Jumat, 31 Januari 2014

Pengalaman mendoakan orang yang sudah meninggal

19 Januari 2014 Sore itu pak Sumeri sudah berada di rumah bapak ibu Pudjono, yang kebetulan berada di Bandung. Kemudian menyusul mas Agus Budianto yang ingin berkonsultasi tentang bapaknya almarhum maupun kakaknya yang kena stroke di Banten. Kemudian aku menyusul datang setelah ditelpon pak Sumeri. Akhirnya datang juga mas Suharto yang kakaknya lagi infus darah di Banjar. Setelah ngobrol kesana kemari dengan suguhan bakso tahu dan wedang ronde, kami mempersiapkan diri untuk mendoakan pak Suwardi almarhum. Dalam komunikasi rohani, pak Pudjono melihat pak Suwardi yang sedang duduk, masih di sekeliling rumah keluarga. Kami berdoa kepada Tuhan dan dilanjutkan kepada Bunda Maria melalui doa Rosario. Pada perpuluhan pertama datang lagi jiwa yang mengaku bernama Neng dan minta didoakan sekalian. Pada perpuluhan kedua datang lagi jiwa yang mengaku bernama Upik dan Adi, yang juga minta didoakan. Sewaktu kami akan menyelesaikan doa, datang jiwa seorang laki laki memakai sarung dan berpeci serta berbaju koko warna putih. Sewaktu kami tanyakan, dia mengaku bernama Rahmat dari Bangkalan. Terlihat pak Suwardi membisiki pak Rahmat agar minta didoakan. Kemudian katanya :”Aku njaluk donga kaya kuwi.” Dan kami jawab sebentar lagi, biar kami istirahat sesaat. Sewaktu kami tanya koq bisa mendekati kami itu, bagaimana caranya. Jawabnya:”Aku krungu saka adoh koq ndongakake pak Suwardi, mula aku ya terus nyedhak. Jenengku koq ora disebut. Aku tetep nunggu dongamu dhisik. Aku bapake Amri lan aku dipundhut tahun 1998. Aku ora bisa bantah-bantahan, sing penting, aku durung tekan.” Sewaktu kami tanyakan, sekarang ini sedang berada dimana, dia menjawab :” Aku ora ngerti kahanane, ning aku kepengin melu kowe.” Kemudian datang kembali jiwa yang mengaku bernama ibu Praba (Purba) yang juga minta didoakan. Biar sekalian saja, maka aku tanyakan juga apakah masih ada jiwa-jiwa yang lain yang bisa didoakan. Terlihat sepertinya pak Rahmat pergi sebentar, kemudian datang lagi bersama ibu ibu tua yang jalannya membungkuk. Ibu tersebut mengaku bernama mbah Karak, yang berasal dari desa Klegon, Banyuwangi Kidul. Kami berdoa kembali seperti tadi. Kemudian kami masih ngobrol ngobrol, sebelum melanjutkan doa safaat bagi yang sedang sakit. Sebagai manusia, memang kami memohon kesembuhan, namun sebagai orang beriman, kamipun akan menerima dengan ikhlas, apa yang dikehendaki Allah. (ternyata tanggal 20 Januari 2014, salah satu keluarga ibu Pudjono menghadap kepada Sang Pencipta di Jakarta) Malam semakin larut dan dingin, maka hampir tengah malam kami semua berpamitan. Besok malam kalau tidak ada halangan akan dilanjutkan kembali.

ziarah 2013

ZIARAH DURPO OKTOBER 2013 Wangon - Lawangsih - Pereng - Gedono - Tawangmangu - Mojosongo Hari Kamis malam tanggal 17 Oktober 2013, kelompok Durpo berkumpul di rumah pak Ignasius Slamet yang tinggal di kompleks Pasirjati. Kami bersepakat bahwa malam Jumat Kliwonan hari itu hanya sampai tengah malam saja. Hal ini karena Jumat pagi kami berempat akan berangkat menuju Wangon, dimana sudah ditunggu oleh suster Kus dan suster Martha. Yang berkumpul malam itu bapak dan ibu Slamet, pak Abraham, pak Sumeri, pak Yohanes, pak Sumadi, pak Siahaan, mas Agus Budianto, Marselus dan aku sendiri. Nikmat dan sahdunya berRosario bersepuluh secara pelan pelan dan dilanjutkan dengan doa safaat spontan dari semua yang hadir. Kemudian dilanjutkan dengan obrolan duniawi maupun yang rohani. Tengah malam kami bubaran dan berpisah. Jumat Kliwon pagi hari berkisar jam 08.00 aku, pak Sumeri, pak Abraham dan pak Sumadi berangkat menuju Wangon. Pak Pudjono berangkat dari Yogyakarta dan akan bertemu di susteran BKK Wangon berkisar jam 16.00. Ternyata kami sudah disambut oleh suster Kus yang begitu bersemangat penuh sukacita. Kami diberitahu bahwa pada pukul 19.00 akan diselenggarakan doa Rosario di ruang pertemuan, dimana kami menginap. Kami akan mengikuti saja doa tersebut sebagai peserta tamu. Bulan Oktober memang dimanfaatkan untuk doa rosario setiap malam. Doa dipimpin oleh prodiakon setempat. Sebagai tamu, kami sowan dahulu kepada Bunda di gua. Pak Pudjono melihat ada lilin besar menyala, dan Bunda Maria memakai mahkota. Suara yang terdengar :”Mengko bengi.” Selesai sowan, kami ngobrol dengan mbak Nining dan suami, yang punya tanah disitu. Sewaktu ngobrol dengan suster Kus, terlihat simbol bintang namun hanya empat sudut.. Aku berkata kepada pak Pudjono bahwa itu simbol salib karena sinarnya yang memanjang. Berkisar jam lima sore lebih, kelompok kami berdoa Rosario sendiri/ pribadi di ruang pertemuan. Pak Pudjono melihat bahwa ditengah ruangan ada meja panjang dengan kursi kursi saling berhadapan. Suara yang terdengar :”Isinen, lungguhana.” Kemudian ada simbol lilin namun tinggi kecil menyala untuk pak Sumeri. Pak Pudjono dan pak Sumadi bersimbol lilin kecil menyala diatas tatakan. Pak Pudjono mengatakan bahwa simbul saya berbeda karena ada tiga lilin berbentuk seperti trisula. Pada saat itu pak Abraham sedang mengobrol dengan suster. Simbol meja kemudian hilang dan berubah menjadi simbol jam yang menunjukkan angka jam 18.00. Aku melihat jam tangan dan memang menunjukkan angka tersebut. Kemudian terlihat simbol gajah, yang sewaktu ditanya ada suara jawaban bahwa gajah tersebut bernama Ki Wasesa. Kemudian terlihat simbol lonceng gereja yang ujung atasnya menempel lima kain sutera berwarna putih terjulur ke bawah. Suara yang tedengar :”Gulungen dhisik.” Kemudian pak Pudjono melihat seseorang seperti biksu berselendang biru mengkilap, setelah itu dari arah timur masuk seekor kuda putih namun kecil. Sampai dihadapan kami, kuda tersebut duduk. Suara yang terdengar :”Wengkonmu.” dan pak Pudjono melihat tulisan seperti running text :”HILL.” Sesaat kemudian pak Pudjono melihat roh suster Kus berjalan dari timur menuju ke kami. Pak Pudjono bertanya apakah yang terlihat itu kembaran suster Kus atau sedang ngogoh sukma. Yang terdengar seperti suara :”Vibi.” Setelah kami tanyakan maksudnya, ada suara jawaban :”Vibi tegese slamet, bahagia, titis. Jaran putih iku tunggangana, aku sing nuntun.” Sepertinya yang naik kuda pertama adalah pak Sumeri, yang memegang tali kuda bhiksu yang terlihat awal dan mengaku bernama Bhilahl. :”Ya kuwi jenengku, tegese kumat. Aku pengembara..” Suster Kus berjalan di depan kuda menuju ke gua Maria. Kemudian mereka kembali menjemput pak Abraham. Aku tidak naik kuda namun berjalan kaki di belakang. Yang terakhir, pak Pudjono dan pak Sumadi naik kuda berdua. Setelah doa pribadi selesai, kami makan malam duluan bersama suster, sebelum para tamu datang untuk doa rosario. Sewaktu berdoa rosario bersama, suasana sepi dan hanya terlihat simbol lilin menyala. Kami ngobrol bersama warga setempat, kemudian suster Kus mengajak kami untuk berdoa di depan gua Maria. Ternyata malam itu hampir semua orang yang hadir ingin berkonsultasi dengan pak Pudjono. Akhirnya malam itu dimanfaatkan dengan doa pembuka dan diteruskan dengan konsultasi pribadi yang tidak tertulis disini. Acara berlangsung sampai tengah malam Sabtu pagi tanggal 19 Oktober 2013 kami berdoa bersama dengan suster Kus di depan gua Maria. Suasana juga sepi walau terasa semuanya terang benderang. Kemudian pak Pudjono mendengar suara sewaktu bertanya nama saat itu untuk gua Maria. Yang terdengar :”Tangisana awakmu dhewe yen arep pinter. Sejatine awakmu kuwi ringkih. Tegese gampang kegodha, gampang yen dijawil mengo. Dalam hal memandang indahnya dunia, dalam hal keselamatan saka Allah. Dadi sing muncul malah reribet, dudu kanyatan kahanan kang nyaman. Coba pikiren dhewe kahanan kang nyaman. Gampangane kowe kang nampa kanyataan. Gampangane kowe kang ora perlu dibandhingake karo uwong kang amek pangan.” Kemudian terlihat simbol salak dan pak Pudjono memberi tahu untuk doa permohonan pribadi secara spontan, yang dipimpin oleh suster Kus. Setiap orang yang berkumpul berdoa cukup keras, yang dapat didengar oleh yang sedang berkumpul. Pak Abraham diminta agar tidak dibatin :”Ngomonga sing seru.” Kemudian setelah doa spontan, pak Pudjono melihat simbol lilin menyala dan suara yang terdengar :”Sing weruh lilin kuwi, wis weruh pepadhang. Nanging isih durung koq cakake, durung bisa ngawekani. Kersaning Gusti, kowe kudu bisa tatas titis. Gampangane bandhel lan kuwawa, ananging atine durung tekan. Ndhak diarani golek bala; ndhak diarani golek brana. Kamangka jane kuwi ora nyingkur dhawuh.” Lha caranipun kados pundi? Suara yang terdengar :”Carane ya mung kudu metu; niat ingsun ngawula ndherek Gusti, amrih kaleksananipun kersa Dalem, sadaya manggiha slamet ing alam padhang lan samangke. Intine kowe kudu bisa dadi gantine Gustimu, dadi pepadhang sa madya. Intine kowe dadi panuntun alam padhang. Ana kene ngemu teges nuntun nganti tekan slamet. Dongamu “Doaku menyertaimu sampai akhir jaman.” Pesan untuk suster Kus :”Mari mati ndherek Gusti, ora kudu ana kene.” Aku merasa yakin bahwa suster bisa menjabarkan sendiri, setelah sebelumnya kami mengobrol. Kami merenung sejenak, kemudian terdengar suara :”Majua siji siji, arep tak berkati.” Suster Kus maju, setelah diberkati, sepertinya menerima sebuah peci, tutup kepala. Disusul pak Abraham dan yang dilihat pak Pudjono sepertinya pak Abraham diberkati namun juga dijewer telinganya. Setelah itu disusul pak Sumadi dan ada suara :”Baik-baik saja.” dan diajak bersalaman. Pak Sumeri maju dan diberkati, dan kemudian diminta menghadap ke kami untuk mendoakan kami semua. Pak Sumeri diminta untuk memberkati pak Pudjono dan aku. Pak Pudjono sampai menangis dan merangkul pak Sumeri. Aku mengucapkan terima kasih; dan sewaktu aku naik ke atas untuk meminta berkat lagi, suara yang terdengar :”Ora kanggo. Wong wis diberkati.” Ini pelajaran baru bagi kami sekelompok, bahwa berkat yang datangnya dari Tuhan bisa disalurkan oleh awam yang dipilih Tuhan sendiri. Mungkin agak berbeda dengan berkat dari gembala tertahbis. Setelah kami duduk kembali, pak Pudjono melihat simbul ketupat. Suara yang terdengar :”Pemberian nasi dibandingkan dengan ketupat berbeda nilainya.” Beberapa saat kemudian pak Pudjono melihat dan mendengar suara :”Sang Hyang Widhiwase wis rawuh, sembahen ..... padha njempalika ..... Wis... Gusti wis kondur.” Semuanya bersembah sujud dengan caranya masing masing bahkan ada yang sampai menangis. Saat tersebut mungkin hanya beberapa detik saja, tidak sampai satu menit… namun membuat hati berbunga bunga penuh sukacita. Setelah suasana reda, terlihat simbul dipan, tempat tidur seperti di rumah sakit namun ada bantalnya. Pak Pudjono juga melihat seseorang yang dari kemarin sudah berada di depan gua. Orang tersebut sedang berjongkok di depan patung Bunda Maria. Suara yang terdengar :”Iki uwong kang lagi nyantrik. Jenenge Damianus saka Gunung Kidul..” Sewaktu pak Pudjono bertanya kepada seseorang tersebut, suara jawaban yang terdengar :”Aku durung ana gantine. Pokoke aku isih seneng ana kene. Berkat Tuhan ora kudu enggon sing rame, sing mapan, enggon sing jumeneng nata. Berkat Tuhan ana ngendi wae bisa. Sing mberkati bisa, sing diberkati ora sembada. Sak jane aku kepengin ditunjuk Gusti dadi uwong kang bisa ngaturake permohonan. Jane kowe wis weruh, ning kowe ora ngerti wiwit ndhek wingi.” Waktu ditanya sejak kapan di gua ini, suara jawaban yang terdengar :”Kowe tak kandhani ya ora ngerti dina lan tanggale. Dina dinaku padha karo Gusti. Yen kowe isih nganggo dina awan lan bengi. Ana kene dipatrap ora nganggo dina. Isaku mung menghubungkan kepada Bunda.” Sewaktu kami bertanya apabila karena sesuatu hal, gua tersebut dipindahkan di tempat lain, ada jawaban terdengar :”Berkate tetep padha, sing beda caritane lan lakune.” Sewaktu kami bertanya tentang kuda putih, ada suara :”Sing duwe Meneer Brovenhagh (?). Dheweke mati amarga dikuya kuya karo wong Jawa.” Pak Pudjono melihat seseorang berpakaian jas putih, berkacamata kecil tanpa tutup kepala. Kami bertanya apakah mau didoakan, ternyata mau dan akan ganti pakaian dulu. Setelah berganti pakaian kami meminta suster Kus yang memimpin doa dan kami doa spontan. Setelah itu ada suara :’Matur nuwun, mangke kula padosi marginipun (jalan keselamatan)”. Sebagai penutup, kami berdoa melalui pak Damianus. Kemudian terdengar suara :”Wis ya, lawange tak tutup.” Aku mengartikan bahwa, apabila kita ingin berdoa di gua Maria Wangon, pertamakali kita bisa berdoa ”kulanuwun” kepada pak Damianus bahwa ingin bertemu Bunda Maria. Kita bisa membayangkan bahwa gua tersebut ada yang menjaga di luar. Setiap tamu yang datang akan bertemu dengan penjaga. Penjaga tersebut akan menyampaikan kepada Bunda bahwa ada tamu yang ingin datang mengahadap. Setelah ngobrol panjang lebar dengan suster Kus, kami semua berpamitan kepada suster maupun para ibu yang sedang menghias altar. Kami melanjutkan perjalanan menuju Sentolo, ke paroki Nanggulan dan terus ke gua Maria Lawangsih. Pak Sumeri menghubungi mas Sugeng yang sedang berada di Klaten, apakah bisa bergabung dengan kami. Kami bertemu mas Sugeng yang sudah sampai duluan dan menunggu di warung berkisar jam 17.30 dan agak gelap. Walaupun gelap, kami mencoba untuk melakukan ibadat jalan salib pendek. Suasana begitu sepi dan tak terlihat apapun. Memasuki pemberhentian IX, pak Pudjono melihat orang yang telanjang. Pada pemberhentian X, pak Pudjono melihat bende dan mewakili kami semua, pak pudjono memukul bende tersebut, Pada pemberhentian XI, pak Pudjono melihat gender namun modelnya diberdirikan Pada pemberhentian XII, pak Pudjono melihat tumpukan kertas dan kami diminta untuk mengambil satu lembar dan ditulis nama kami masing masing, kemudian ditempelkan di diorama. Pada pemberhentian XIII, pak Pudjono melihat gumpalan bundar, campuran wijen dengan madu diatas piring. Aku bercerita bahwa itu seperti makanan orang jaman Yohanes Pembaptis. Di Israel ada tumbuhan yang disebut pohon belalang, buahnya biasa dimasak dan dicampur dengan madu, kemudian didinginkan menjadi seperti roti wijen. Sewaktu kami sampai ke Gua Maria Lawangsih, pak Pudjono melihat simbol gelang. Pengalaman selama ini biasanya berkaitan dengan pekerjaan. Kami berdoa masing masing dan kemudian cuci muka dengan air sendang yang berada di belakang patung Bunda Maria. Kemudian kami berdoa di panti semedi, yang merupakan lorong gua di sebelah gua Maria. Didalam sudah ada patung Tuhan Yesus, dima kita bisa berdoa ataupun bersemedi. Seaktu pak Pudjono bertanya, ada suara jawaban :”Gua Maria minangkani jabang bayi. Gua Maria asal usul jabang bayi. Gua Maria kangge mbopong anak. Dongane :Gampil caritane, cepet tuwuhe.” Sewaktu bertanya nama panti semedi, suara yang terdengar :”Panti lukaring asma brana. minggah dhumateng asma astana anyar. Munggah drajate, wonten peningkatan kawruh.” Kemuian ada suara :”Nek komunikasi rohani ana kene aja kesusu, mundhak ngganggu kancane.” Setelah itu, kami keluar dari gua untuk membersihkan badan maupun makan malam seadanya. Pak Pudjono mengatakan bahwa aura kuat yang terlihat hanya di patung Bunda Maria. Sore itu masing masing berdoa rosario di hadapan patung Bunda Maria. Kemudian kami ngobrol dengan pak Andreas yang merupakan salah satu tokoh yang membangun gua Maria Lawangsih ini. Sebelumnya gua tersebut memang menjadi sarang lawa (kelelawar) yang kotorannya dimanfaatkan oleh penduduk untuk pupuk tanaman. Mereka berjuang dan bergotong royong membersihkan gua, menghancurkan batu kapur agar menjadi halaman datar untuk warga yang ingin berdoa. Sebenarnya warga sudah mempunyai gua Maria Pangiloning Leres, yang bersebelahan dengan gereja Santa Maria Fatima stasi Palem Dukuh. Rencananya akan dibuat jalan salib panjang yang mungkin berkisar satu - dua kilometer. Dari gua ke gua menembus hutan. Sebenarnya aku ingin bertemu dengan keluarga pak Tukijo dan pak Suminto. Mereka besanan dan kedua anaknya kebetulan tinggal di Bandung dan satu lingkungan. Ternyata Nanggulan dan Lawangsih cukup jauh. Jalan malam rasanya sulit bagi kami karena jalan sempit dan naik turun cukup curam. Kami bermalam di gua panti semedi setelah tidak ada pengunjung sama sekali. Biarlah kami melakukan doa hening sampai tertidur, walau di kaki terasa cukup dingin. Pak Pudjono tidur di belakang altar. Minggu pagi tanggal 20 Oktoer 2013 kami berjalan kaki, mengikuti perayaan Ekaristi di stasi Palem Dukuh yang dipimpin oleh romo Ignasius Suharyono. Kami masih sempat ngobrol dengan beberapa warga di stasi tersebut. Sewaktu perayaan belum dimulai, pak Pudjono melihat di altar segalanya seperti berubah. Yang terlihat bagaikan suatu taman yang hijau subur. Dalam taman terlihat banyak sekali macam binatang, namun semuanya berbulu putih. Taman tersebut sepertinya dikelilingi oleh banyak suster. Di sebelah kiri taman terlihat para suster yang berseragam warna coklat, sedangkan yang sebelah kanan berseragam warna putih biru. Sepertinya mereka sedang bersukacita dan bernyanyi puji pujian. Pada saat memasuki liturgi Ekaristi, semuanya di dalam taman tiba tiba hilang dan diganti hanya ada Anak Domba. Para suster yang ada, semuanya menyembah kepada Anak Domba. Kami menerima Tubuh Kristus dengan gembira, karena pengalaman rohani ini. Kamipun percaya bahwa seluruh umat yang hadir merasakan sukacita, dengan cara masing masing walaupun tidak melihat. Selesai perayaan, kami sempat ngobrol dengan pastor, namun tidak bercerita tentang pengalaman rohani ini. Keraguan atau kebimbangan ini ternyata bisa menjadi batu sandungan, jika mengingat pesan pesan di Wangon. Risikonya, paling tidak dipercaya, dicemoohkan atau sejenisnya, dan itu mestinya sudah menjadi bagian salib yang harus kami pikul. Ternyata duniawi lebih kuat. Kami melanjutkan melihat dari dekat gua Maria Pangiloning Leres. Ternyata disitu sudah banyak umat yang sedang berdoa Rosario. Kami tidak berhenti namun berjalan ke sebelah dan memandang patung Tuhan Yesus yang cukup besar, menjulang di atas bukit. Sewaktu kami kembali ke gua Maria Lawangsih, ternyata sudah banyak para peziarah yang datang, karena akan diselenggarakan perayaan Ekaristi pada jam 11.00 siang. Kami memang merencanakan untuk tidak ikut merayakan missa di gua, karena akan melanjutkan perjalanan ke Getasan Kopeng, Gua Maria Pereng. Sebelumnya kami sarapan di warung di bawah gua Maria Lawangsih, cukup pecel mie dan minum kopi. Juga mencoba merasakan makanan khas, yaitu geblek dan gembel yang terbuat dari aci, dimakan bersama tempe bacem. Berkisar jam 13.30 kami baru sampai ke Gua Maria Pereng, Getasan. Kebetulan hari Minggu itu merupakan ulang tahun kedua, perayaan langsung dipimpin oleh Mgr Pujasumarta pada pagi hari. Sayang, kami tidak bertemu beliau yang sudah kami kenal, karena kami melakukan ibadat jalan salib dahulu. Sebelum ibadat, aku bertemu teman yang pulang kampung ke Kartasura namun aku lupa namanya. Demikian juga pak Sumeri bertemu temannya yang tinggal di Yogya, setelah ibadat selesai. Sebelum ibadat jalan salib, kami berdoa dan menunggu rombongan di depan kami agar menyelesaikan doanya. Pak Pudjono bertanya dan ada suara jawaban :”Yen Gusti maringi aran, Gua Maria Terucuk. Tegese lantip; ziarah kanggo wong wadon uteran, wong wadon kang jumanggit, kang kuwel, kang ora duwe pamrih.” Pak Pudjono melihat ada simbol piala putih, lilin besar menyala dan mendengar suara :”Samubarang becik mesthine dadi becik.” Dalam penglihatan pak Pudjono bapa WAHYU DUMADI memeluk salib, dan ada seseorang berjubah putih, hidung besar mancung yang mengikuti. Sewaktu ditanya ada suara jawaban bahwa dia St. Dominikus, cirinya ada tanda salib di dada. Juga sering disebut sebagai Saint Arabic. I. Tuhan Yesus dihukum mati Pak Pudjono melihat ada hio warna putih dan kami diberi satu satu. Suara yang terdengar :”Iki jenenge upet; iki ya persembahan ya gaman.” Kemudian terlihat bintang sudut empat warna kuning dan suara :”Bintang iku simbul kamardikan kanggo wanodya.” II. Tuhan Yesus memanggul salib Terlihat simbol gajah yang dinaiki seseorang. Kemudian suara terdengar :”Aku bapa Sawiyos Mukti. Tetumpakane wong kang ngasta sebagai pewarta. Becike kowe aja mundur, kowe kudu wani gocekan kenceng ana salib.” Kemudian terlihat simbol cawan besar berisi air terbuat dari kuningan. Suara yang terdengar :”Tanganmu durung resik, padha wisuha dhisik, lagi nerusake laku.” Kami semua “membasuh tangan” secara bergantian. Kemudian terdengar :”Wis, mlakua maneh.” Bapa WAHYU DUMADI yang memanggul salib masih ada, kemudian terlihat rosario berwarna putih seperti mutiara, namun butirannya terlihat rapat sekali. Suara yang terdengar :”Iki jenenge rosario awal; isine pemujaan. Bedane karo Mazmur mung sithik, amarga nganggo mandheg.. Sing nganggo bapa Paus kaping pitu. Asmane bapa Paus Vincentius Tesalonika (?) Pak Pudjono juga melihat simbul lempengan tipis dari logam sepertinya berbentuk salib. Suara yang terdengar :”Salib Kitab Suci Tumpul. Kuwi untuk seseorang yang berani memanggul salib Kristus, tanpa nglegewa, dilakoni wae. Ya wis, semono dhisik; mengko ndhak bingung.” III. Tuhan Yesus jatuh pertama kali Sewaktu kami berjalan, St. Dominikus sudah mendahului di depan dan menunggu. Kemudian terlihat seorang wanita remaja mengaku bernama Claudia Soares. Suara yang terdengar :”Ayo tak barengi, tak tutake, tak amping ampingi. Aku dudu suster Aghata.” Sewaktu kami bersembah sujut, Claudia ikut berjongkok. Kami semua disuruh untuk membersihkan tubuh. Mungkin pakaian kami berdebu atau bekas tidur penuh tanah. Kemudian terdengar suara :”Iki ana maneh sing arep melu. Jenenge Siti Camarris, saka Pinyok, pantai barat Sumatra Utara.” Yang terlihat, orangnya tinggi besar berkulit gelap. IV. Tuhan Yesus bertemu Bunda Maria Bapa WAHYU DUMADI dan kedua perempuan masih selalu bersama kami. Kemudian terlihat sebuah piala yang berisi banyak lintingan kertas dan kami disuruh mengambil satu satu. Suara yang terdengar :”Lintingan kuwi isinen gegadhangmu. Aja akeh akeh, mung siji loro wae. Saiki lintengan maneh, sak en digawa mulih. Ya coba dibuktekake, bener apa ora.” Saat itu aku menulis untuk anak mantu dan calon cucu yang di Aussie V. Tuhan Yesus ditolong Simon dari Kirene Pak Pudjono melihat simbol Alkitab berwarna merah bata. Suara yan terdengar : “Alkitab merah bata kuwi tegese Alkitab mulia. Isine mung puji pujian, mazmur.” VI. Veronika mengusap wajah Tuhan Yesus Pak Pudjono melihat tembok berwarna krem, ada pintu yang tertutup kain warna merah jambu. Terlihat Claudia duduk, sedangkan Siti Camarris membuka kain korden. Didalam terlihat seseorang sedang lenggah siniwaka. Suara yang terdengar : »Lawang wis dibuka, aku ambungana. Kuwi ujub katresnan wae.” Kami maju satu persatu. Pak Abraham malah maju sampai dua kali. Kemudian pintu ditutup kembali dan penglihatan hilang. Karena penasaran, aku bertanya kepada bapa WAHYU DUMADI, dan suara yang terdengar :”Sing koq ambungi kuwi sejawatmu dhewe. Kembaran kuwi awakmu; yen sejawat kuwi penggandhengmu. Sing koq temoni siji. Yen sing koq ambungi, kuwi beda beda. Mundhak ora bisa bareng mlakumu, ndhak kesingse.” Kemudian terlihat simbol tangan dan jari tangan yang terlihat besar, merogoh keluar pintu. Suara yang terdengar :”Sing padha mrene mau sapa? Aku melu.Aku pak Kiss saka Srogol mbunder Piyungan.” Kami berdoa untuk mbah Kiss. Pak Pudjono melihat sepertinya pintu tadi jebol hancur, namun yang tadi lenggah siniwaka tak terlihat. VII. Tuhan Yesus jatuh kedua kali Pak Pudjono melihat meja bulat dengan taplak warna putih, diatasnya ada Kitab Suci yang tertutup. Disebelahnya ada lilin menyala. Sepertinya ada tangan yang memegang Kitab Suci. Suara yang terdengar :”Mengko bengi arep diajak wungon.” VIII. Tuhan Yesus menghibur para wanita Pak Pudjono melihat sebuat Kitab Suci, diatasnya terlihat cepuk berisi cincin batu. Suara yang terdengar :”Iki, padha jupuken dhewe dhewe lan anggonen, cincin ing sak dhuwure Kitab Suci.” Kami antri satu persatu mengambil dan memakai di jari. Kemudian punggung kami seperti diberi cap, Pak Sumeri bertanya untuk apa cincin batu tersebut. Jawabanya untuk mut mutan. Kami malah tertawa, kemudian ada jawaban suara :”Wis, embuh kono.” Padahal yang dimaksud begitu dalam :”Kecaplah, betapa nikmatnya Tuhan.” IX. Tuhan Yesus jatuh ketiga kali Pak Pudjono melihat kalender jelas sekali. Kemudian ada angka 202*, dan *nya berpijar seperti lampu berkedip. Suara yang terdengar :’Kanggo pangeling eling yen kowe bakal mati.” X. Pakaian Tuhan Yesus ditanggalkan Pak Pudjono melihat simbol bendera untuk start seperti mau berpacu. Kemudian prasasti batu, diikuri seperti topi natal yang dipakai seseorang. Suara yang terdengar :”Praptaning kamulyan ing jangga; Kamuktening langgeng ing rasa. Loro lorone wis bisa koq thukulake. Takokna marang bapa WAHYU DUMADI wae.” :”Kamulyan bisa diraih, dirasakake, dicapai selama masih hidup. Kamukten bisa dirasakake selama hidup sampai mati, tidak ada batas. Mengko diothak athik ana ngomah. kabeh kudu digeluti ana ing rasa.” XI. Tuhan Yesus dipaku di kayu salib Kemudian pak Pudjono melihat prasasti yang tulisannya banyak sekali. Sepertinya dibagi bagi dalam kelompok besar yang berkaitan dengan persyaratan. Suara yang terdengar :”Yang atas itu Mulia, yang bawah adalah Mukti (tulisan warna hitam). Dibawahnya ada lagi, yang bukan mulia dan mukti. Sampurna (tulisan warna putih). ... Kowe durung oleh krungu.” XII. Tuhan Yesus wafat di kayu salib Pak Pudjono melihat banyak lilin yang dipasang di depan diorama. Suara yang terdengar :”Sambungen karo lilinmu, ben dherek mulya.” Kami bertanya bahwa kami tadi diberi hio putih satu persatu. Ternyata kami disuruh untuk menyanyikan lagu syukur. Kami menyanyi walau tidak sampai selesai. Pak Pudjono melihat bahwa yang tadi dibalik korden, sekarang sudah berada di depan korden tetap lenggah siniwaka. Suara yang terdengar :”Padha majua, diberkati.” Setelah semuanya selesai diberkati, seseorang tersebut naik ke atas arah di depan kami. diatas ada tempat abu pembakar kemenyan. Suara yang terdengar :”Keselamatan datangnya dari abu.” XIII. Diturunkan dari salib Pak Pudjono melihat bahwa Prasasti tetang Mulia sudah dihapus. Suara yang terdengar :”Gusti Yesus mukti ateges menang, mengalahkan maut. Bangkit dan naik ke surga (mukti). Sempurna bertahta di swargaloka.. Mukti isih bisa didelelng. Kaget ta kowe...” XIV. Dimakamkan Pak Pudjono melihat sepertinya tubuh Tuhan Yesus dipangkuan seseorang. Kami berdoa penutup dan bersalaman dengan para pengiring yang menemani kami. Kemudian teman pak Sumeri mendatangi kami dan ngobrol. Aku mencari pak Jumari bapaknya mas Rendra yang pasti menjadi panitia. Aku menghubung mas Rendra tidak bisa tersambung. Akhirnya kami bertamu dan mandi di rumah pak Jumari. Kami ngobrol sampai larut malam dan kami pamitan untuk bersunyi sunyi di depan Bunda Maria. Ada beberapa penjelasan yang kami terima sebelumnya Jinanggit tegese ikhlas karena ada, karena punya bagi para peziarah laki2 Ning wong lanang sembahyang ana kene, entek entekane malah udur. Kemrungsungan. Yen wong lanang ana kene malah dadi tula tuli; Kadang nyambung kadang ilang; Kadang karep kadang ora. Alkitab Tumpul kuwi janji mati, janji goroh; yen kanggo pacaran elek. Kami mengobrol dengan pengurus gua yang kebetulan sedang keliling melihat lihat. Tanpa terasa kami ketiduran, walau dinginnya cukup menggigit. Terpaksa tikar kami pakai untuk selimut. Senin 21 Oktober 2013, pagi pagi kami mampir kembali ke rumah pak Jumari untuk pamitan. Dan hanya bertemu dengan ibu Jumari saja. Kami mengucap terima kasih dan salam. Perjalanan kami lanjutkan ke Gedono tempat pertapaan para suster trapis. Pertapaan Gedono ternyata tidak begitu jauh dari Getasan. Begitu sampai di tempat, kami langsung bertemu dengan suster Tris. Kami bertanya tentang segala sesuatu dan yang berkaitan dengan orang awam, apabila ingin menginap di pertapaan. Siapapun yang menginap harus mengikuti acara ibadat tujuh kali selama sehari semalam. Tempat tersebut bukan untuk seminar atau sejenisnya, namun lebih ditekankan untuk hening dan diam. Aku menyebutnya sebagai bertapa bisu. Lebih banyak mendengarkan dengan telinga dan berdoa. Siapapun yang bertapa disitu, dibatasi hanya selama delapan hari selama setahun. Kami dianjurkan untuk tidak melewatkan kesempatan ibadat pada jam 11.45, walau kami hanya berkunjung dan ngin tahu. Setelah dirasa cukup, kami semua pergi ke gereja untuk doa pribadi. karena waktu masih panjang. Pak Pudjono melihat seseorang yang sedang lenggah siniwaka. Anehnya orang tersebut berkiblat empat penjuru dan gerakan tangannya di setiap kiblat berbeda beda. Sewaktu kami tanyakan siapa namanya, beliau menjawab dengan suara :”Yoel.” Kemudian ganti yang datang dan mengaku bernama romo Sindunata yang sedang duduk. Kemudian terlihat seperti malaikat yang berdiri dan mengakubernama Gabriella Sabatini Ully. Setelah itu yang datang berganti lagi, seorang wanita tinggi langsing memakai penutup kepala. Dia mengaku bernma Ziw Zaw (?) Kemudian terlihat seorang yang sudah tua, berwajah cukup seram garang. Dia senang mengangkat anak anak dan ditempatkan berjejer, seperti akan ada suatu pertunjukan atau acara. Sewaktu ditanya dia mengaku sebagai Kardinal Urbanus. Wajahnya hampir seperti orang Afrika tetapi agak bule. Kemudian pak Pudjono melihat banyak orang berjubah putih duduk berderet. Sewaktu ditanya, terdengar suara jawaban :”Putra Sion.” Sesaat kemudian ada suara lagi :”Mangga sami kondur, sampun rampung.” Kamipun menyelesaikan doa dan keluar sebentar untuk mencari sarapan. Kami kembali ke pertapaan untuk mengikuti ibadat siang. Kami melihat bagaimana para suster melantunkan pujian, duduk dan berdiri, mendengarkan sabda Tuhan, bukan menghadap ke tabernakel. Ditempat duduk para tamu, ada kami berlima ditambah tiga orang awam dan satu suster. Ibadat hanya berkisar seperempat jam dan kami keluar gereja untuk meaksanakan ibadat jalan salib dengan membisu. 1. Terlihat lepek bulat dan bola putih 2. Terlihat burug bagau kuntul dan suara :”Roh Hul Kulhu.” 3. Terlihat wajah Tuhan Yesus bermahkota duri dan tulisan:”Hall Mama.” 4. Sepi 5. Terlihat cangkir berisi air dan kami disuruh eminumnya. Suara yang terdengar :’Ramamu kang kaul.” 6. Terlihat Rosario yang rapat 7. Terlihat surya kanta, kaca pembesar dan kami diberi satu persatu. Mas Sugeng mengambil dua dan satunya dilemparan ke pak Sumeri 8. Kami diberi sarung berwarna warni cerah dan kembali mas Sugeng mengambilan untuk pak Sumeri 9. Terlihat rantai ang tersambung menjadi lingkaran. Suara yang terdengar :”Ora ana wiwitan, ora ana enteke.” 10. Terlihat kepala kerbau jantan namun badannya tidak kelihatan, masih hidup. Suara yang terdengar :”Tunggangana.” Kemudian seperti ada suara Ave.... Ave....” 11. Kami diberi lagi sarung namun warnanya lebih lembut cerah. Suara yang terdengar :”Sarung petinggi.” Mas Sugeng mengambilkan lagi untuk pa Sumeri. 12. Ada suara agar kami semua memeluk salib secara begantian. Kemudia terlihat seperti huruf BQ AVE 13. Terlihat simbol kelopak bunga yang tengahnya bulat. Kemudian seperti ada tulisan huruf alpa dan omega …. dibelakangnya seperti tulisan bougenville. 14. Ada suara bertanya :”Kowe mau diparingi sarung, arep koq pek dhewe apa koq wenehne sapa?” Aku menjawab bahwa akan kami berikan kepada yang membutuhkan (ternyata sarungku yang warna lembut untuk petinggi diambil oleh Ningrum. Semoga sesuai dengan niat Ningrum) Ternyata kami diampingi selalu oleh pak Damianus yang bertemu di Wangon. Simbol kami pada waktu itu adalah biah pisang yang sudah matang. Semoga saja, kami bermanfat bagi orang lain yang membutuhkan kami. Setelah jalan salib, kami melanjutkan perjalanan menuju Kalasan, karena pak Sumeri ingin membeli banyak rosario untuk peringatan arwah pak Surbakti. Kemudian kami beristirahat di rumah mas Sugeng. Semua bersepakat untuk melanjutkan ziarah ke gua di Tawangmangu. Aku menghubungi Priono mau pinjam rumahnya yang di Matesih untuk menginap. Kebetulan Priono berada di Yogyakarta, menggantikan temannya yang masuk ICU kena stroke. Kami berangkat dengan satu mobil saja milik mas Sugeng, sedangkan mobil pak Sumeri ditinggal di Klaten. Sesampai di Matesih, kami makan malam nasi kare dulu di dekat terminal, baru menuju kerumah dan sudah ditunggu oleh mas dan mbakyu Kardjo. Seperi biasa, kami ngobrol dengan tuan dan nyonya rumah sampai larut malam. Mbakyu Kardjo diminta anaknya untuk bertanya kepada pak Pudjono tentang si bungsu, siapa jodohnya yang dianggap pas. Mungkin karena tebiasa tidur di halaman gua, yang tidur di kamar hanya aku dan pak Sumeri. Lainnya terpencar, ada yang di kursi, ada yang di depan tivi. Malahan pak Pudjono tidur di depan rumah. Selasa 22 Oktober 2013 pagi pagi sekali dimanfatkan keluarga mas Kardjo dan tetangga sebelah untuk berkonsultas dengan pak Pudjono. Kemudian, setelah sarapan pagi, kami melanjutkan perjalanan ke Sepanjang Tawangmangu menuju gua Maria. Perjalanan lumayan berat karena jalan yang sudah beraspal hanya pas untuk satu mobil. Di gua Maria kami ditemui oleh mas Narto yang mengurus gua tersebut. Kami sempat ngobrol sejenak tentang gua Maria ini, yang pernah dirusak oleh kelompok orang tidak bertanggung jawab. Patung Bunda Maria sudah diganti dengan patung yang terbuat dari perunggu. Kemudian kami pamit untuk melaksanakan ibadat jalan salib, ditempat sekitar gua. Jalan salib ini termasuk masih baru, menggantikan jalan salib yang begitu panjang dan menanjak dan sudah dirusak lebih dahulu. Bangunan salib besar sedang dalam taraf pengerjaan, pas di jalan masuk ke gua yang menurun. Ternyata roh pak Mardayat sudah menunggu kami dan berdoa di depan kami. Kami mengucap syukur kepada Bunda Maria yang mendampingi kami. 1. Tuhan Yesus dihukum mati Karena tidak membawa lilin, ternyata pak Pudjono melihat simbol lilin dan korek api yang selalu tersedia di setiap pemberhentian. Menyalakan lilin rohani menjadi tugas pak Sumadi. Simbol yang terlihat pisang sesisir. Pak Damianus juga menyertai kami dan berkata :”:Turunna neng anak putu.” Pak Pudjono menerima cincin untuk Lusi. 2. Tuhan Yesus memanggul salib Yang terlihat adalah simbul bungkusan nasi. Suara yang terdengar :”Padha panganen.” Kami antri untuk mengambil nasi dan memakannya secara rohani. 3. Tuhan Yesus jatuh pertama kali Pak Pudjono melihat seperti seseorang yang sedang duduk di kursi santai. Sewaktu ditanya, ada suara jawaban :”Marcelinus Vebi. Aku arep ndongakake kowe ben tentrem.” 4. Tuhan Yesus bertemu Bunda Maria Pak Pudjono melihat banyak sekali mainan anak anak, dan kami disuruh mengambil berapapun terserah. Suara yang terdengar :”Gawanen, nggo oleh oleh bocah.” Aku mengambil untuk para cucuku. 5. Tuhan Yesus ditolong Simon dari Kirene Pak Pudjono melihat Tuhan Yesus membuka tangannya dan menengadah. Kita semua diminta untuk menghaturkan ucapan terima kasih atau apapun, dan yang akan disampaikan kepada Bapa di sorga. Kami semua berdoa masing masing kepada Tuhan Yesus. Ternyata Tuhan Yesus berkenan menemui kami di Tawangmangu. 6. Veronika mengusap wajah Tuhan Yesus Pak Pudjono hanya melihat simbol buah salak sebutir. Suara yang terdengar :”Kanggo nambani wong lanang.” (kulit salak direbus) 7. Tuhan Yesus jatuh kedua kali Pak Pudjono melihat simbol lontong, kemudian seperti jinantra/ permainan anak yang berputar namun warnany gelap. Suara yang terdengar :”Ora kanggo kowe, kuwi kanggo bocah enom.” 8. Tuhan Yesus menghibur para wanita Pak Pudjono melihat lagi Tuhan Yesus yang menengadahkan tangannya. Suara yang terdengar :”Aja ndonga mung kanggo awakmu dhewe. Wiwit saiki ndongaa kanggo sedulur sedulur kang nelangsa, kang sengsara.” 9. Tuhan Yesus jatuh ketiga kali Pak Pudjono melihat lagi, Tuhan Yesus di depan, dan dibelakangnya Bunda Maria. Suara yang terdengar :”Aturna apa wae kang dadi panyuwunmu.” Betapa semua merasa kaget bercampur sukacita dan perasaan macam macam. Berdoa menyembah sambil menangis cukup lama. Aku sendiri malah tidak bisa ngomong ataupun memohon sesuatu. Gusti, kawula malah bingung badhe menapa. Ingkang wonten namung kebingahan, kesupen sedayanipun. 10. Pakaian Tuhan Yesus ditanggalkan Pak Pudjono melihat bahwa aku sedang ngrogoh sukma, menyembah. Kemudian ngobrol dengan pak Damianus. Sepertinya pak Damianus ingin menyampaikan sesuatu yang cukup penting. Aku menjawab, sebaiknya nanti dirumah saja ngobrol agak santai. 11. Tuhan Yesus dipaku di salib Pak Pudjono melihat simbol naga raja dari emas, berkaki dua. Suara yang terdengar :”Arep ana bebadra.” Pak Abraham memberitahu bahwa dirumahnya ada tongkat naga raja tersebut. 12. Tuhan Yesus wafat di kayu salib Pak Pudjono melihat seseorang bertelanjang baju, wajahnya agak aneh cenderung jelek. Pak Pudjono bertanya siapa namanya, namun malah membikin kaget. Orang laki laki koq ngakunya bernama Dewi Supadi. 13. Tuhan Yesus diturunkan dari salib Pak Pudjono melihat simbol besek berisi beras, kemudian diambil pak Pudjono dan diserahkan kepada pak Abraham. Pak Abraham diminta berdoa kepada Tuhan agar beras tersebut diberkati. Kemudian terlihat kran air terbuka yang mengucurkan air. Pak Abraham diminta untuk memberikan ke masyarakat. Demikian juga simbul sapi, pisang satu tandan. agar diberikan kepada masyarakat. Kemudian terlihat seseorang seperti wanita berselendang yang mengaku bernama Dewi Sriti. Suara yang terdengar :”Aku sing dingen ngeni masyarakat kene.” Sepertinya Allah berkenan memberikan rezeki kepada masyarakat di sekitar gua Maria. Kebetulan masyarakat di sekitar gua Maria Tawangmangu tidak atau belum ada satupun yang beragama Katolik. 14. Tuhan Yesus dimakamkan Pak Pudjono hanya melihat kotak uang yang terbuka. Suara yang terdengar :’Pundi pundi iki isenana.” Kemudian pak Sumeri menutup ibadat jalan salib dan kami berkumpul kembali di depan patung Bunda Maria. Kami mengadakan kolekte untuk pak Sunarto. Pesan khusus untuk masalah tanah gua Maria ini aku sampaikan secara pribadi kepada mbak Ning, isteri Priono. Setelah istirahat sejenak, kami pulang dan mampir ke warung Gunung mas di Sepanjang, yang menyediakan menu sate landak dan minuman bir pletok (ramuan rempah rempah). Sampai dirumah, mbak Ning sedang membikin sayur dan minuman untuk kami. Kami istirahat sejenak, sebelum melanjutkan perjalanan kembali. Berkisar jam 17.00 Kami mampir ke rumah Ningrum, adiknya mbak Ning yang menunggu kehadiran kami. Jam 18.00 kami mengajak berdoa bersama Malaikat Tuhan dan Rosario, bersepuluh. Aku menawari Ningrum sarung rohani dan dia memilih sarung yang berwarna lembut. Selanjutnya kami pamit dan menuju ke gua Maria Mojosongo. Gua Maria Mojosongo sedang direnovasi besar besaran, sepertinya akan menjadi sebuah gereja megah. Kami beribadat jalan salib walau cukup gelap. Pak Sumadi membeli lilin untuk jalan salib, yang cukup untuk menerangi kami. 1. Terlihat ember, dan suara yang terdengar :”Dianggo ngranggeh, dianggo nggayuh rikala kowe kurang pengharapan, bimbang utawa ragu ragu.” 2. Terlihat kentongan. Kemudian ember timba tadi sudah berisi air. Suara yang terdengar :’Kon nggo adus.” 3. Terlihat seperti roti lapis hanya seiris, kemudian berubah menjadi bangunan berbentuk limasan. Ternyata penglihatan tersebut sebuah gapura. Suara yang terdengar :’Mlebet gapura. golek rahayu.” Kemudian terlihat dua buah tas kresek, dan suara yang terdengar :’Junjungen, gawanen mulih.” 4. Terlihat meja tamu bulat dengan empat kursi. Suara yang terdengar :”Jupuken salah siji. Kanggo uwong kang koq dongaake.” Sewaktu kami mau pindah, ada suara :”Aku aja koq tinggalake ora pamit. Dadia abdine sing bermanfaat kanggo uwong kang kekurangan, uwong ora duwe, memelas. Dongamu ampuh. Panyuwunmu.... (tak terbaca)” 5. Terlihat Alkitab baru. Suara yang terdengar :’Jupuken, kanggo pak Abraham ben dibukak.” Kemudian kliningan untuk pak Sumadi :”Gentha nggonen kalung.” Selanjutnya pak Sumeri diberi medali kuning (tembilak). Mas Sugeng mendapat cethok. Aku diberi sesuatu seperti fanbelt angka delapan, ternyata berubah menjadi dua cermin yang ditangkupkan. Suara terdengar :”Nggo ngresiki untu. Ben diudhari dhewe.” 6. Terlihat piala berisi pensil tiga buah. Suara yang terdengar :”Ben dianggo nggambar wajah Gusti Yesus, kanggo bocah bocah.” Yang mengambil pak Abraham, pak Sumeri dan aku sendiri yang memang sudah bercucu. 7. Terlihat uang logam banyak sekali dibungkus dengan kertas. suara yang tedengar :’Nek arep gedhe, kabeh kuwi kudu diwiwiti saka cilik, saka sithik.” Kemudian terlihat seseorang seperti membawa buku. Yang terdengar :”Buku Memule.” 8. Yang terlihat orang berjubah. Yang terdengar :”Bapa Ibis(?) Celibithus, bapa pembawa damai. Pastor Gregorius …… Ketoke kowe mau gela, ora ana sing ngawal. Mula aku ana mburimu karo cantrik.” 9. Terlihat seperti pintu terbuka didalamnya bertangga. Ada tulisan berjalan yang kurang lebih “call lithium yopy epicentrum” 10. Terlihat tembok terang dan berisi tulisan yang tidak jelas “Delicious hospital capri full berius ... catathiom….” Kami bingung dan bertanya. Suara yang terdengar :’Pengobatan untuk bahagia. Mboten, tegesipun taksih tebih saking menika. Pengobatan yang timbul dari diri sendiri karena berada disini. ....Jajalen dhewe yen ora percaya.” 11. Terlihat rumah kampung namun berlantai keramik merah. Suara yang terdengar :”Kanggo nileki sedulurmu sing isih adoh. Biasane ya kumpul ana papan kaya ngene iki.” 12. Terlihat seperti rumah sakit. Suara yang terdengar :”Gambaranmu kuwi kanggo gambaran kang gampang koq onceki. Saka kono kuwi diwiwiti kehidupan baru. Gambarane ana mijil.” 13. :”Takokna gunane jalan salib. Takokna neng awakmu dhewe. Apa kowe bisa lan kuwat kaya Gusti Yesus? “ Terlihat sabuk ikat pinggang dari bahan kain yang berlubang untuk mengencangkan. Suara yang terdengar :”Apa kowe uwis ana peningkatan nggone jalan salib. Yen bolongane akeh, kuwi ateges uwis akeh mengalami rintangan, mengalami cobaan. Copoten klambimu, copoten kathokmu, ilangana durkamu (mrekitik, gampil wungu dukane). Guwangen adoh adoh.” 14. Terlihat tripod. Suara yang terdengar :”Kuwi kaki penyangga sing ora gampang ambruk, Biasane kanggo alat kang aji lan teliti. Dadia awakmu dadi alat kang teliti. teruji, temancep ana suku telu. Dadia manungsa kang terukur lan berbobot ing ngarsaning Allah. Tunjangane gedhe.” Pak Sumeri kembali menutup doa syukur dan kami melanjutkan perjalanan menuju Klaten, ke rumah mas Sugeng. Malam itu kami menginap di rumah mas Sugeng. Pagi harinya setelah sarapan pecel, kami pamit dan melanjutkan perjalanan ke rumah pak Pudjono. Malamnya berempat berkunjung ke tetangga pak Pudjono dan berdoa rosario bersama. Kamis pagi tanggal 24 Oktober 2013. kami berempat pamitan ke pak Pudjono, melanjutkan perjalanan pulang ke Bandung. Malam hari aku sudah ditunggu dalam rapat panitia natal. Terima kasih Tuhan Yesus, terima kasih Bunda Maria, terima kasih santo Yosep pelindung Durpo, terima kasih para kudus yang telah menemani kami. Betapa banyak pelajaran rohani yang harus kami pelajari dan kami terapkan dalam kehidupan sehari hari. Kemuliaan kepada Allah, Bapa Putera dan Roh Kudus untuk selama lamanya.

Durpa Wasesa

16 Juli 2013 Selasa malam aku dan pak Sumeri berkumpul dirumah pak Pudjono ngobrol biasa. Kami masih penasaran tentang penjelasan Papan Pangentosan atau tempat penantian, semalam sebelumnya. Tidak seperti biasanya, malam itu terasa cepat. Pak Pudjono melihat sepertinya ada kursi kuna yang diletakkan di samping. Dari pengalaman sebelumnya, biasanya akan tamu, entah malam itu atau hari lain. Kemudian pak Pudjono melihat seekor gajah yang sebelumnya mendampingi bapa Wahyu Dumadi. Jawaban yang keluar dari mulut sang gajah :”Papan Pangentosan kuwi papan kanggo wong lara lapa, wong gering atine, wong lungkrah, wong nestapa. Bakal digandheng, dimulyaake dening -- sareng Sang Kristus -- Gusti piyambak.” Pak Pudjono bertanya apakah untuk orang yang masih hidup atau sudah mati? Jawabannya :”Mesthine sing ora ana. Dadi gampangane wong kang uripe sengsara, ketula-tula, diidak-idak, dicerca, kaparingan penghiburan dening Gusti -- sareng Gusti. Ana kene ngemu teges uripe dioyak-oyak, dipilara amarga labuh labet mring sesami. Gampangane pengorbanane gedhe tumrap agama.” Papan Pangentosan menika panggenanipun wonten pundi? Suara jawaban :”Papane beda beda, sing ngreksa beda beda, sing ngaturake beda beda. Gampile Gusti Yesus namung nampi wonten Astanipun. Wis ngono dhisik, resepna.” Aku bertanya ke pak Pudjono, apak yang menjawab sang gajah, dan manya siapa? dan dijawab bahwa namanya Durpa Wasesa. Ki Durpa Wasesa melanjutkan :”Gusti Yesus wungu malih ngagem kamulyan panguwaos mligi surgawi. Tegesipun bibar wungu saking seda, sadaya babagan surgawi.” Pada saat kami menerima jawaban, datanglah pak Siahaan dengan membawa permasalahan keluarga yang dihadapi. Komunikasi rohani terputus pada saat itu, karena melayani pak Siahaan. Ternyata obrolan semakin panjang, dan pak Sumeri tertidur. Percakapan malah kebablasan sampai tengah malam. Kami putuskan untuk istirahat dan besok paginya mengunjungi saudara yang terkena stroke.

Ziarah Durpa ke Jabar-Jateng

ZIARAH DURPO OKTOBER 2013 Wangon - Lawangsih - Pereng - Gedono - Tawangmangu - Mojosongo Hari Kamis malam tanggal 17 Oktober 2013, kelompok Durpo berkumpul di rumah pak Ignasius Slamet yang tinggal di kompleks Pasirjati. Kami bersepakat bahwa malam Jumat Kliwonan hari itu hanya sampai tengah malam saja. Hal ini karena Jumat pagi kami berempat akan berangkat menuju Wangon, dimana sudah ditunggu oleh suster Kus dan suster Martha. Yang berkumpul malam itu bapak dan ibu Slamet, pak Abraham, pak Sumeri, pak Yohanes, pak Sumadi, pak Siahaan, mas Agus Budianto, Marselus dan aku sendiri. Nikmat dan sahdunya berRosario bersepuluh secara pelan pelan dan dilanjutkan dengan doa safaat spontan dari semua yang hadir. Kemudian dilanjutkan dengan obrolan duniawi maupun yang rohani. Tengah malam kami bubaran dan berpisah. Jumat Kliwon pagi hari berkisar jam 08.00 aku, pak Sumeri, pak Abraham dan pak Sumadi berangkat menuju Wangon. Pak Pudjono berangkat dari Yogyakarta dan akan bertemu di susteran BKK Wangon berkisar jam 16.00. Ternyata kami sudah disambut oleh suster Kus yang begitu bersemangat penuh sukacita. Kami diberitahu bahwa pada pukul 19.00 akan diselenggarakan doa Rosario di ruang pertemuan, dimana kami menginap. Kami akan mengikuti saja doa tersebut sebagai peserta tamu. Bulan Oktober memang dimanfaatkan untuk doa rosario setiap malam. Doa dipimpin oleh prodiakon setempat. Sebagai tamu, kami sowan dahulu kepada Bunda di gua. Pak Pudjono melihat ada lilin besar menyala, dan Bunda Maria memakai mahkota. Suara yang terdengar :”Mengko bengi.” Selesai sowan, kami ngobrol dengan mbak Nining dan suami, yang punya tanah disitu. Sewaktu ngobrol dengan suster Kus, terlihat simbol bintang namun hanya empat sudut.. Aku berkata kepada pak Pudjono bahwa itu simbol salib karena sinarnya yang memanjang. Berkisar jam lima sore lebih, kelompok kami berdoa Rosario sendiri/ pribadi di ruang pertemuan. Pak Pudjono melihat bahwa ditengah ruangan ada meja panjang dengan kursi kursi saling berhadapan. Suara yang terdengar :”Isinen, lungguhana.” Kemudian ada simbol lilin namun tinggi kecil menyala untuk pak Sumeri. Pak Pudjono dan pak Sumadi bersimbol lilin kecil menyala diatas tatakan. Pak Pudjono mengatakan bahwa simbul saya berbeda karena ada tiga lilin berbentuk seperti trisula. Pada saat itu pak Abraham sedang mengobrol dengan suster. Simbol meja kemudian hilang dan berubah menjadi simbol jam yang menunjukkan angka jam 18.00. Aku melihat jam tangan dan memang menunjukkan angka tersebut. Kemudian terlihat simbol gajah, yang sewaktu ditanya ada suara jawaban bahwa gajah tersebut bernama Ki Wasesa. Kemudian terlihat simbol lonceng gereja yang ujung atasnya menempel lima kain sutera berwarna putih terjulur ke bawah. Suara yang tedengar :”Gulungen dhisik.” Kemudian pak Pudjono melihat seseorang seperti biksu berselendang biru mengkilap, setelah itu dari arah timur masuk seekor kuda putih namun kecil. Sampai dihadapan kami, kuda tersebut duduk. Suara yang terdengar :”Wengkonmu.” dan pak Pudjono melihat tulisan seperti running text :”HILL.” Sesaat kemudian pak Pudjono melihat roh suster Kus berjalan dari timur menuju ke kami. Pak Pudjono bertanya apakah yang terlihat itu kembaran suster Kus atau sedang ngogoh sukma. Yang terdengar seperti suara :”Vibi.” Setelah kami tanyakan maksudnya, ada suara jawaban :”Vibi tegese slamet, bahagia, titis. Jaran putih iku tunggangana, aku sing nuntun.” Sepertinya yang naik kuda pertama adalah pak Sumeri, yang memegang tali kuda bhiksu yang terlihat awal dan mengaku bernama Bhilahl. :”Ya kuwi jenengku, tegese kumat. Aku pengembara..” Suster Kus berjalan di depan kuda menuju ke gua Maria. Kemudian mereka kembali menjemput pak Abraham. Aku tidak naik kuda namun berjalan kaki di belakang. Yang terakhir, pak Pudjono dan pak Sumadi naik kuda berdua. Setelah doa pribadi selesai, kami makan malam duluan bersama suster, sebelum para tamu datang untuk doa rosario. Sewaktu berdoa rosario bersama, suasana sepi dan hanya terlihat simbol lilin menyala. Kami ngobrol bersama warga setempat, kemudian suster Kus mengajak kami untuk berdoa di depan gua Maria. Ternyata malam itu hampir semua orang yang hadir ingin berkonsultasi dengan pak Pudjono. Akhirnya malam itu dimanfaatkan dengan doa pembuka dan diteruskan dengan konsultasi pribadi yang tidak tertulis disini. Acara berlangsung sampai tengah malam Sabtu pagi tanggal 19 Oktober 2013 kami berdoa bersama dengan suster Kus di depan gua Maria. Suasana juga sepi walau terasa semuanya terang benderang. Kemudian pak Pudjono mendengar suara sewaktu bertanya nama saat itu untuk gua Maria. Yang terdengar :”Tangisana awakmu dhewe yen arep pinter. Sejatine awakmu kuwi ringkih. Tegese gampang kegodha, gampang yen dijawil mengo. Dalam hal memandang indahnya dunia, dalam hal keselamatan saka Allah. Dadi sing muncul malah reribet, dudu kanyatan kahanan kang nyaman. Coba pikiren dhewe kahanan kang nyaman. Gampangane kowe kang nampa kanyataan. Gampangane kowe kang ora perlu dibandhingake karo uwong kang amek pangan.” Kemudian terlihat simbol salak dan pak Pudjono memberi tahu untuk doa permohonan pribadi secara spontan, yang dipimpin oleh suster Kus. Setiap orang yang berkumpul berdoa cukup keras, yang dapat didengar oleh yang sedang berkumpul. Pak Abraham diminta agar tidak dibatin :”Ngomonga sing seru.” Kemudian setelah doa spontan, pak Pudjono melihat simbol lilin menyala dan suara yang terdengar :”Sing weruh lilin kuwi, wis weruh pepadhang. Nanging isih durung koq cakake, durung bisa ngawekani. Kersaning Gusti, kowe kudu bisa tatas titis. Gampangane bandhel lan kuwawa, ananging atine durung tekan. Ndhak diarani golek bala; ndhak diarani golek brana. Kamangka jane kuwi ora nyingkur dhawuh.” Lha caranipun kados pundi? Suara yang terdengar :”Carane ya mung kudu metu; niat ingsun ngawula ndherek Gusti, amrih kaleksananipun kersa Dalem, sadaya manggiha slamet ing alam padhang lan samangke. Intine kowe kudu bisa dadi gantine Gustimu, dadi pepadhang sa madya. Intine kowe dadi panuntun alam padhang. Ana kene ngemu teges nuntun nganti tekan slamet. Dongamu “Doaku menyertaimu sampai akhir jaman.” Pesan untuk suster Kus :”Mari mati ndherek Gusti, ora kudu ana kene.” Aku merasa yakin bahwa suster bisa menjabarkan sendiri, setelah sebelumnya kami mengobrol. Kami merenung sejenak, kemudian terdengar suara :”Majua siji siji, arep tak berkati.” Suster Kus maju, setelah diberkati, sepertinya menerima sebuah peci, tutup kepala. Disusul pak Abraham dan yang dilihat pak Pudjono sepertinya pak Abraham diberkati namun juga dijewer telinganya. Setelah itu disusul pak Sumadi dan ada suara :”Baik-baik saja.” dan diajak bersalaman. Pak Sumeri maju dan diberkati, dan kemudian diminta menghadap ke kami untuk mendoakan kami semua. Pak Sumeri diminta untuk memberkati pak Pudjono dan aku. Pak Pudjono sampai menangis dan merangkul pak Sumeri. Aku mengucapkan terima kasih; dan sewaktu aku naik ke atas untuk meminta berkat lagi, suara yang terdengar :”Ora kanggo. Wong wis diberkati.” Ini pelajaran baru bagi kami sekelompok, bahwa berkat yang datangnya dari Tuhan bisa disalurkan oleh awam yang dipilih Tuhan sendiri. Mungkin agak berbeda dengan berkat dari gembala tertahbis. Setelah kami duduk kembali, pak Pudjono melihat simbul ketupat. Suara yang terdengar :”Pemberian nasi dibandingkan dengan ketupat berbeda nilainya.” Beberapa saat kemudian pak Pudjono melihat dan mendengar suara :”Sang Hyang Widhiwase wis rawuh, sembahen ..... padha njempalika ..... Wis... Gusti wis kondur.” Semuanya bersembah sujud dengan caranya masing masing bahkan ada yang sampai menangis. Saat tersebut mungkin hanya beberapa detik saja, tidak sampai satu menit… namun membuat hati berbunga bunga penuh sukacita. Setelah suasana reda, terlihat simbul dipan, tempat tidur seperti di rumah sakit namun ada bantalnya. Pak Pudjono juga melihat seseorang yang dari kemarin sudah berada di depan gua. Orang tersebut sedang berjongkok di depan patung Bunda Maria. Suara yang terdengar :”Iki uwong kang lagi nyantrik. Jenenge Damianus saka Gunung Kidul..” Sewaktu pak Pudjono bertanya kepada seseorang tersebut, suara jawaban yang terdengar :”Aku durung ana gantine. Pokoke aku isih seneng ana kene. Berkat Tuhan ora kudu enggon sing rame, sing mapan, enggon sing jumeneng nata. Berkat Tuhan ana ngendi wae bisa. Sing mberkati bisa, sing diberkati ora sembada. Sak jane aku kepengin ditunjuk Gusti dadi uwong kang bisa ngaturake permohonan. Jane kowe wis weruh, ning kowe ora ngerti wiwit ndhek wingi.” Waktu ditanya sejak kapan di gua ini, suara jawaban yang terdengar :”Kowe tak kandhani ya ora ngerti dina lan tanggale. Dina dinaku padha karo Gusti. Yen kowe isih nganggo dina awan lan bengi. Ana kene dipatrap ora nganggo dina. Isaku mung menghubungkan kepada Bunda.” Sewaktu kami bertanya apabila karena sesuatu hal, gua tersebut dipindahkan di tempat lain, ada jawaban terdengar :”Berkate tetep padha, sing beda caritane lan lakune.” Sewaktu kami bertanya tentang kuda putih, ada suara :”Sing duwe Meneer Brovenhagh (?). Dheweke mati amarga dikuya kuya karo wong Jawa.” Pak Pudjono melihat seseorang berpakaian jas putih, berkacamata kecil tanpa tutup kepala. Kami bertanya apakah mau didoakan, ternyata mau dan akan ganti pakaian dulu. Setelah berganti pakaian kami meminta suster Kus yang memimpin doa dan kami doa spontan. Setelah itu ada suara :’Matur nuwun, mangke kula padosi marginipun (jalan keselamatan)”. Sebagai penutup, kami berdoa melalui pak Damianus. Kemudian terdengar suara :”Wis ya, lawange tak tutup.” Aku mengartikan bahwa, apabila kita ingin berdoa di gua Maria Wangon, pertamakali kita bisa berdoa ”kulanuwun” kepada pak Damianus bahwa ingin bertemu Bunda Maria. Kita bisa membayangkan bahwa gua tersebut ada yang menjaga di luar. Setiap tamu yang datang akan bertemu dengan penjaga. Penjaga tersebut akan menyampaikan kepada Bunda bahwa ada tamu yang ingin datang mengahadap. Setelah ngobrol panjang lebar dengan suster Kus, kami semua berpamitan kepada suster maupun para ibu yang sedang menghias altar. Kami melanjutkan perjalanan menuju Sentolo, ke paroki Nanggulan dan terus ke gua Maria Lawangsih. Pak Sumeri menghubungi mas Sugeng yang sedang berada di Klaten, apakah bisa bergabung dengan kami. Kami bertemu mas Sugeng yang sudah sampai duluan dan menunggu di warung berkisar jam 17.30 dan agak gelap. Walaupun gelap, kami mencoba untuk melakukan ibadat jalan salib pendek. Suasana begitu sepi dan tak terlihat apapun. Memasuki pemberhentian IX, pak Pudjono melihat orang yang telanjang. Pada pemberhentian X, pak Pudjono melihat bende dan mewakili kami semua, pak pudjono memukul bende tersebut, Pada pemberhentian XI, pak Pudjono melihat gender namun modelnya diberdirikan Pada pemberhentian XII, pak Pudjono melihat tumpukan kertas dan kami diminta untuk mengambil satu lembar dan ditulis nama kami masing masing, kemudian ditempelkan di diorama. Pada pemberhentian XIII, pak Pudjono melihat gumpalan bundar, campuran wijen dengan madu diatas piring. Aku bercerita bahwa itu seperti makanan orang jaman Yohanes Pembaptis. Di Israel ada tumbuhan yang disebut pohon belalang, buahnya biasa dimasak dan dicampur dengan madu, kemudian didinginkan menjadi seperti roti wijen. Sewaktu kami sampai ke Gua Maria Lawangsih, pak Pudjono melihat simbol gelang. Pengalaman selama ini biasanya berkaitan dengan pekerjaan. Kami berdoa masing masing dan kemudian cuci muka dengan air sendang yang berada di belakang patung Bunda Maria. Kemudian kami berdoa di panti semedi, yang merupakan lorong gua di sebelah gua Maria. Didalam sudah ada patung Tuhan Yesus, dima kita bisa berdoa ataupun bersemedi. Seaktu pak Pudjono bertanya, ada suara jawaban :”Gua Maria minangkani jabang bayi. Gua Maria asal usul jabang bayi. Gua Maria kangge mbopong anak. Dongane :Gampil caritane, cepet tuwuhe.” Sewaktu bertanya nama panti semedi, suara yang terdengar :”Panti lukaring asma brana. minggah dhumateng asma astana anyar. Munggah drajate, wonten peningkatan kawruh.” Kemuian ada suara :”Nek komunikasi rohani ana kene aja kesusu, mundhak ngganggu kancane.” Setelah itu, kami keluar dari gua untuk membersihkan badan maupun makan malam seadanya. Pak Pudjono mengatakan bahwa aura kuat yang terlihat hanya di patung Bunda Maria. Sore itu masing masing berdoa rosario di hadapan patung Bunda Maria. Kemudian kami ngobrol dengan pak Andreas yang merupakan salah satu tokoh yang membangun gua Maria Lawangsih ini. Sebelumnya gua tersebut memang menjadi sarang lawa (kelelawar) yang kotorannya dimanfaatkan oleh penduduk untuk pupuk tanaman. Mereka berjuang dan bergotong royong membersihkan gua, menghancurkan batu kapur agar menjadi halaman datar untuk warga yang ingin berdoa. Sebenarnya warga sudah mempunyai gua Maria Pangiloning Leres, yang bersebelahan dengan gereja Santa Maria Fatima stasi Palem Dukuh. Rencananya akan dibuat jalan salib panjang yang mungkin berkisar satu - dua kilometer. Dari gua ke gua menembus hutan. Sebenarnya aku ingin bertemu dengan keluarga pak Tukijo dan pak Suminto. Mereka besanan dan kedua anaknya kebetulan tinggal di Bandung dan satu lingkungan. Ternyata Nanggulan dan Lawangsih cukup jauh. Jalan malam rasanya sulit bagi kami karena jalan sempit dan naik turun cukup curam. Kami bermalam di gua panti semedi setelah tidak ada pengunjung sama sekali. Biarlah kami melakukan doa hening sampai tertidur, walau di kaki terasa cukup dingin. Pak Pudjono tidur di belakang altar. Minggu pagi tanggal 20 Oktoer 2013 kami berjalan kaki, mengikuti perayaan Ekaristi di stasi Palem Dukuh yang dipimpin oleh romo Ignasius Suharyono. Kami masih sempat ngobrol dengan beberapa warga di stasi tersebut. Sewaktu perayaan belum dimulai, pak Pudjono melihat di altar segalanya seperti berubah. Yang terlihat bagaikan suatu taman yang hijau subur. Dalam taman terlihat banyak sekali macam binatang, namun semuanya berbulu putih. Taman tersebut sepertinya dikelilingi oleh banyak suster. Di sebelah kiri taman terlihat para suster yang berseragam warna coklat, sedangkan yang sebelah kanan berseragam warna putih biru. Sepertinya mereka sedang bersukacita dan bernyanyi puji pujian. Pada saat memasuki liturgi Ekaristi, semuanya di dalam taman tiba tiba hilang dan diganti hanya ada Anak Domba. Para suster yang ada, semuanya menyembah kepada Anak Domba. Kami menerima Tubuh Kristus dengan gembira, karena pengalaman rohani ini. Kamipun percaya bahwa seluruh umat yang hadir merasakan sukacita, dengan cara masing masing walaupun tidak melihat. Selesai perayaan, kami sempat ngobrol dengan pastor, namun tidak bercerita tentang pengalaman rohani ini. Keraguan atau kebimbangan ini ternyata bisa menjadi batu sandungan, jika mengingat pesan pesan di Wangon. Risikonya, paling tidak dipercaya, dicemoohkan atau sejenisnya, dan itu mestinya sudah menjadi bagian salib yang harus kami pikul. Ternyata duniawi lebih kuat. Kami melanjutkan melihat dari dekat gua Maria Pangiloning Leres. Ternyata disitu sudah banyak umat yang sedang berdoa Rosario. Kami tidak berhenti namun berjalan ke sebelah dan memandang patung Tuhan Yesus yang cukup besar, menjulang di atas bukit. Sewaktu kami kembali ke gua Maria Lawangsih, ternyata sudah banyak para peziarah yang datang, karena akan diselenggarakan perayaan Ekaristi pada jam 11.00 siang. Kami memang merencanakan untuk tidak ikut merayakan missa di gua, karena akan melanjutkan perjalanan ke Getasan Kopeng, Gua Maria Pereng. Sebelumnya kami sarapan di warung di bawah gua Maria Lawangsih, cukup pecel mie dan minum kopi. Juga mencoba merasakan makanan khas, yaitu geblek dan gembel yang terbuat dari aci, dimakan bersama tempe bacem. Berkisar jam 13.30 kami baru sampai ke Gua Maria Pereng, Getasan. Kebetulan hari Minggu itu merupakan ulang tahun kedua, perayaan langsung dipimpin oleh Mgr Pujasumarta pada pagi hari. Sayang, kami tidak bertemu beliau yang sudah kami kenal, karena kami melakukan ibadat jalan salib dahulu. Sebelum ibadat, aku bertemu teman yang pulang kampung ke Kartasura namun aku lupa namanya. Demikian juga pak Sumeri bertemu temannya yang tinggal di Yogya, setelah ibadat selesai. Sebelum ibadat jalan salib, kami berdoa dan menunggu rombongan di depan kami agar menyelesaikan doanya. Pak Pudjono bertanya dan ada suara jawaban :”Yen Gusti maringi aran, Gua Maria Terucuk. Tegese lantip; ziarah kanggo wong wadon uteran, wong wadon kang jumanggit, kang kuwel, kang ora duwe pamrih.” Pak Pudjono melihat ada simbol piala putih, lilin besar menyala dan mendengar suara :”Samubarang becik mesthine dadi becik.” Dalam penglihatan pak Pudjono bapa WAHYU DUMADI memeluk salib, dan ada seseorang berjubah putih, hidung besar mancung yang mengikuti. Sewaktu ditanya ada suara jawaban bahwa dia St. Dominikus, cirinya ada tanda salib di dada. Juga sering disebut sebagai Saint Arabic. I. Tuhan Yesus dihukum mati Pak Pudjono melihat ada hio warna putih dan kami diberi satu satu. Suara yang terdengar :”Iki jenenge upet; iki ya persembahan ya gaman.” Kemudian terlihat bintang sudut empat warna kuning dan suara :”Bintang iku simbul kamardikan kanggo wanodya.” II. Tuhan Yesus memanggul salib Terlihat simbol gajah yang dinaiki seseorang. Kemudian suara terdengar :”Aku bapa Sawiyos Mukti. Tetumpakane wong kang ngasta sebagai pewarta. Becike kowe aja mundur, kowe kudu wani gocekan kenceng ana salib.” Kemudian terlihat simbol cawan besar berisi air terbuat dari kuningan. Suara yang terdengar :”Tanganmu durung resik, padha wisuha dhisik, lagi nerusake laku.” Kami semua “membasuh tangan” secara bergantian. Kemudian terdengar :”Wis, mlakua maneh.” Bapa WAHYU DUMADI yang memanggul salib masih ada, kemudian terlihat rosario berwarna putih seperti mutiara, namun butirannya terlihat rapat sekali. Suara yang terdengar :”Iki jenenge rosario awal; isine pemujaan. Bedane karo Mazmur mung sithik, amarga nganggo mandheg.. Sing nganggo bapa Paus kaping pitu. Asmane bapa Paus Vincentius Tesalonika (?) Pak Pudjono juga melihat simbul lempengan tipis dari logam sepertinya berbentuk salib. Suara yang terdengar :”Salib Kitab Suci Tumpul. Kuwi untuk seseorang yang berani memanggul salib Kristus, tanpa nglegewa, dilakoni wae. Ya wis, semono dhisik; mengko ndhak bingung.” III. Tuhan Yesus jatuh pertama kali Sewaktu kami berjalan, St. Dominikus sudah mendahului di depan dan menunggu. Kemudian terlihat seorang wanita remaja mengaku bernama Claudia Soares. Suara yang terdengar :”Ayo tak barengi, tak tutake, tak amping ampingi. Aku dudu suster Aghata.” Sewaktu kami bersembah sujut, Claudia ikut berjongkok. Kami semua disuruh untuk membersihkan tubuh. Mungkin pakaian kami berdebu atau bekas tidur penuh tanah. Kemudian terdengar suara :”Iki ana maneh sing arep melu. Jenenge Siti Camarris, saka Pinyok, pantai barat Sumatra Utara.” Yang terlihat, orangnya tinggi besar berkulit gelap. IV. Tuhan Yesus bertemu Bunda Maria Bapa WAHYU DUMADI dan kedua perempuan masih selalu bersama kami. Kemudian terlihat sebuah piala yang berisi banyak lintingan kertas dan kami disuruh mengambil satu satu. Suara yang terdengar :”Lintingan kuwi isinen gegadhangmu. Aja akeh akeh, mung siji loro wae. Saiki lintengan maneh, sak en digawa mulih. Ya coba dibuktekake, bener apa ora.” Saat itu aku menulis untuk anak mantu dan calon cucu yang di Aussie V. Tuhan Yesus ditolong Simon dari Kirene Pak Pudjono melihat simbol Alkitab berwarna merah bata. Suara yan terdengar : “Alkitab merah bata kuwi tegese Alkitab mulia. Isine mung puji pujian, mazmur.” VI. Veronika mengusap wajah Tuhan Yesus Pak Pudjono melihat tembok berwarna krem, ada pintu yang tertutup kain warna merah jambu. Terlihat Claudia duduk, sedangkan Siti Camarris membuka kain korden. Didalam terlihat seseorang sedang lenggah siniwaka. Suara yang terdengar : »Lawang wis dibuka, aku ambungana. Kuwi ujub katresnan wae.” Kami maju satu persatu. Pak Abraham malah maju sampai dua kali. Kemudian pintu ditutup kembali dan penglihatan hilang. Karena penasaran, aku bertanya kepada bapa WAHYU DUMADI, dan suara yang terdengar :”Sing koq ambungi kuwi sejawatmu dhewe. Kembaran kuwi awakmu; yen sejawat kuwi penggandhengmu. Sing koq temoni siji. Yen sing koq ambungi, kuwi beda beda. Mundhak ora bisa bareng mlakumu, ndhak kesingse.” Kemudian terlihat simbol tangan dan jari tangan yang terlihat besar, merogoh keluar pintu. Suara yang terdengar :”Sing padha mrene mau sapa? Aku melu.Aku pak Kiss saka Srogol mbunder Piyungan.” Kami berdoa untuk mbah Kiss. Pak Pudjono melihat sepertinya pintu tadi jebol hancur, namun yang tadi lenggah siniwaka tak terlihat. VII. Tuhan Yesus jatuh kedua kali Pak Pudjono melihat meja bulat dengan taplak warna putih, diatasnya ada Kitab Suci yang tertutup. Disebelahnya ada lilin menyala. Sepertinya ada tangan yang memegang Kitab Suci. Suara yang terdengar :”Mengko bengi arep diajak wungon.” VIII. Tuhan Yesus menghibur para wanita Pak Pudjono melihat sebuat Kitab Suci, diatasnya terlihat cepuk berisi cincin batu. Suara yang terdengar :”Iki, padha jupuken dhewe dhewe lan anggonen, cincin ing sak dhuwure Kitab Suci.” Kami antri satu persatu mengambil dan memakai di jari. Kemudian punggung kami seperti diberi cap, Pak Sumeri bertanya untuk apa cincin batu tersebut. Jawabanya untuk mut mutan. Kami malah tertawa, kemudian ada jawaban suara :”Wis, embuh kono.” Padahal yang dimaksud begitu dalam :”Kecaplah, betapa nikmatnya Tuhan.” IX. Tuhan Yesus jatuh ketiga kali Pak Pudjono melihat kalender jelas sekali. Kemudian ada angka 202*, dan *nya berpijar seperti lampu berkedip. Suara yang terdengar :’Kanggo pangeling eling yen kowe bakal mati.” X. Pakaian Tuhan Yesus ditanggalkan Pak Pudjono melihat simbol bendera untuk start seperti mau berpacu. Kemudian prasasti batu, diikuri seperti topi natal yang dipakai seseorang. Suara yang terdengar :”Praptaning kamulyan ing jangga; Kamuktening langgeng ing rasa. Loro lorone wis bisa koq thukulake. Takokna marang bapa WAHYU DUMADI wae.” :”Kamulyan bisa diraih, dirasakake, dicapai selama masih hidup. Kamukten bisa dirasakake selama hidup sampai mati, tidak ada batas. Mengko diothak athik ana ngomah. kabeh kudu digeluti ana ing rasa.” XI. Tuhan Yesus dipaku di kayu salib Kemudian pak Pudjono melihat prasasti yang tulisannya banyak sekali. Sepertinya dibagi bagi dalam kelompok besar yang berkaitan dengan persyaratan. Suara yang terdengar :”Yang atas itu Mulia, yang bawah adalah Mukti (tulisan warna hitam). Dibawahnya ada lagi, yang bukan mulia dan mukti. Sampurna (tulisan warna putih). ... Kowe durung oleh krungu.” XII. Tuhan Yesus wafat di kayu salib Pak Pudjono melihat banyak lilin yang dipasang di depan diorama. Suara yang terdengar :”Sambungen karo lilinmu, ben dherek mulya.” Kami bertanya bahwa kami tadi diberi hio putih satu persatu. Ternyata kami disuruh untuk menyanyikan lagu syukur. Kami menyanyi walau tidak sampai selesai. Pak Pudjono melihat bahwa yang tadi dibalik korden, sekarang sudah berada di depan korden tetap lenggah siniwaka. Suara yang terdengar :”Padha majua, diberkati.” Setelah semuanya selesai diberkati, seseorang tersebut naik ke atas arah di depan kami. diatas ada tempat abu pembakar kemenyan. Suara yang terdengar :”Keselamatan datangnya dari abu.” XIII. Diturunkan dari salib Pak Pudjono melihat bahwa Prasasti tetang Mulia sudah dihapus. Suara yang terdengar :”Gusti Yesus mukti ateges menang, mengalahkan maut. Bangkit dan naik ke surga (mukti). Sempurna bertahta di swargaloka.. Mukti isih bisa didelelng. Kaget ta kowe...” XIV. Dimakamkan Pak Pudjono melihat sepertinya tubuh Tuhan Yesus dipangkuan seseorang. Kami berdoa penutup dan bersalaman dengan para pengiring yang menemani kami. Kemudian teman pak Sumeri mendatangi kami dan ngobrol. Aku mencari pak Jumari bapaknya mas Rendra yang pasti menjadi panitia. Aku menghubung mas Rendra tidak bisa tersambung. Akhirnya kami bertamu dan mandi di rumah pak Jumari. Kami ngobrol sampai larut malam dan kami pamitan untuk bersunyi sunyi di depan Bunda Maria. Ada beberapa penjelasan yang kami terima sebelumnya Jinanggit tegese ikhlas karena ada, karena punya bagi para peziarah laki2 Ning wong lanang sembahyang ana kene, entek entekane malah udur. Kemrungsungan. Yen wong lanang ana kene malah dadi tula tuli; Kadang nyambung kadang ilang; Kadang karep kadang ora. Alkitab Tumpul kuwi janji mati, janji goroh; yen kanggo pacaran elek. Kami mengobrol dengan pengurus gua yang kebetulan sedang keliling melihat lihat. Tanpa terasa kami ketiduran, walau dinginnya cukup menggigit. Terpaksa tikar kami pakai untuk selimut. Senin 21 Oktober 2013, pagi pagi kami mampir kembali ke rumah pak Jumari untuk pamitan. Dan hanya bertemu dengan ibu Jumari saja. Kami mengucap terima kasih dan salam. Perjalanan kami lanjutkan ke Gedono tempat pertapaan para suster trapis. Pertapaan Gedono ternyata tidak begitu jauh dari Getasan. Begitu sampai di tempat, kami langsung bertemu dengan suster Tris. Kami bertanya tentang segala sesuatu dan yang berkaitan dengan orang awam, apabila ingin menginap di pertapaan. Siapapun yang menginap harus mengikuti acara ibadat tujuh kali selama sehari semalam. Tempat tersebut bukan untuk seminar atau sejenisnya, namun lebih ditekankan untuk hening dan diam. Aku menyebutnya sebagai bertapa bisu. Lebih banyak mendengarkan dengan telinga dan berdoa. Siapapun yang bertapa disitu, dibatasi hanya selama delapan hari selama setahun. Kami dianjurkan untuk tidak melewatkan kesempatan ibadat pada jam 11.45, walau kami hanya berkunjung dan ngin tahu. Setelah dirasa cukup, kami semua pergi ke gereja untuk doa pribadi. karena waktu masih panjang. Pak Pudjono melihat seseorang yang sedang lenggah siniwaka. Anehnya orang tersebut berkiblat empat penjuru dan gerakan tangannya di setiap kiblat berbeda beda. Sewaktu kami tanyakan siapa namanya, beliau menjawab dengan suara :”Yoel.” Kemudian ganti yang datang dan mengaku bernama romo Sindunata yang sedang duduk. Kemudian terlihat seperti malaikat yang berdiri dan mengakubernama Gabriella Sabatini Ully. Setelah itu yang datang berganti lagi, seorang wanita tinggi langsing memakai penutup kepala. Dia mengaku bernma Ziw Zaw (?) Kemudian terlihat seorang yang sudah tua, berwajah cukup seram garang. Dia senang mengangkat anak anak dan ditempatkan berjejer, seperti akan ada suatu pertunjukan atau acara. Sewaktu ditanya dia mengaku sebagai Kardinal Urbanus. Wajahnya hampir seperti orang Afrika tetapi agak bule. Kemudian pak Pudjono melihat banyak orang berjubah putih duduk berderet. Sewaktu ditanya, terdengar suara jawaban :”Putra Sion.” Sesaat kemudian ada suara lagi :”Mangga sami kondur, sampun rampung.” Kamipun menyelesaikan doa dan keluar sebentar untuk mencari sarapan. Kami kembali ke pertapaan untuk mengikuti ibadat siang. Kami melihat bagaimana para suster melantunkan pujian, duduk dan berdiri, mendengarkan sabda Tuhan, bukan menghadap ke tabernakel. Ditempat duduk para tamu, ada kami berlima ditambah tiga orang awam dan satu suster. Ibadat hanya berkisar seperempat jam dan kami keluar gereja untuk meaksanakan ibadat jalan salib dengan membisu. 1. Terlihat lepek bulat dan bola putih 2. Terlihat burug bagau kuntul dan suara :”Roh Hul Kulhu.” 3. Terlihat wajah Tuhan Yesus bermahkota duri dan tulisan:”Hall Mama.” 4. Sepi 5. Terlihat cangkir berisi air dan kami disuruh eminumnya. Suara yang terdengar :’Ramamu kang kaul.” 6. Terlihat Rosario yang rapat 7. Terlihat surya kanta, kaca pembesar dan kami diberi satu persatu. Mas Sugeng mengambil dua dan satunya dilemparan ke pak Sumeri 8. Kami diberi sarung berwarna warni cerah dan kembali mas Sugeng mengambilan untuk pak Sumeri 9. Terlihat rantai ang tersambung menjadi lingkaran. Suara yang terdengar :”Ora ana wiwitan, ora ana enteke.” 10. Terlihat kepala kerbau jantan namun badannya tidak kelihatan, masih hidup. Suara yang terdengar :”Tunggangana.” Kemudian seperti ada suara Ave.... Ave....” 11. Kami diberi lagi sarung namun warnanya lebih lembut cerah. Suara yang terdengar :”Sarung petinggi.” Mas Sugeng mengambilkan lagi untuk pa Sumeri. 12. Ada suara agar kami semua memeluk salib secara begantian. Kemudia terlihat seperti huruf BQ AVE 13. Terlihat simbol kelopak bunga yang tengahnya bulat. Kemudian seperti ada tulisan huruf alpa dan omega …. dibelakangnya seperti tulisan bougenville. 14. Ada suara bertanya :”Kowe mau diparingi sarung, arep koq pek dhewe apa koq wenehne sapa?” Aku menjawab bahwa akan kami berikan kepada yang membutuhkan (ternyata sarungku yang warna lembut untuk petinggi diambil oleh Ningrum. Semoga sesuai dengan niat Ningrum) Ternyata kami diampingi selalu oleh pak Damianus yang bertemu di Wangon. Simbol kami pada waktu itu adalah biah pisang yang sudah matang. Semoga saja, kami bermanfat bagi orang lain yang membutuhkan kami. Setelah jalan salib, kami melanjutkan perjalanan menuju Kalasan, karena pak Sumeri ingin membeli banyak rosario untuk peringatan arwah pak Surbakti. Kemudian kami beristirahat di rumah mas Sugeng. Semua bersepakat untuk melanjutkan ziarah ke gua di Tawangmangu. Aku menghubungi Priono mau pinjam rumahnya yang di Matesih untuk menginap. Kebetulan Priono berada di Yogyakarta, menggantikan temannya yang masuk ICU kena stroke. Kami berangkat dengan satu mobil saja milik mas Sugeng, sedangkan mobil pak Sumeri ditinggal di Klaten. Sesampai di Matesih, kami makan malam nasi kare dulu di dekat terminal, baru menuju kerumah dan sudah ditunggu oleh mas dan mbakyu Kardjo. Seperi biasa, kami ngobrol dengan tuan dan nyonya rumah sampai larut malam. Mbakyu Kardjo diminta anaknya untuk bertanya kepada pak Pudjono tentang si bungsu, siapa jodohnya yang dianggap pas. Mungkin karena tebiasa tidur di halaman gua, yang tidur di kamar hanya aku dan pak Sumeri. Lainnya terpencar, ada yang di kursi, ada yang di depan tivi. Malahan pak Pudjono tidur di depan rumah. Selasa 22 Oktober 2013 pagi pagi sekali dimanfatkan keluarga mas Kardjo dan tetangga sebelah untuk berkonsultas dengan pak Pudjono. Kemudian, setelah sarapan pagi, kami melanjutkan perjalanan ke Sepanjang Tawangmangu menuju gua Maria. Perjalanan lumayan berat karena jalan yang sudah beraspal hanya pas untuk satu mobil. Di gua Maria kami ditemui oleh mas Narto yang mengurus gua tersebut. Kami sempat ngobrol sejenak tentang gua Maria ini, yang pernah dirusak oleh kelompok orang tidak bertanggung jawab. Patung Bunda Maria sudah diganti dengan patung yang terbuat dari perunggu. Kemudian kami pamit untuk melaksanakan ibadat jalan salib, ditempat sekitar gua. Jalan salib ini termasuk masih baru, menggantikan jalan salib yang begitu panjang dan menanjak dan sudah dirusak lebih dahulu. Bangunan salib besar sedang dalam taraf pengerjaan, pas di jalan masuk ke gua yang menurun. Ternyata roh pak Mardayat sudah menunggu kami dan berdoa di depan kami. Kami mengucap syukur kepada Bunda Maria yang mendampingi kami. 1. Tuhan Yesus dihukum mati Karena tidak membawa lilin, ternyata pak Pudjono melihat simbol lilin dan korek api yang selalu tersedia di setiap pemberhentian. Menyalakan lilin rohani menjadi tugas pak Sumadi. Simbol yang terlihat pisang sesisir. Pak Damianus juga menyertai kami dan berkata :”:Turunna neng anak putu.” Pak Pudjono menerima cincin untuk Lusi. 2. Tuhan Yesus memanggul salib Yang terlihat adalah simbul bungkusan nasi. Suara yang terdengar :”Padha panganen.” Kami antri untuk mengambil nasi dan memakannya secara rohani. 3. Tuhan Yesus jatuh pertama kali Pak Pudjono melihat seperti seseorang yang sedang duduk di kursi santai. Sewaktu ditanya, ada suara jawaban :”Marcelinus Vebi. Aku arep ndongakake kowe ben tentrem.” 4. Tuhan Yesus bertemu Bunda Maria Pak Pudjono melihat banyak sekali mainan anak anak, dan kami disuruh mengambil berapapun terserah. Suara yang terdengar :”Gawanen, nggo oleh oleh bocah.” Aku mengambil untuk para cucuku. 5. Tuhan Yesus ditolong Simon dari Kirene Pak Pudjono melihat Tuhan Yesus membuka tangannya dan menengadah. Kita semua diminta untuk menghaturkan ucapan terima kasih atau apapun, dan yang akan disampaikan kepada Bapa di sorga. Kami semua berdoa masing masing kepada Tuhan Yesus. Ternyata Tuhan Yesus berkenan menemui kami di Tawangmangu. 6. Veronika mengusap wajah Tuhan Yesus Pak Pudjono hanya melihat simbol buah salak sebutir. Suara yang terdengar :”Kanggo nambani wong lanang.” (kulit salak direbus) 7. Tuhan Yesus jatuh kedua kali Pak Pudjono melihat simbol lontong, kemudian seperti jinantra/ permainan anak yang berputar namun warnany gelap. Suara yang terdengar :”Ora kanggo kowe, kuwi kanggo bocah enom.” 8. Tuhan Yesus menghibur para wanita Pak Pudjono melihat lagi Tuhan Yesus yang menengadahkan tangannya. Suara yang terdengar :”Aja ndonga mung kanggo awakmu dhewe. Wiwit saiki ndongaa kanggo sedulur sedulur kang nelangsa, kang sengsara.” 9. Tuhan Yesus jatuh ketiga kali Pak Pudjono melihat lagi, Tuhan Yesus di depan, dan dibelakangnya Bunda Maria. Suara yang terdengar :”Aturna apa wae kang dadi panyuwunmu.” Betapa semua merasa kaget bercampur sukacita dan perasaan macam macam. Berdoa menyembah sambil menangis cukup lama. Aku sendiri malah tidak bisa ngomong ataupun memohon sesuatu. Gusti, kawula malah bingung badhe menapa. Ingkang wonten namung kebingahan, kesupen sedayanipun. 10. Pakaian Tuhan Yesus ditanggalkan Pak Pudjono melihat bahwa aku sedang ngrogoh sukma, menyembah. Kemudian ngobrol dengan pak Damianus. Sepertinya pak Damianus ingin menyampaikan sesuatu yang cukup penting. Aku menjawab, sebaiknya nanti dirumah saja ngobrol agak santai. 11. Tuhan Yesus dipaku di salib Pak Pudjono melihat simbol naga raja dari emas, berkaki dua. Suara yang terdengar :”Arep ana bebadra.” Pak Abraham memberitahu bahwa dirumahnya ada tongkat naga raja tersebut. 12. Tuhan Yesus wafat di kayu salib Pak Pudjono melihat seseorang bertelanjang baju, wajahnya agak aneh cenderung jelek. Pak Pudjono bertanya siapa namanya, namun malah membikin kaget. Orang laki laki koq ngakunya bernama Dewi Supadi. 13. Tuhan Yesus diturunkan dari salib Pak Pudjono melihat simbol besek berisi beras, kemudian diambil pak Pudjono dan diserahkan kepada pak Abraham. Pak Abraham diminta berdoa kepada Tuhan agar beras tersebut diberkati. Kemudian terlihat kran air terbuka yang mengucurkan air. Pak Abraham diminta untuk memberikan ke masyarakat. Demikian juga simbul sapi, pisang satu tandan. agar diberikan kepada masyarakat. Kemudian terlihat seseorang seperti wanita berselendang yang mengaku bernama Dewi Sriti. Suara yang terdengar :”Aku sing dingen ngeni masyarakat kene.” Sepertinya Allah berkenan memberikan rezeki kepada masyarakat di sekitar gua Maria. Kebetulan masyarakat di sekitar gua Maria Tawangmangu tidak atau belum ada satupun yang beragama Katolik. 14. Tuhan Yesus dimakamkan Pak Pudjono hanya melihat kotak uang yang terbuka. Suara yang terdengar :’Pundi pundi iki isenana.” Kemudian pak Sumeri menutup ibadat jalan salib dan kami berkumpul kembali di depan patung Bunda Maria. Kami mengadakan kolekte untuk pak Sunarto. Pesan khusus untuk masalah tanah gua Maria ini aku sampaikan secara pribadi kepada mbak Ning, isteri Priono. Setelah istirahat sejenak, kami pulang dan mampir ke warung Gunung mas di Sepanjang, yang menyediakan menu sate landak dan minuman bir pletok (ramuan rempah rempah). Sampai dirumah, mbak Ning sedang membikin sayur dan minuman untuk kami. Kami istirahat sejenak, sebelum melanjutkan perjalanan kembali. Berkisar jam 17.00 Kami mampir ke rumah Ningrum, adiknya mbak Ning yang menunggu kehadiran kami. Jam 18.00 kami mengajak berdoa bersama Malaikat Tuhan dan Rosario, bersepuluh. Aku menawari Ningrum sarung rohani dan dia memilih sarung yang berwarna lembut. Selanjutnya kami pamit dan menuju ke gua Maria Mojosongo. Gua Maria Mojosongo sedang direnovasi besar besaran, sepertinya akan menjadi sebuah gereja megah. Kami beribadat jalan salib walau cukup gelap. Pak Sumadi membeli lilin untuk jalan salib, yang cukup untuk menerangi kami. 1. Terlihat ember, dan suara yang terdengar :”Dianggo ngranggeh, dianggo nggayuh rikala kowe kurang pengharapan, bimbang utawa ragu ragu.” 2. Terlihat kentongan. Kemudian ember timba tadi sudah berisi air. Suara yang terdengar :’Kon nggo adus.” 3. Terlihat seperti roti lapis hanya seiris, kemudian berubah menjadi bangunan berbentuk limasan. Ternyata penglihatan tersebut sebuah gapura. Suara yang terdengar :’Mlebet gapura. golek rahayu.” Kemudian terlihat dua buah tas kresek, dan suara yang terdengar :’Junjungen, gawanen mulih.” 4. Terlihat meja tamu bulat dengan empat kursi. Suara yang terdengar :”Jupuken salah siji. Kanggo uwong kang koq dongaake.” Sewaktu kami mau pindah, ada suara :”Aku aja koq tinggalake ora pamit. Dadia abdine sing bermanfaat kanggo uwong kang kekurangan, uwong ora duwe, memelas. Dongamu ampuh. Panyuwunmu.... (tak terbaca)” 5. Terlihat Alkitab baru. Suara yang terdengar :’Jupuken, kanggo pak Abraham ben dibukak.” Kemudian kliningan untuk pak Sumadi :”Gentha nggonen kalung.” Selanjutnya pak Sumeri diberi medali kuning (tembilak). Mas Sugeng mendapat cethok. Aku diberi sesuatu seperti fanbelt angka delapan, ternyata berubah menjadi dua cermin yang ditangkupkan. Suara terdengar :”Nggo ngresiki untu. Ben diudhari dhewe.” 6. Terlihat piala berisi pensil tiga buah. Suara yang terdengar :”Ben dianggo nggambar wajah Gusti Yesus, kanggo bocah bocah.” Yang mengambil pak Abraham, pak Sumeri dan aku sendiri yang memang sudah bercucu. 7. Terlihat uang logam banyak sekali dibungkus dengan kertas. suara yang tedengar :’Nek arep gedhe, kabeh kuwi kudu diwiwiti saka cilik, saka sithik.” Kemudian terlihat seseorang seperti membawa buku. Yang terdengar :”Buku Memule.” 8. Yang terlihat orang berjubah. Yang terdengar :”Bapa Ibis(?) Celibithus, bapa pembawa damai. Pastor Gregorius …… Ketoke kowe mau gela, ora ana sing ngawal. Mula aku ana mburimu karo cantrik.” 9. Terlihat seperti pintu terbuka didalamnya bertangga. Ada tulisan berjalan yang kurang lebih “call lithium yopy epicentrum” 10. Terlihat tembok terang dan berisi tulisan yang tidak jelas “Delicious hospital capri full berius ... catathiom….” Kami bingung dan bertanya. Suara yang terdengar :’Pengobatan untuk bahagia. Mboten, tegesipun taksih tebih saking menika. Pengobatan yang timbul dari diri sendiri karena berada disini. ....Jajalen dhewe yen ora percaya.” 11. Terlihat rumah kampung namun berlantai keramik merah. Suara yang terdengar :”Kanggo nileki sedulurmu sing isih adoh. Biasane ya kumpul ana papan kaya ngene iki.” 12. Terlihat seperti rumah sakit. Suara yang terdengar :”Gambaranmu kuwi kanggo gambaran kang gampang koq onceki. Saka kono kuwi diwiwiti kehidupan baru. Gambarane ana mijil.” 13. :”Takokna gunane jalan salib. Takokna neng awakmu dhewe. Apa kowe bisa lan kuwat kaya Gusti Yesus? “ Terlihat sabuk ikat pinggang dari bahan kain yang berlubang untuk mengencangkan. Suara yang terdengar :”Apa kowe uwis ana peningkatan nggone jalan salib. Yen bolongane akeh, kuwi ateges uwis akeh mengalami rintangan, mengalami cobaan. Copoten klambimu, copoten kathokmu, ilangana durkamu (mrekitik, gampil wungu dukane). Guwangen adoh adoh.” 14. Terlihat tripod. Suara yang terdengar :”Kuwi kaki penyangga sing ora gampang ambruk, Biasane kanggo alat kang aji lan teliti. Dadia awakmu dadi alat kang teliti. teruji, temancep ana suku telu. Dadia manungsa kang terukur lan berbobot ing ngarsaning Allah. Tunjangane gedhe.” Pak Sumeri kembali menutup doa syukur dan kami melanjutkan perjalanan menuju Klaten, ke rumah mas Sugeng. Malam itu kami menginap di rumah mas Sugeng. Pagi harinya setelah sarapan pecel, kami pamit dan melanjutkan perjalanan ke rumah pak Pudjono. Malamnya berempat berkunjung ke tetangga pak Pudjono dan berdoa rosario bersama. Kamis pagi tanggal 24 Oktober 2013. kami berempat pamitan ke pak Pudjono, melanjutkan perjalanan pulang ke Bandung. Malam hari aku sudah ditunggu dalam rapat panitia natal. Terima kasih Tuhan Yesus, terima kasih Bunda Maria, terima kasih santo Yosep pelindung Durpo, terima kasih para kudus yang telah menemani kami. Betapa banyak pelajaran rohani yang harus kami pelajari dan kami terapkan dalam kehidupan sehari hari. Kemuliaan kepada Allah, Bapa Putera dan Roh Kudus untuk selama lamanya.

Ziarah ke Lembang

19 Juli2013 Jumat pagi pagi kami bertujuh berangkat ke Lembang. Aku, nyonya, pak Sumeri sekalian, pak Pudjono, bu Sri Yohanes dan bu Asngadi sengaja akan mengikuti perayaan Ekaristi, yang dilanjutkan dengan Adorasi. Perayaan Ekaristi dipimpin oleh pastor Sunarto dan dilanjutkan dengan pentahtaan Sakramen Maha Kudus. Dari awal perayaan, sepertinya imam didampingi oleh seorang pastor yang mengaku bernama pastor Wang Yun Zen. Entah dia berasal dari mana, kami lupa menanyakannya. Kalau Jumat sebelumnya, yang mendampingi imam adalah pastor F.X. Sutardi yang katanya berasal dari mBoro Kulon Praga. Sambil istirahat, kami sempat ngobrol dengan pastor Sunarto yang berasal dari Puworejo. Beliau kebetulan pastor paroki di Lembang. Selesai ibadat, sepertinya para ibu kurang bergairah untuk meneruskan dengan ibadat jalan salib. Akhirnya kami hanya berkeliling di jalan salib, ada yang serius ada yang hanya ikut berjalan saja. Yang jelas, kami tidak melakukan ibadat jalan salib seperti pada umumnya. Dari awal sebenarnya kami didampingi oleh ki Wahyu Dumadi. Namun niat sudah terlanjur kendor. Kami mengajak apakah mau ibadat atau hanya jalan jalan saja, tidak ada jawaban yang meyakinkan. Ternyata di pemberhentian pertama, yang terlihat oleh pak Pudjono adalah lilin yang belum menyala. Bu Asngadi juga bisa melihat dan mendengar, walau sebagian. Di pemberhentian kedua yang terlihat Alkitab yang dibuka. Bu Asngadi mendengar bahwa itu di Injil Matius. Kemudia seseorang yang memakai sarung, yang sedang berjaga disitu. Yang terjadi malah pak Sumeri sepertinya ngrogoh sukma.. Di pemberhentian ketiga. terlihat lagi lilin belum menyala, dan bende/ gong kecil yang tengkurab. Pak Pudjono mendengar suara :”Babeku kudus.” Pak Sumeri bertanya, siapakah yang dimaksud, karena aku dirumah memang dipanggil babe. Aku menjawab bahwa ada tertulis “Abba ya Bapa.” Jawaban yang didengar :”Bapakmu sing suci.” Di pemberhentian keempat yang terlihat malah agak aneh. Seekor anak domba berbulu abu abu kehitaman, namun ekornya panjang. Ditengah diorama terlihatseperti buah atau sebutir telur, berwarna kemerahan muda agak kekuningan. Disini kita diminta hati hati, jangan jangan penglihatan tersebut adalah roh pengganggu. Sewaktu ditanya, anak domba tersebut mengaku bernama mBah Jabrang. Beberapa saat kemudian terdengar suara :”Unggahna aturmu.” Sesaat kemudian diteruskan :”Paningalmu kurang adoh.” Sejenak kemudian terlihat seperti seorang perempuan yang datang, yang kalau melihat cara pakaiannya, dia bukan dari suku Jawa. Kami hanya berjalan terus saja. Di pemberhentian kelima, yang terlihat ki Wahyu Dumadi sudah duduk disitu. Suara yang terdengar :”Pelipur lara.” Bu Asngadi mendengar :”Penghibur yang duka.” Kemudian terlihat seperti gulungan kertas atau kulit. Sesaat kemudian datanglah seseorang yang bertelanjang dada, disampingnya seorang anak kecil yang menyertainya. Seseorang tersebut mengaku bernama pak Supadi. Pak Supadi bersama anak kecil malah mendahului berjalan ke pemberhentian keenam dan berada di atas diorama.. Kemudian ki Wahyu Dumadi bersuara :”Sing jelas ora gawe gela. Mung dedongaa wae.” Di pemberhentian ketujuh, sepertinya ada suara :”Boma … Boma…” Kami bertanya apa maksudnya, lkarena seperti Jumat sebelumnya ada suara Boma juga. Suara yang terdengar :”Kanugrahan. Barang aneh dadi kanugrahan.” Di pemberhentian ke delapan sepertinya sepi walau ada bayang bayang yang tidak jelas. Selanjutnya kami menuju ke pemberhentian kesembilan. Yang terlihat sepertinya sebuah menara tinggi berpilar empat, modelnya hampir seperti menara Eifel. Kemudian terlihat lilin lilin kecil menyala yang semakin pendek. Lilin lilin tersebut dibagikan kepada kami satu persatu.. Di pemberhentian ke sepuluh, sepertinya terlihat simbul tempat minyak wangi. Beberapa orang mengatakan bahwa ada bau harum di sekitar atau didepan diorama. Pak Supadi sudah berda disitu duluan. Kemudian terlihat simbul lilin yang dikerok, kemudian diampelas. Menjawab pertanyaan kami apa maksudnya, terdengar suara :’ Diilangi reregede, diilangi murkane, angkuhe. Dadia pandhegane urip langgeng.” Setelah itu seperti terlihat simbol seperti nasi timbel yang dibungkus daun. Di pemberhentian ke sebelas. terlihat seperti aliran air dari atas, persis penglihatan yang di Totombok Kuningan. Kemudian bu Asngadi merasa kecipratan air, yang berasal dari belakang. Kemudian pak Pudjono melihat tulisan Iesu ses, dibelakang ada simbol bunga putih, piala yang tinggi, sibori tertutp kain, dan salib. Sewaktu kami menanyaka maksud simbul simbul dan air mengalir, suara yang terdengat :” Iesu ses kuwi Yesus mligi.. Lha yen air mengalir kuwi tegese berkat Tuhan yang melimpah.” Pak Pudjono melihat sepertinya banyak orang sedang mengantri ingin masuk ke sebuah pintu berwarna gelap kehitaman, yang bangunannya berkubah. Di pemberhentian keduabelas, terlihat sepertinya banyak anak domba. dibawah salib yang terlihat ada seseorang yang bersorban sedang menatap kepada para domba. Di pemberhentian ke tigabelas, pak Supadi dan sianak kecil masih menemani dan mendahului datang. Kemudian diatas terlihat simbol pisang sesisir yang sudah dipatahkan. Dipemberhentian keempatbelas terlihat sabuk ikat pinggang. Kami cukup lama berbincang di sini. Bu Asngadi malah melihat mbah kakung yang berdiri didepan banyak orang berpakaian jas hitam. Kemudian terlihat juga pak Asngadi. Kami mengucap syukur dan terima kasih kepada Tuhan, atas karunia yang kami terima selama ini. Kemudian kami kembali ke Bandung.

Wahyu Dumadi

Wahyu Dumadi 15 Juli 2013 Senin malam aku sudah ditunggu pak Sumeri di rumah pak Pudjono. Sore itu hujan cukup lumayan deras, sehingga becek dimana mana. Pak Sumeri ingin melanjutkan hasil komunikasi rohani pada Minggu malam, yang terpotong karena ada keluarga yang membutuhkan kami. Setelah membaca hasil ziarah di Lembang, pak Sumeri bertanya, siapakah sebenarnya “orang yang betelanjang dada duduk bersila” yangselalu terlihat sewaktu ibadat jalan salib di Lembang. Malam ini rasanya begitu mudah berkomunikasi. Pak Pudjono bertanya dan melihat seseorang yang duduk bersila tanpa pakaian, namun tidak jelas wajahnya. Bukan laki laki dan bukan perempuan. Suara yang terdengar :”Sing lenggah siniwaka arane Wahyu Dumadi. Sing oleh Wahyu Dumadi ing ajaling mengko, sapa wae kang pirsa lan gelem kanggonan. Gampangane bakal dituntun dening panjenengane. Ya Wahyu Dumadi iki sing nuntun, banjur kaaturake marang Gusti.” Kemudian seperti Wahyu Dumadi yang berbicara :”Cekak aten, tak tuntun bareng aku kang wus pirsa nalika Gusti Yesus jumeneng nata ingkang nunggal kaliyan Sang Hyang Roh Suci, medhar linggih nampi ingkang sampun dumugi wonten Ngarsanipun. Gampilipun kepareng ndherek Gusti. Kuwi ta sing kok goleki? Aja lali, critakna utawa dongengna marang wong akeh.” Kami bertanya, apakah Wahyu Dumadi hanya bertempat di pertapaan Carmel. Jawaban yang terdengar :”Wahyu Dumadi, papan ana ngendi wae bisa, ananging ingkang gampil wonten griya Alpabet utawi griya pertapaan. Lan malih wonten padhepokan Giri Wanti.” Kami bertanya arti dari Giri Wanti, dan jawaban yang terdengar :”Padhepokan wong wani ngelih, nggone wong sunyi, sepi penggalih. Ya kuwi jenenge kahyangan.” Kami bertanya apakah Wahyu Dumadi sama dengan malaikat pamomong. dan jawaban yang terdengar :”Sak perangan dudu, ananging leres. Malaikat Pamomong kuwi dudu Wahyu Dumadi, ya malaikat.” Kami bertambah bingung dan bertanya apakah hanya muncul sewaktu kami meninggal? Gambaran yang dilihat pak Pudjono, Wahyu Dumadi berjalan bersama kita, sedangkan malaikat Pamomong berada diatas, disamping Tuhan Yesus. Kami penasaran dan bertanya, siapa sebenarnya malaikat pamomong itu? Suara yang terdengar :”Malaikat Pamomong roh ingkang suci, ingkang ngreksa sak sintena kemawon. Dadi gampangane kabh uwong direksa malaikat. Ora siji, ya bareng ya dhewe dhew. Angel ta tembunge. Malaikat kuwi ngreksa awake dhewe, ya wong akeh, ya sesarengan. Ya diwastani kanggo aku ya kanggo kana kana.” Pak Pudjono bertanya, apakah Wahyu Dumadi itu sama dengan yang dilihat di Sukaharja, seperti anak kecil yang telanjang? Suara yang terdengar :”Bener tur jajag.” Kami merenung dan ngobrol apakah Wahyu Dumadi itu hanya satu atau banyak sekali. Kami mencoba membayangkan dengan akal kami dan akhirnya bertanya. Suara yang terdengar :”Bapa Wahyu Dumadi kuwi mung jeneng lan werna werna. Roh kang diutus dening Allah, tumrap wong kang seda. Kabeh nggoleki dhewe dhewe, bisa ketemu dewe dhewe, manut gambarane lan kiblate dhewe dhewe. Umpamane ana wong 500 manca, ya bapa Wahyu Dumadi ana 500 manca.” Apakah dengan banyaknya agama, gambarannya bisa berbeda beda? Dan suara yang terdengar :”Gampangane ya mengkono, gampangane sing isa nyuwargakake dhewe dhewe..” Bagaimana dengan orang yang meninggal dan masuk neraka? Jawaban yang terdengar :”Aku dudu bagian neraka. Tugasku sing ora kesingse (kesingsal), sing ndalan. Nek kamurkan aku ora ngerti.” Kami bertanya kepada bapa Wahyu Dumadi, mengapa jawabannya ada yang menggunakan bahasa krama inggil dan ada bahasa ngoko? Jawaban yan terdengar :”Nek basa (krama inggil) kuwi wigati. nek ora basa, kuwi mung keterangan.” Kami bertanya bahwa pengalaman rohani di Sukaharja ternyata ada yang diterima Gusti Yesus, namun ada juga yang tidak diterima Gusti sendiri; dan Santo Yusup yang menghadapinya. Apakah yang tidak diterima itu yang masuk neraka? Jawaban suara yang terdengar :”Neraka dudu urusanku. Kelompok kelompok kuwi kasebut kelompok katimbalan. Becike ana pengarep-arep ning kurang jangkep. Durung bisa kaangkat wektu kuwi. mBesuk yen ana wreditama katimbalan malih dening Gusti. Batesku mung tekan kene.” Pak Pudjono bertanya bagaimana dengan pak Mardayat dan pak Saan yang sudah sampai pelataran, dimanakan bapa Wahyu Dumadi? Suara yang terdengar :”Kelompok mbah kakung kuwi mengko lewat aku. Dikumpulake ana kemah Allah. Pokoke wis tekan kemah Allah, kari nunggu Gusti Yesus rawuh. Kuwi dudu Papan Pangentosan. ning Papan adhem Ayem, Papan Rubegda, papan ora kuciwa.” Kami bertanya sesuatu yang dijawab :”Ora, padha. Bedane aku ora sah nggoleki wis tekan dhewe. Jelase dalan menyang karahayon Dalem ora mung tunggal.” Kami dibuat kaget dan bingung sewaktu bertanya dalam sahadat para rasul bahwa Tuhan Yesus turun di tempat penantian. Jawabanya cukup aneh :”Papan Pangentosane ora ana. Gusti Yesus menika wonten nginggil.” Lha sebenarnya bagaimana? Jawabannya kembali lagi membikin bingung :”Ora ki, Gusti Yesus langsung tetep jumeneng nata. Kanggone angger angger seda, ning ora seda. Seda tumrape manungsa, ning ora seda kaya manungsa. Gampangane seda kanggone manungsa, ora seda kanggone Gusti. Lahiriyah seda, carane manungsa oncat nyawane. Kanggone Gusti ora pisah, ora uwal, isih tetep dadi siji. Jiwa lan ragane nunggal. Jiwa ragane yektos isih manunggal. Gampangane ora isa oncat nyawane.” Pak Sumeri penasaran dan bertanya apakah bapa Wahyu Dumadi itu berasal dari manusia ataukah dari roh? Jawabanya singkat :’Wujude uwong ning dudu uwong.” Aku juga bertanya, sebenarnya malaikat itu bersayap atau tidak? Suara jawaban yang terdengar :”Gambaran akal kudu nganggo suwiwi. Gambaran kapercayan lugas; gambaran asli kahanan kang ora kawetu. Ya kaya ngono kuwi.” Pak Pudjono bertanya tentang kepercayaan Budha seperti yang di candi Barabudur, bagaimana penjelasannya. Suara jawaban yang terdengar :”Pemimpine, pinunjule agama Budha ketemu aku, banjur diwujudake, dipapanake. Banjur dipamirsakake; banjur dijenengke, digrahitaake, wujude mengkono.” Apakah reinkarnasi di dunia ini ada? Jawaban yang terdengar :”Kuwi karangane sapa? Khalayak rame nganggep ana, ning ora ana. Khalayak rame nganggep isa, ning ora isa. Sing ana, jenenge badhar. Yen uwong ora ana sing isa.” Jawaban tentang karunia :’Kanugrahan kuwi saben uwong ana, ning beda beda.” Pak Pudjono bertanya mengapa malam ini tidak ada penampakan simbol yang berkaitan dengan Tuhan Yesus. Jawaban yang terdengar :”Gampangane sing ana, sing rawuh sing diutus.” Malam semakin dingin dan kantuk mulai merasuk. Kami mengucap syukur dan berterima kasih akan pengalaman komunikasi rohani ini. Berkisar jam sebelas lebih kami pamitan pulang.

Sembahyang 4 Juli 2013

4 Juli 2013 Kamis malam dalam suasana hujan rintik rintik, kami keluarga Durpa berkumpul di rumah mas Marselus (Ilut) dan Tina. Yang datang aku, pak Pudjono, pak Abraham, pak Sumeri, pak Sumadi, pak Yohanes BP, keluarga mas Totok. Dalam penglihatan pak Pudjono, ternyata hadir juga roh pak Mardayat, pak Saan dan seorang perempuan China bernama Valentin Dwi. Kemudian terlihat lilin kecil menyala. Kami masih ngobrol kesana kemari dan berkisar pukul 21.00 kami semua berdoa Rosario maupun safaat secara spontan. Aku sendiri mendoakan mbak Atik dan mas Tjiptadi yg sedang sakit. Aku sudah diberitahu pak Pudjono bahwa ada simbul anglo untuk mbak Atik. Maka aku hanya bisa berdoa pasrah, apa yang terbaik buat yang bersangkutan (berkisar jam empat pagi ada telepon dari Jakarta bahwa mbak Atik sudah dipanggil yang kuasa) Selesai berdoa, pak Sumeri bertanya apakah masih perlu mendoakan bagi mereka yang sudah ketahuan berada di kemah Allah. Suara yang terdengar oleh pak Pudjono :”Ora susah wae, wis slamet, becike ndonga kanggo sing liya wae. Aditya isih adoh, ora ketok.” Kemudian pertanyaan pribadi saling disampaikan, yang sebagian besar berkaitan dengan kebutuhan duniawi. Percakapan ini begitu rame yang tahu tahu sudah melewati tengah malam. Hujanpun masih berlangsung, walaupun pak Sumeri sudah mengajak untuk menutup pertemuan. Berkisar jam satu pagi, pak Pudjono seperti melihat Bunda Maria hadir walau hanya sejenak. Semua diminta untuk berdoa dengan kebutuhan masing masing melalui Bunda Maria. Setelah Bunda pergi, terlihat seorang perempuan yang berkebaya cukukp ketat, entah siapa orang tersebut. Dalam doa, mas Totok seperti melihat Bunda Maria sedang menutupi seorang anak kecil yang telanjang. Pak Sumadi melihat pelangi dan pohon kelapa. Beberapa saat kemudian pak Pudjono sesuatu yang gelap berwarna hitam, selanjutnya berubah menjadi orang yang cukup langsing sedang lenggah siniwaka. Setelah disapa, orang tersebut berubah menjadi lilin kecil yang menyala, di belakangnya ada salib tanpa corpus. Suara yang terdengar :”Sinaring jagat kang adi. Bengi iki kowe nemoni; tegese pinanggih kaliyan aryanipun Gusti Yesus piyambak. Milanipun mboten Gusti piyambak ingkang tedhak.” “Jagatmu kudu koq rubah; kowe kudu bisa dadi sinaring jagat. Kowe kudu bisa dadi tuladhaning …..” Pak Pudjono bertanya, apa bedanya lilin paskah yang besar dengan lilin kecil, dan ada suara yang terdengar :”Lilin Paskah namung ubarampe. Lilin kecil malah sinar kang adi..” Kemudian terlihat salib yang cukup tnggi dengan corpus, warna kehitaman. Dibawah salib terlihat seperti huruf “X” Suara yang terdengar :”Salib Kristus; “X” kuwi kanggo pancatan, kanggo uwong sing nggoleki Kristus, nggoleki buah buah salib Kristus kanggo kowe.” Kemudian dibawah salib terlihat ada gambaran putih yang mengelilingi salib, yang menggantikan tanda X. Suara yang terdengar :”Kang ajaib, kang mustahil uwis kebedhek; tegese yen kowe bisa nyemplung, … slamet. Ateges ana sajroning lingkaran kebahagiaan dibawah kaki salib Kristus. Gampangane aman ndherek Gusti Yesus.  (tanda panah) wis tekan, kabul. Ateges salib Kristus mboten sia sia, ora muspra.” Pak Pudjono bertanya, apakah yang berkumpul ini juga sudah masuk ke dalam lingkaran tersebut. Suara yang terdengar :”Gampangane oleh.” Kemudian pak Pudjono melihat simbol cicak berwarna putih, dan suara yang terdengar :”Nguwatake panemumu, ngiyani.” Karena hujan sepertinya berhenti, kami berdoa mengucap syukur sebagai penutup, yang kami lakukan sekitar jam dua pagi. Aku harus mengantar pak Abraham, sebelum pulang ke rumah.