbuat dari lidi. Kami ngobrol tentang penglihatan tersebut karena belum ada jawaban. Hijau sepertinya berkaitan dengan kesejukan, kedamaian. Menurutku warna hijau belum pernah menjumpai, jangan-jangan malah berkaitan dengan yang negatif. Kemudian jawaban yang terdengar :”Gunemmu bisa dirasakake.”
Kami bertanya mengapa berubah menjadi kabut dan ada jawaban : “Isih ragu.”

Kami berdoa kembali semoga Roh Kudus berkenan hadir menyertai kami. Yang terlihat sepertinya simbul wayang Puntadewa. Menurut mas Sugeng Puntadewa adalah tokoh pewayangan yang sangat sakti namun selalu mengalah. Merelakan segalanya dengan ikhlas. Pak Pudjono mendengar suara yang terpotong-potong
:” …….. kanggo uwong akeh
:”Amrih kamulyan Dalem
:”Amrih lestantun
:” Gedhe ganjarane.”
“Puntadewa kuwi crita pewayangan. Yen kowe isih crita pendhem. Tegese isih crita ing awing-awang, isih crita duk semana, crita kang durung dadi. Crita kang isih kok ampet, durung wani diudharake. Gampangane, isih kurang wani.”

“Roh Kudus durung mlebet, sing mlebu lagi roh mangan, roh prajan, roh kadonyan.”

Kemudian pak pudjono melihat simbul manuk panahan yang soliter, dan kami tanya apa maksudnya. Jawaban yang didengar :”Kowe isih berpikir kamulyan Dalem secara duniawi. Neng kono ngemu teges isih kudu menang, isih kudu njago, isih kudu nekakake swara-swara. Becike miturut anggepmu, yen kamulyan Dalem kuwi kudu menang.”
Kami berkomentar apa yang dimaksud dengan ajaran tersebut. Kemudian terdengar suara :” Mulya kuwi ora kudu kalah, ora kudu babak belur.”

Menanggapi pertanyaan pak Hartono, pak Pudjono kemudian bertanya kepada Tuhan, bagaimana menuju jalan ke pintu surga, bagi kami masing-masing.
Untuk pak Pudjono : ”Kudu bisa bersyukur dalam segala hal, dalane uwis ana. Aja berpikir sing ora-ora.”
Untuk aku :”Dalane uwis padhang, ning isih jireh. Tegese durung wani mlaku dhewe yen ora ana rembug.”
Untuk pak Siahaan :”Kiwakna pagaweyan tangan kiwa lan tengen, kudu wani mbanda tangane ana mburi.”
Untuk pak Yohanes :”Kudu wani nyembah. Sakjane durung bisa.”
Untuk pak Hartono :”Kudu wani sumeleh, yen bisa, didum. Donyae ana kono, kudu dibagekake.”
Untuk pak Sugeng :”Donyane isih mungkur, mula mbalika lan ndang cekelen asta Dalem Gusti. Nek tak saranke, mengko ndhak mrina.”
Untuk pak Mardayat :”Donya akherat uwis ana, gari mlaku. Muga-muga ora kesandhung.”
Untuk pak Sumeri :”Ora usah dhisik.” (Mengapa :”Bengi iki durung nyuwun.”)
Untuk bu Siahaan :”Kurang andhap asor. Masih pelayanan di atas. Tuhan masih diatur.”
Untuk bu Mardayat :”Ora usah wae.”

:”Kabeh omongan kuwi saka Gustimu. Mulane aja kowe protes menyang pak Pudjono sing nglantarake. Uwis tutup.”

Jika kami lulus bisa melaksanakan perintah-Nya, terlihat simbul lilin menyala yang lidah apinya masih bergoyang kesana kemari. Suara yang terdengar :”Lumayan.”

Pertanyaan pak Sugeng dalam syahadat para rasul tentang Tuhan mengadili orang yang hidup dan yang mati, dijawab :”Gustimu mengadili orang hidup, tegese Aku milih kowe. Ning kowe isih lunga wae, isih mloya-mlayu wae. Mengadili orang mati tegese kowe ndherek Gusti munggah swarga. Intine kaya ngono, titik.”

Kemudian kami ngobrol sharing tentang segala macam hal, termasuk kesaksian yang dialami masing-masing. Kemudian kami berdoa penutup karena waktu sudah menunjukkan pukul 02.30. Setelah itu kami pamit pulang.

Senin, 26 Juli 2010

Pengalaman 26 Juli 2010

26 Juli 2010

Senin sore sekitar jam 19.00 turun hujan cukup lebat walau sebentar. Aku janjian dengan pak Mardayat untuk kumpul bersama dengan para saudara Durpa sekitar pukul 20.00. Malam itu yang hadir adalah pak Pudjono, bapak ibu Siahaan, pak Abraham, pak Slamet, pak Wahyanto, pak Yohanes, mas Agus Budianto dan mas Agus Sudarno. Kami bersebelas, namun mbah kakung tidak selalu ikut karena kesehatannya.

Kami ngobrol kesana kemari sambil menunggu para saudara berkumpul. Dari awal pak Pudjono melihat simbul yang selama ini dianggap kurang baik, atau berhubungan dengan kematian. Yang terlihat pertama adalah lampu petromax.

Kemudian aku mengajak semua untuk berdoa bersama, semoga yang kudus berkenan memberikan sesuatu yang berguna bagi kami. Yang terlihat simbul teplok kemudian debok (pohon pisang). Selang beberapa waktu terdengar suara agar pak Abraham berdiri dan menunjuk seorang di antara kami sebagai pembuka obrolan malam itu. Pak Slamet yang ditunjuk, kemudian membuka Kitab Suci begitu saja, yang didapat Injil Lukas 18:31-34. Kami saling berkomentar sesuai pemahaman saat itu.

Yang terlihat oleh pak Pudjono adalah seperti tarub untuk perayaan yang dihiasi untaian kertas warna warni. Kemudian terlihat simbul sendok teh, setelah itu terlihat sibori yang ada tutupnya dialasi kain putih. Menurut pak Slamet, kita diajar bahwa kematian tidak harus membuat kita sedih berkepanjangan.

Suara yang terdengar oleh pak Pudjono :”Kanggone uwong urip ora.”
Dalam kenyataan pada umumnya kita akan bersedih jika ditinggalkan oleh orang-orang terdekat. Semua saling berkomentar dan berpendapat untuk mengamini.

Kemudian pak Hartono bercerita kesaksian sewaktu pergi ke Sangkalputung Klaten, patung Pieta terlihat seperti bergerak dan mendesah. Karena penasaran, pada hari lain pak Hartono mengajak isteri dan pak Sugeng pergi ke Klaten bertiga dan mengunjungi patung Pieta. Mereka bertiga mengalami penglihatan yang sama, bagaimana tangan Tuhan Yesus bergerak-gerak seperti kesakitan. Bagaimana Bunda Maria nafasnya mendesah membawa beban tubuh Tuhan Yesus.

Berkisar pukul 22.15 pak Pudjono mengajak untuk merefleksikan gambar bayangan yang ada di pak Hartono hadir di tengah-tengah kami. Yang terlihat oleh pak Pudjono adalah simbul Pieta, Bunda Maria membopong Tuhan Yesus, kepala-Nya terletak di tangan kanan Bunda Maria. Pak Hartono diminta menyampaikan keinginan kalau memang ada uneg-uneg.

Yang terdengar kemudian, sepertinya Bunda Maria berkata :”Ujubna apa, aturna. …… Kowe meneng, rungokna. …… Gulawenthahen, kowe rak bisa.”

Yang terlihat oleh pak Pudjono kemudian sepertinya pak Hartono diberi kalung liontin baiduri bulan yang lebih transparan. Kemudian sepertinya Bunda Maria menyerahkan tubuh Tuhan Yesus untuk dibopong pak Hartono. Harapannya bukan hanya dibopong disangga tetapi malah lebih dekat lagi, dirangkul ditempelkan ke dada bahkan diciumi. Sepertinya pak Hartono belum siap dan belum berani menerima anugerah besar tersebut.
Kemudian pak Hartono diminta berdiri menempel di tembok. Yang terlihat sepertinya kepala pak Hartono dikucuri air dari kendi. Kemudian kendi tersebut diletakkan di atas meja. Kami saling berkomentar, mengapa kendi sekarang di meja dan untuk apa?

Aku mengajak berdoa kembali untuk mengucap syukur, sekalian doa makan malam karena telah disediakan oleh mbah kakung. Sambil makan kami ngobrol kesana kemari.

Berkisar pukul 22.30 pak Pudjono melihat simbul lilin menyala yang sudah memendek sekitar 2/3 panjangnya. Kemudian terdengar suara :”Ngendikane simbul Gusti Yesus.”
Kami berdoa kembali mengucap syukur, dan kemudian kami diberi gambaran perumpaan tentang kami masing-masing untuk malam itu.
Gambaran pak Wahyanto seperti andhong kereta kuda dan seorang anak kecil duduk di belakang.
Gambaran pak Slamet seperti gunungan wayang kulit.
Gambaran pak Yohanes seperti menanam pohon pisang yang sudah berbuah tetapi buahnya kecil-kecil agak kisut.
Gambaran bu Siahaan seperti kain puti dijemur lalu dibersihkan dengan seblak rotan
Gambaran pak Pudjono seperti terlihat telapak kaki yang cukup besar
Gambaran pak Abraham seperti kertas memo yan ditulisi
Gambaran untukku seperti mendorong grobag, cikar
Gambaan mas Agus Sudarno seperti pompa
Gambaran mas Agus Budiyanto seperti sedang mengikat setumpuk pakaian
Gambaran pak Siahaan seperti gunung yang ada terowongan airnya mengalir ke bawah,
dan ada ikan yang naik ke atas masuk ke dalam terowongan air.
Gambaran pak Hartono seperti gelas ukur.
Biarlah masing-masing merenungkan arti gambaran yang telah diberikan tersebut

Kemudian pak Pudjono melihat simbul mutiara di atas di tengah-tengah kami. Selama ini yang kami alami apabila dalam adorasi melihat seperti kunang-kunang, kami yakini itulah simbul Roh Kudus. Apabila menempel di atas kepala seseorang, sepertinya berubah menjadi lidah api kecil seperti api lilin kecil

Pak Pudjono memohon agar Roh Kudus berkenan masuk ke dalam hati kami masing-masing melalui doa yang dipimpin pak Slamet. Setelah berdoa, pak Pudjono memohon agar diberikan gambaran apa yang harus kami lakukan ataupun simbul karya pelayanan kami.

Aku tidak sempat mencatat dan agak lupa semua gambaran tersebut. Bagiku sendiri diberi gambaran seperti membawa sejenis nampan persembahan yang berisi sesuatu dan ada payung.
Tanpa payung kemungkinan besar bisa kehujanan ataupun kepanasan. Yang jelas semuanya baik untuk pelayanan dalam kehidupan ini, walaupun kadang kala tugas tersebut terasa berat. Seperti yang aku ingat bahwa pak Slamet dengan gunungnya harus menjadi pembawa damai, melerai dan mendamaikan dua orang yang sedang membawa pentungan akan bekelahi.

Memasuki tanggal 27 Juli 2010 pagi oleh pak Pudjono terlihat seseorang yang mamakai caping yang masih baru. Kemudian terlihat seperti anak angsa, setelah itu terlihat tangga (andha).

Simbul Durpa pada saat itu spertinya kami sedang naik permainan ombak banyu yang berputar. Suara yang terdengar :”Sok-sok mrinding, sok-sok miris, ning wani. Ya ombak umbuling kahanan. Ning intine kowe tetep nunggang..”

Sewaktu pak Wahyanto bercerita tentang pengalaman dengan mertua yang berhubungan dengan caping, aku bertanya kembali siapa yang bercaping sebelumnya. Jawaban yang terdengar oleh pak Pudjono :”Ki Ujung Pamungkas. Tegese uwis lingsir.”

Kami berdoa penutup yang dipimpin pak Hartono kemudian pamitan pulang berkisar pukul 01.00 lebih.

Minggu, 25 Juli 2010

Pengalaman 25 Juli 2010

25 Juli 2010

Minggu itu aku agak capai karena bersih-bersih halaman rumah dan ingin istirahat siang. Berkisar pukul 15.00 ada telepon masuk, ingin bertemu pak Pudjono dan sudah dalam perjalanan. Kemudian ada telepon lagi dari mas Agus di Karanggayam Gombong ingin bicara dengan pak Pudjono juga. Maka aku segera pergi ke rumah pak Pudjono sambil berpikir harus ikut berbuat apa bagi anak Marcelino yang kejang-kejang. Paling gampang memohon kepada Tuhan Yesus untuk penyembuhan anak tersebut.

Sewaktu sampai di rumah pak Pudjono, dia berkata bahwa tadi sudah ada tulisan yang kelihatan :”Church select god + (simbol salib) slumber (?) God.”
Kami bertanya apa yang dimaksud dengan slumber (schlumberg?) tersebut, dan ada jawaban :”Urut.”

Kemudian datang rombongan tujuh orang yang membawa Marcelino yang kena sakit kejang-kejang. Aku dan pak Pudjono berdoa masing-masing. Kemudian pak Pudjono menyedot dengan meraba tubuh Marcel. Kemudian diulang dengan memakai sarana telor mentah. Aku bertanya apa yang kelihatan dan dijawab bahwa seperti kumbang. Maka aku bertanya kepada keluarga apakah memelihara anjing atau binatang lainnya. Dijawab memang memelihara anjing dan burung. Dari sisi yang tidak kelihatan, biarlah pak Pudjono yang menggarap. Aku hanya menyarankan dari sisi kesehatan, apabila diperiksa secara medis agar ditanyakan kemungkinan terkena virus ataupun bakteri dari binatang peliharaan.

Kemudian pak Mardayat menelpon bahwa keluarga pak Suyono juga ingin bertemu sore hari itu. Kami menyanggupi bertemu di rumah pak Mardayat setelah pukul 18.00.
Setelah segalanya dianggap cukup, maka kami tutup dengan doa permohonan kepada Tuhan maupun para kudus demi kesembuhan Marcelino yang masih berumur enam tahun.

Di rumah pak Mardayat kami bertemu dengan bapak ibu Suyono yang minta tolong untuk keluarganya, agar seperti sediakala. Dalam penglihatan pak Pudjono, yang terlihat tulisan lagi :
Guide of judge
Holy ……  holy life
 SON house gave

Sewaktu ibu Suyono meminta keluarga tersebut harus diapakan, yang terdengar adalah suara :”Umbaren. Mengko yen bosen rak mulih.” Aku mencoba melihat dari Kitab Suci yang memberikan perumpamaan “Anak yang hilang”

Kemudian terlihat tulisan lagi : Churly (?) ……..  or life side.

Setelah mencoba menterjemahkan kata-kata tersebut sesuai kemampuan kami, maka kami berdoa bersama. Pak Sumeri melalui SMS minta bantuan doa untuk anaknya, dan yang terlihat adalah telur mentah.

Pukul 21.00 kami berdua pergi ke rumah pak Linus yang sudah menelpon pak Mardayat. Mereka berdua sedang sakit yang mungkin karena perubahan cuaca, sehingga pegal dan kaku semua. Keluarga Marcel kirim SMS bahwa anak tersebut sepertinya akan kejang, dan aku jawab agar pusarnya dibedaki campuran garam dan jeruk purut. Dari obrolan bahwa sering ada suara di lantai atas, aku meminta pak Pudjono dan pak Linus untuk melihatnya. Yang terlihat oleh pak Pudjono, ada seseorang yang tinggal di lantai atas bernama pak Astra yang berasal dari kalimantan. Menurut cerita pak Linus orang tersebut adalah pemilik tanah dan rumah sebelum dijual kepada pak Linus, yang sudah meninggal beberapa tahun lalu.

Yang kami lakukan adalah berdoa berempat bagi arwah pak H. Astra. Kemudian terdengar suara pak Astra :’ Ya, aku tak lunga mangkat. Ning mengko dhisik tak njupuk sarung dhisik.”
Kemudian oleh pak Pudjono terlihat sepertinya pak H. Astra pergi ke arah barat memakai sarung. Kami mengucapkan selamat jalan.

Berkisar pukul 23.00 kami pamit pulang dan aku mengantar pak Pudjono ke rumahnya. Aku sendiri terus pulang dan menerima SMS dari pak Sumeri minta tolong untuk anak dan saudaranya. Aku jawab bahwa aku sudah sampai di rumah, dan besok saja jawabannya.

Jumat, 23 Juli 2010

Pengalaman 23 Juli 2010

23 Juli 2010

Jumat sore itu aku mampir ke rumah pak Pudjono, sambil memberi kabar bahwa tidak ada telpon dari keluarga yang anaknya kejang-kejang. Mungkin sedang opname di rumah sakit. Dalam penglihatan pak Pudjono, sepertinya ada seorang bapak yang menggendong anak kecil datang , namun tidak ada suara apa-apa.

Berkisat pukul 18.00 yang terlihat simbul rajawali sedang membawa ikan di paruhnya. Sepengetahuanku, ada lagu pujian tentang rajawali yang terbang tinggi. Kemudian di kejauhan terlihat seperti harimau sedang memakan sesuatu. Katanya harimau tadi di daerah Sumpyuh, berarti masih jauh dari Bandung.

Pak Pudjono betanya apakah simbul gereja pada saat sekarang dan yang dilihat sepertinya model menara Eifel berkaki empat dan berwarna kuning, terlihat di kejauhan. Kemudian ada tulisan berjalan :”Christ maneuver life home”.

Berkisar 19.20 terlihat seseorang memakai ikat kepala, mengaku bernama Bong Sutadi. Dia berpesan untuk pak Pudjono :”Ngnehi weruh yen sedulurmu ora ana. Sedulur lanang.” Setelah itu Bong Sutadi pergi.

Kemudian aku bertanya bagaimana mengembangkan gereja basis dan ada jawaban yang didengar pak Pudjono :”Kabeh kudu gelem maca bareng. Awal saka pengertian perumpamaan, banjur berkembang dadi tuladha, meningkat dadi keyakinan, sumrambah dadi pakarya. Ya intine kuwi.”

Kemudian aku bertanya kira-kira kapan bisa bertemu Bapak Uskup, dan ada jawaban :”Apese telung sasi maneh.”

Kami ngobrol sebentar kemudian pamitan pulang karena capai dan ngantuk.

Pengalaman 22 Juli 2010

22 Juli 2010

Kamis siang itu aku pergi bersama pak Pudjono menuju ke rumah pak Mardayat. Kami ada janji dengan keluarga yang anaknya sakit kejang-kejang untuk bertemu di rumah pak Mardayat. Di tengah jalan aku ditelepon bahwa anaknya kejang kejang kembali dan aku sarankan untuk dibawa ke rumah sakit lebih dahulu. Pertemuan masih bisa dilakukan di hari lain.

Kemudian kami mampir dahulu ke warungnya pak Hananto karena mereka juga ingin bertemu dengan pak Pudjono. Ada saudaranya yang terkena penyakit Lupus. Yang terlihat oleh pak Pudjono, obatnya buah kluweg. Bagi anak dan mantunya yang hubungannya sedang renggang, yang terlihat seeekor bebek jantan. Kelihatannya pak Hananto sedang menginginkan seorang cucu, karena terlihat seperti sedang menimang bayi.

Kemudian kami berdua ke rumah pak Mardayat dan ternyata beliau berdua sedang ke rumah sakit menjenguk menantunya. Kemudian kami ke rumah pak Benyamin yang kelihatannya sedang sakit. Dalam penglihatan pak Pudjono, obatnya buah bengkoang dan sepertinya harus memakai kacamata gelap. Hal tersebut diakui bahwa penglihatan salah satu matanya sudah tidak normal. Kemudian terlihat seperti seorang yang berdiri di depan warung memakai tongkat penyangga. Aku mencoba menjabarkan bahwa pak Benyamin harus memperhatikan orang miskin yang membutuhkan bantuan. Hal tersebut juga diakui bahwa selalu ada pengemis yang memakai tongkat penyangga yang selalu diberi lebih dibandingkan denga yang lain.

Berkisar pukul 19.00 kami berdua ke rumah pak Mardayat yang sudah menunggu melalui SMS. Begitu kami duduk, pak Pudjono melihat gambaran anak domba. Aku merasa lega karena biasanya Tuhan sendiri yang akan datang mengunjungi kami. Kami ngobrol seperti biasa karena baru datang.

Berkisar pukul 20.00 yang terlihat kendi dan masih sepi. Kemudian datang pak Siahaan bersama isteri. Berkisar pukul 20.30 yang terlihat gajah tetapi pendek dan kecil dan mengaku bernama Ki Durpa Wasesa. Kemudian berkata :”Mengko sing bakal rawuh Bapa Bijaksana. Saiki aku dhisik sing nemoni, mumpung padhang bulan, akeh sing rawuh. Bengi iki diarani dina paningal, dina padhang. Umume uwong dhisik kanggo berdoa, kanggo pertemuan. Nyadhong dhawuh utawa sowan Gusti. Tak wiwiti nganggo wicara agung, wicara guneman aneh tumrape uwong urip, ananging pener kanggo uwong seda.”

Kami bertanya siapa yang dimaksud dengan Bapa Bijaksana dan dijawab :”Bapa Bijaksana kuwi Bapa tetenger kanggo kowe, Bapa pepadhang, Bapa arah kaswargan, Bapa kang manunggal karo kowe, ateges arah lakumu, arah ……. uwis tut wuri, mung kari nglawehi. Bapa Padhang, Bapa Bijaksana kuwi sapa? Yakuwi Bapa Tritunggal Maha Kudus, Bapa kang menyatu salirane neng awakmu. Mesthine kowe rak uwis ngerti sing tak karepake. Banjur jumeneng nata, sangkan parane arah ngendi? Ana alam kelanggengan, alam kamulyan, alam kepenak. Mesthine kowe rak wis ngerti. Yakuwi titik temune roh kang manunggal, roh kang ditampi Gustimu. Wujude kowe uwis ngerti.

Saiki kowe rak uwis ayem atimu ta?Dadi gambaran padhang, gambaran tekan uwis bisa kok wujudake, uwis bisa kok ciptaake, uwis bisa kok rasakake. Kaya-kaya uwis bisa kok panggonake, bisa kok jlentrehake kanthi nyata. Yakuwi sing kayak ok jaluk mau. Jalukmu rak sawrga ta? Dadi yen kowe dongakake utawa nyuwunake, sing jeneng tetulung marang uwong kang ora ana, caramu kuwi bener lan Gustimu pirsa, lan nyaguhi papan panggonan kang kok suwun , alias nunggil kaliyan Sang Hyang Rama.”

Aku bertanya, apakah maksudnya berhubungan dengan roh yang sudah meninggal minta dibaptis secara roh juga. Dijawab :”Ana kene ora ana batesan baptismu utawa ora. Bedane, yen sing uwis dibaptis bisa sowan dhewe menyang Gusti. Sing durung dibaptis, kuwi jenenge munggah swarga karana kasih, katresnan amarga kok suwunake. Dadi gampangane, kowe sing bertanggung jawab, kowe kang mbukak dalan padhange, nemokake.”

Aku menyela dan bertanya tentang almarhum pak Saan yang katekis dan dijawab :”Yen ndelok saka ngarep mau, pak Saan uwis duwe dalam dhewe. Aku durung krungu dheweke munggah.”

Aku bertanya kembali mengapa dia belum bisa naik ke surga dan dijawab :”Cekake mengkene, Dheweke kurang bisa nggunakake tindak-tanduke lan akale khusus kanggo Gusti. Ketoke isih kurang percaya. Pak Saan tetep ora percaya, ora seneng karo kowe.”

Kami agak kaget dan memohon kalau bisa pak Saan dihadirkan, agar kami bisa ngobrol. Awalnya pak Saan idak mau menemui kami, namun kemudia dia berbicara :”Dongenge kok ora padha karo ajaran sing tak rungokake. Darmono kuwi ngobrol wae, ora gelem dongakake aku. Pudjono aja ketus karo aku. Mbah kakung ora mikirke aku malah ngguyoni wae. Siahaan wani dongakake aku ning kurang pener. Sing didhisikake anake, dudu aku.”

Aku berbicara kepada pak Saan bahwa kami mendoakan namun dijawab ora kanggo. Kemudian di Sukaharja kami bertiga mendoakan malah aku kena denda 300 Salam Maria. Pak Pudjono dan pak Sumeri didenda lebih sedikit. Kemudian kami bertanya apa yang harus kami lakukan agar beliau segera bisa diterima di surga. Kemudian pak Pudjono mengajak kami berenam berangkulan dan berdoa untuk pak Saan, dipimpin pak Pudjono dengan bahasa Jawa. Yang terlihat oleh pak Pudjono, pak Saan merasa senang, kemudian sepertinya mendaki untuk meraih jalan ke atas yang terhubung melalui selendang sutera putih. Selendang sutera ini sama seperti jalan yang harus dilalui untuk menuju kemah Allah sewaktu kami di Sukaharja. Tiba-tiba pak Saan memintaku untuk berdiri, kemudian aku diberi medali hanya untuk aku. Kami bertanya bagaimana untuk yang lainnya. Sepertinya kami semua diberi kartu transparan yang jika diperhatikan , dibolak-balik gambarnya sama, yaitu pribadi kami masing-maing. Aku mengucapkan terima kasih dan berpesan, kalau sudah sampai agar memberi tahu kami.

Kelihatannya belum puas, maka bu Mardayat diberi cincin yang dipakai di jari kelingking kanan. Pak Mardayat diberi sapu lidi, kemudian sepatu sandal. Pak Siahaan diberi kunci baru, bu Siahaan diberi peralatan dapur. Pak Pudjono diberi kunci kontak dan dikatakan bahwa tangan kirinya sudah bersih. Aku diberi asbak yang transparan.

Kemudian terlihat oleh pak Pudjono seseorang bersila namun transparan, di sebelahnya pak Saan duduk. Kemudian berkata :”Aku Gusti Allahmu, kowe uwis ngerti, ora bingung ta?” Kemudian kami berdoa pribadi bergantian.

Pada saat tersebut datang pak Ignatius Slamet berkisar pukul 21.30 dan konsentrasi agak terganggu. Kemudian Allah Bapa tidak kelihatan tetapi Ki Durpa Wasesa masih ada disitu. Komunikasi rohani terganggu karena ibu Mardayat menawari kami makan malam.
Selanjutnya obrolan sudah masuk ke yang duniawi, yang berhubungan kehidupan sehari-hari. Kami pamitan pulang sekitar pukul 01.30.