Selasa, 02 Oktober 2012

SABTU LEGI DI GUA MARIA WANGON

28 Septembar 2012 Kamis tanggal 27 September 2012, di rumah kedatangan tamu suami isteri, besan dari Jakarta yang kebetulan pas hari ulang tahun pernikahan yang ke 42. Berkisar pukul 11 siang mereka sampai karena kemacetan di jalan. Sebagai tuan dan nyonya rumah yang baik, kami menerima mereka dengan penuh persaudaraan, tak lupa mengucapkan selamat berbahagia bagi mereka berdua. Mereka kami ajak juga untuk menengok rumah kebun yang ada di Pasirimpun, walau dalam keadaan kering kerontang, bahkan ikan ikan banyak yang mati. Mereka kembali ke Jakarta sudah berkisar jam 16 sore. Selamat berziarah besanku, yang akan dimulai tanggal 10 Oktober 2012 selama tiga minggu ke Eropa. Ada hadiah yang belum diketahui pada saat itu, bahwa Hesty putri bungsunya, mantu kami positif hamil di Australia. Malam harinya aku masih melaksanakan pertemuan kelompok Durpa di rumah ibu Mardayat. Yang hadir ibu Saan, pak Sumeri, pak Weking, pak dan ibu Yohanes BP, pak Siahaan, pak Slamet, mas Rudi GG, mas Sugeng Hartono dan malamnya disusul oleh mas Ilut (Mardiyanto). Kami berdoa Rosario bersama dilanjutkan dengan doa permohonan. Selanjutnya diteruskan dengan ngobrol dan doa bagi kesehatan pak Weking. Pertemuan kami tutup berkisar jam 00.30. Gua Maria Beji Wangon Ranjingan RT 05/10 Kelurahan Kelapa Gading Kulon; Kecamatan Wangon Jumat tanggal 28 September 2012, aku dan istri, bu Yohanes Sri, bu Cucun dan bapak ibu Sumeri melakukan perjalanan ziarah ke Wangon, berangkat berkisar jam 0915. Pak Pudjono berangkat dari Jogyakarta dan bertemu kami di Gua Maria Beji, Wangon berkisar jam 16.00. Kami kulanuwun kepada tuan nyonya rumah, suster Marta maupun keluarga pak Patrick dan bu Nining, maupun beberapa warga yang sedang beres beres membersihkan halaman gua. Rombongan kami ada yang langsung berdoa di depan patung Bunda Maria dan ada pula yang ngobrol dengan warga stasi setempat. Sejak sore kami datang, pak Pudjono sudah melihat simbul lilin Paskah besar menyala di depan gua Maria. Terlihat juga gambaran deretan kursi yang telah ditata, sepertinya akan ada perayaan dan banyak tamu yang datang. Kemudian kami bersih diri, mandi dan mempersiapkan diri untuk acara doa bersama yang akan dilanjutkan dengan “ngobrol” bersama. Berkisar jam 19 malam, pak Pudjono melihat seperti gendang yang dibunyikan, sebagai tanda bahwa acara akan dimulai. Kemudian terlihat seperti serombongan orang yang membawa persembahan, dan ternyata membawa “ingkung” ayam utuh yang digoreng dengan segala uborampenya. Rombongan kami berkumpul bersama warga stasi setempat, mengadakan doa bersama, yang dipimpin oleh prodiakon stasi. Terlihat simbol lilin besar menyala tersebut berada di tengah tengah kami. Suasana malam itu begitu indah dan syahdu, karena diterangi oleh sinar bulan yang begitu cemerlang. Doa dan nyanyian serta renungan terdengar begitu indah, dan diteruskan dengan doa permohonan secara bergantian. Setelah doa doa selesai didaraskan, maka dilanjutkan dengan ngobrol dan mendengarkan apa yang dialami dalam komunikasi rohani yang diterima oleh pak Pudjono. Lilin Paskah yang menyala ini, bagi kami menandakan bahwa Tuhan Yesus hadir di tengah tengah kami. Kemudian terlihat gambaran seorang laki laki yang telanjang bulat..Suara yang terdengar :”Yakuwi awakmu dhewe dhewe. Sowan Gusti kuwi tanpa brana, tanpa mahkutha, tanpa bandha.” Pada saat itu terlihat gambaran Tuhan Yesus yang disalib telanjang bulat. Kemudian dilanjutkan suara terdengar :”Uwalna sandhanganmu, rompimu, banjur salibna awakmu, ben bisa tuwuh kasihe, katresnane bareng karo Aku. …. …. kudu wani menyalibkan diri kanggo wong akeh, ora kena nolak yen dijaluki tulung. Udharana tanganmu sing nggegem, amrih bisa ndherek Gusti.Wis, semene dhisik, bahasen bareng bareng.” Kami ngobrol bersama mencoba memahami pesan pesan maupun gambaran yang telah kami terima tersebut. Pak Pudjono memintaku untuk mencoba menjabarkan segala penglihatan dan pesan pesan pendek ini. Sekitar pukul sembilan malam, pak Pudjono melihat simbol bulus di tengah tengah kami. Aku mengatakan bahwa pengalaman komunikasi rohani selama ini, bahwa bulus itu bermakna ibu kang mulus. kang tanpa cacat. Simbul untuk Bunda Maria sendiri. Sewaktu pak Pudjono bertanya tentang nama gua di Wangon ini, suara yang terdengar :”Gua Maria campur adhuk; mung tinggal panyuwunan. Mula sing pinter nggoleki. Sing rawuh bisa beda, ana sing nylinep, melu ndherek ana kene.” Yang bisa aku tangkap adalah, bahwa tempat ini sebelumnya memang sudah dipakai untuk tirakatan, permohonan dengan bermacam sajian. Tempatnya di pohon besar sejenis ki hujan dan beringin, berhadapan dengan gua Maria yang dibangun belakangan. Kita diminta untuk hati-hati karena yang “datang” bisa saja roh yang tidak kita harapkan. Roh-roh ataupun energi di pohon tersebut bisa menyelinap di antara kita. Kemudian acara selanjutnya, sepertinya mengalir yang berkaitan dengan konsultasi pribadi sampai berkisar pukul dua pagi hari. Tanggal 29 September 2012, pagi pagi berkisar pukul sembilan suster Kus mengajak kami untuk berdoa bersama kepada para malaikat agung. Hari tersebut bertepatan dengan pesta para malaikat agung santo Mikhael, santo Gabriel dan santo Rafael. Pak Pudjono melihat simbol bola terang yang selama ini sebagai gambaran Tri Tunggal Maha Kudus. Kemudian terlihat selendang warna warni yang banyak sekali, bagaikan keluar dari gua.. Setelah itu disusul simbol Lilin Paskah menyala. Setelah itu ada gambaran seperti salib atau bahkan seperti layang layang, dimana di setiap sudutnya seperti dibuat lingkaran kecil, yang menggambarkan malaikat agung, berjumlah lima termasuk di sambungan ditengah salib. Beberapa saat kemudian di tengah kami ada gambaran meja dan lilin kecil menyala. Suara yang terdengar agak lucu dan mengherankan :”Nek kowe rawuh sowan Gusti, kuwi sing asring diarani wong edan.” Dalam penangkapan kami, ya memang begitulah karena sering dianggap aneh, tidak seperti manusia pada umumnya. Sampai ada buku “Orang gila dari Nazaret” yang ditulis seorang pastor. Beberapa saat kemudian pak Pudjono memberi tahu kepada kami semua yang bersembilan ini, untuk menerima “Komuni Surgawi.” Kami antri seperti sedang menerima komuni suci dari yang kudus sendiri. (bapak ibu Sumeri, suster Kus, pak Pudjono, bu Erna, bu Sri Yohanes, bu Cucun dan aku beserta istri) Kemudian ada suara :”Tulisen jenengmu dhewe dhewe, sing padha nampa komuni.” Sewaktu pas giliranku menulis nama, ada suara agar aku sekalian menerima sesuatu. Suara yang terdengar :”Iki ticketmu padha tampanana.” Semuanya antri sekali lagi untuk menerima ticket. Pas giliran bu Cucun, dia menerima dua ticket untuk dia pribadi dan almarhum suaminya. Demikian juga untuk pak Pudjono, menerima dua ticket, yang satu untuk almarhum ibunya. Bu Sumeri bercerita bahwa ada suatu getaran sewaktu menerima ticket. Pak Pudjono berkata bahwa ticketnya ibu Sumeri masih berwarna hijau, padahal yang lainnya berwarna putih. Setelah acara komuni dan pemberian karcis, suara yang terdengar :”Wis cukup; lilinne tak patenane ya.” Kami menangkap bahwa acara doa sudah selesai dan kami pindah tempat, karena halaman tersebut akan dibersihkan oleh tukang kebun. Kami mengobrol panjang lebar sampai tengah hari, salah satunya adalah tentang hari Sabtu Legi yang harus dimaknai secara khusus. Aku mengatakan misalnya bahwa Sabtu itu berarti Sabda Tuhan. Legi yang kata lainnya adalah manis bisa dimaknai sebagai “dileg ben maregi”. Mengenyam sabda Tuhan, ditelan agar menjadi kenyang. Kemudian kami pamit kepada para suster maupun ibu ibu yang menemani kami, melanjutkan perjalanan pulang. Terima kasih Tuhan, akan semua peristiwa komunikasi rohani yang kami alami bersama.