Selasa, 10 Agustus 2010

Pengalaman 30 Juli 2010

30 Juli 2010

Jumat siang itu aku ditelpon oleh Rini dari Solo, yang menabarkan bahwa adik iparnya Diana sedang sakit. Badanya bengkak-bengkak dan kelihatan wajahnya leih tua. Maudi dan Diana kontrak rumah di Pengging dan membuka warung yang cukup laris.

Anehnya, setiap kali Diana ke belakang mencuci piring atau yang lainnya, dia melihat ada yang selalu mendampingi, Dia bisa melihat yang tidak kelihatan tersebut adalah kakek dan nenek. Akhirnya Diana mengundang pendeta untuk mendoakan di rumah kontrakan yang dianggap angker.

Setelah didoakan pendeta, Diana tidak melihat si kakek lagi, tetapi si nenek masih kelihatan mendampingi. Setelah kejadian itu Diana mengalami sakit dan takut, maka pulang ke Boyolali, sedangkan suaminya Maudi pulang ke Banaran.

Jumat malam aku ke rumah pak Pudjono, menanyakan keadaan rumah kontrakan yang di Penging dan keadaan Diana. Dalam penglihatan pak Pudjono, memang ada nenek dan kakek yang sedang duduk di lincak atau amben bambu. Pakaiannya seperti orang ningrat Jawa.

Akhirnya terjadilah komunikasi dengan yang tidak kelihatan tersebut.
Sewaktu kami tanya, mereka mengaku bernama Mbah Baud dan mbah Sutini. Roh yang sudah tua di kampung Pengging.

Dalam obrolan mbah Baud.berkata :”Anakku telu lanang kabeh. Uwis mati kabeh. Aku ora ngganggu, aku mung arep melu, ngingu iwen (binatang berkaki dua).” Pak Pudjono melihat simbul menthok yang sedang berenang di kolam.

Ketika kami bertanya sewaktu ada pendeta datang , mbah Baud ada dimana, dijawab :”Rikala ana pendhita, aku ming semingkir. Diana kurang turu. Becike kon mangan sayur lompong.”

Kira-kira zaman kapan mbah Baud hidup, dijawab :”Aku wis maewu-ewu tahun zaman dhisik. Aku ora seneng karo kowe, amarga ngundang aku ana kene. Pokoke kowe rene dhisik, rezekine akeh. Pokoke aku ngewangi becik, ora gawe pejah, Sing ora betah (maksudnya yang kontrak rumah) amarga padha gila karo aku. Dikira dirasani ora krungu. Zamanku, kuwi zaman horeg (?). Mung siji loro sing gelem manggon kene. Zamanne jaman mbah Dipa, jaman Ngalengka, jaman sengkolo bumi.Nenek moyangku saka Giri Tirta, Giri Dahana, Giri Laya, Kuwi tlatah kidul Suren. Suren Watu Adeg Merapi. Suren diganti dhaerah Mbengkung..”

:”Aku dikira culika, mangka aku ora. Aku dikira panas, kamangka adhem. Aku dikira durjana, padahal resik.”

Pada zaman itu, yang disembah siapa, dijawab :”Sing disembah Ki Durpa Wasesa.” Kami berkomentar bahwa Ki Durpa Wasesa baru saja menemui kami dalam bentuk simbul gajah pendek. Dia diutus oleh Tuhan yesus.

mBah Baud berkata :”Aku aja dipadhakake karo kuwi. Zaman semana, rupane ora ana, prakteke ana. Mumpuni ning ora ketok. Embuh, aku durung tau weruh, pokoke menangan, tur ijen ora duwe sedlur. Lanangan dhewe, ora duwe bojo. Yakuwi jenenge sesembahanku zaman semana.”

Kami bertanya bagaimana Tuhan Yesus menurut mbah Baud, dan dijawab :”Wilir, tegese wiwitane ilir, wiwitane ana, wiwitane urip, wiwitane gathuk.”

Kami bertanya bahwa katanya penunggu gunung Merapi itu mbah Wulung, apakah kenal, dijawab :”mBah Wulung, mbah Tunggul, Mbah Srana, mbah Kidi, isih tuwa aku. Aku wis ana, dheweke durung teka. Aku mung dhahnyang, tegese gantine unyeng-unyeng.”

Kami kembali bagaimana dengan Maudi dan Diana yang tinggal dirumah kontrakan tersebut, dijawab :”Ora apa-apa. Suk emben tak tunggune.” Apakah mbah Baud mempunyai kesenangan makanan atau minuman, dijawab :” Senenganku keong dibakar. Yen ana ya digawkeake dhisik, ya lagi dodol..”

Kami bertanya apakah kenal dengan Ki Mayangkara, dijawab :”Ki Mayangkara, yen aku ngarani Ki Watu Ireng.Lha lungguhe neng watu ireng. Sakjane dhuwur dheweke tinimbang aku. Aku uwong, dheweke dudu. Dheweke Ki Jalma Wasesa, Ki Jalma Untara,. Untara kuwi gemblung, gebleg, duksina.”

Kami menawarkan apakah kami bisa membantu untuk disempurnakan, tidak dijawab. Kami bertanya lagi apakah tidak ingin masuk ke dalam surga, dijawab :”Pokoke kowe mrene dhisik, mengko tak kandhani, Aku ora tau cekel buku.”

Karena kami anggap cukup, maka obrolan kami akhiri. Kemudian selang beberapa waktu, aku pamitan pulang, karena mas Kardjo dan Priono sudah berangkat ke Bandung. Pak Pudjono merasa kebetulan, kalau bisa malah mengajak berkumpul di rumah Pasiimpun, sambil ngobrol.

Pengalaman 1 Agustus 2010

01 Agustus 2010

Sejak hari Sabtu aku rasanya sibuk sekali, yang membuatku kena flu, karena tiap malam begadang mendampingi pak Pudjono yang juga flu. Sabtu pagi saudaraku dari Solo, mas Kardjo datang bersama Priyono dan anaknya Khrisna menengok aku yang dikira sakit. Padahal sakitku sendiri sudah bulan Mei.

Pak Sumeri dan pak Pudjono berkumpul di rumah menemui mas Kardjo dan keluarga. Disusul pak Yohanes yang mengajak mendoakan orang sakit di Cicaheum. Ada nenek-nenek yang baru dibaptis dan sudah sakit tu.a minta didoakan. Siang itu kami berenam mengunjungi yang sakit.

Sore harinya aku diminta renungan dalam doa syukur keluarga baru di komplek GMP. Pulang dari doa, terus mengantar pak Pudjono yang nunggu di rumah, ke rumah pak Mardayat yang ada perlu bagi anak dan menantu. Terpaksalah mas Kardjo sebentar-sebentar aku tinggal, padahal sudah menyediakan waktu berkunjung..

Minggu pagi mas Kardjo dan keluarga pulang ke Solo naik kereta apai diantar oleh bapak ibu Haji Bedjo dan isteri.. Hidungku semakin bocor karena flu dan kepala agak puyeng. Pukul 09.30 aku bersama isteri pergi ke gereja. Aku duduk di belakang agar tidak menularkan flu kepada orang lain. Rasanya aku lebih sering hang, nggliyeng setengah tidur walaupun ingin mengikuti Ekaristi dengan baik.

Aku tidak tahu bahwa pak Pudjono juga ikut misa kudus pada jam yang sama. Dia agak kaget sewaktu memasuki upacara persembahan, dia melihat bahwa aku berdiri di sebelah kanan pastor Bekatmo yang memimpin misa. Katanya aku berjubah kuning, seperti yang pernah diberikan Tuhan Yesus kepadaku . Dikatakan bahwa aku mendampingi pastor sampai misa selesai Padahal pada saat tersebut aku sedang setengah tidak sadar, walaupun mengikuti misa.

Pulang dari gereja, akupun tidak bertemu dengan pak Pudjono, yang sore harinya langsung pulang ke Yogyakarta. Pada Senin malam di Yogya ada peringatan 40 hari wafatnya Lik Mudji, pamannya pak Pudjono. Aku tahu cerita di atas seaktu telepon pak Pudjono yang sudah sampai di Yogya.

Terima kasih Tuhan, betapa Engkau begitu mengasihiku, walaupun aku ikut perjamuan kudus dengan badan yang setengah sakit dan setengah tidur. Engkau malah mengijinkan aku mendampinhgi pastor Katmo di Altar. Amin.

Apakah ini yang disebut ngrogoh sukma? Karena sewaktu aku jelaskan kepada pak Pudjono bahwa aku setengah tidur, dia malah mengiyakan, begitulah kejadiannya.