Rabu, 02 November 2011

Pengalaman rohani tanggal 31 Oktober 2011

ZIARAH KELOMPOK DURPA LEMBANG - SUBANG
31 OKTOBER 2011


Hari Senin pagi kami bertujuh berangkat ke lembah Carmel Lembang, untuk mengikuti Misa kudus harian pada pukul 06.30 yang dipimpin oleh pastor Sunarto. Yang berangkat aku, pak Mardayat, pak Sumeri, pak Pudjono, pak Abraham. Pak Yohanes Asngadi dan pak Sumadi. Jalan dari Bandung ke Subang yang biasanya begitu macet, sepertinya begitu bersahabat dengan kami, karena hanya membutuhkan waktu berkisar setengah jam lebih sedikit.

Setelah itu kami ngobrol sebentar dengan romo Sunarto OSC. yang bertugas di paroki Lembang. Kami bercerita tentang kelompok kami dan beberapa pengalaman komunikasi rohani yang kami alami.
Kami juga bertemu dengan rombongan karitas dari Palembang yang berziarah dan piknik ke Bandung dan sekitarnya. Aku hanya titip salam untuk suster Petronela yang berkarya di Palembang. Persaudaraan antar keluarga Kristus sepertinya begitu akrab, walau hanya sekali bertemu. Demikian juga dengan beberapa penghuni kinder garten yang bersama-sama mengikuti perjamuan kudus. Kemudian kami pamit untuk melaksanakan niat kelompok Durpa melalui perenungan jalan salib. Sesuai kesepakatan, perenungan jalan salib ini dipimpin oleh pak Sumeri, kemudian bersama-sama mendengarkan pesan-pesan, gambaran atau apapun, melalui penglihatan dan pendengaran pak Pudjono, apabila memang “yang kudus” berkenan untuk kami semua. Pak Sumeri telah membeli buku kecil tentang jalan salib, mendampingi Bunda Maria yang selalu menyertai Puteranya.

Pemberhentian I Tuhan Yesus dihukum mati. Yang terlihat oleh pak Pudjono adalah lilin menyala dan anak domba. Selama ini kami rasakan sebagai simbol kehadiran Tuhan Yesus sendiri, yang berkenan menyertai kami. Suara yang terdengar :”Imanmu kandel, kapercayanmu kempel. Dadio tulodho sapadha-padha, aja wedi rekasa. Wis, semono wae dhisik.” Pada waktu itu terlihat ada tangan yang memberi lilin untuk kami satu persatu. Maksudnya untuk dinyalakan. Kemudian terdengar suara :”Wis murub lilinmu, ndang mubenga.” Sepertinya Tuhan Yesus memberkati kami semua dari belakang, dikepyuri air dari belakang. Ada suara lagi :”Mlakua, ora apa-apa.”

Pemberhentian II Tuhan Yesus memanggul salib. Yang terlihat seperti bulatan bulan dan disampingnya ada huruf “ON” atau mungkin huruf “oh”. Suara yang terdengar :”Bener…bener…bener. Leres…leres…leres, tutugna.” (dalam kurung ini kami tanyakan setelah kami istirahat di halaman gereja Subang pada malam hari. Yang benar suara yang didengar pak Pudjono sepertinya “ hom..hom..hom” pujian untuk Allah sendiri. Aku mengatakan bahwa apa yang kami lakukan pada waktu itu adalah memuji Allah dengan cara melalui jalan salib)

Pemberhentian III Tuhan Yesus jatuh pertama kali. Sepertinya kami diberi sebuah bulatan seperti telur yang diterima pak Pudjono. Di sekitar patung ada seperti telor besar, serta dihiasi banyak pita yang melingkar-lingkar. Ada tulisan “Circum legio santo!s at labradori (atau labora?) command, devious..” Suara yang terdengar :”Jaragen yen kowe wani nyebarake, tuladha marang umat. Muga-muga beja kanggo kang nampa.”

Pemberhentian IV Tuhan Yesus berjumpa dengan ibunya. Terlihat lilin menyala dan muncul huruf X dan M bergantian. Tulisan yang terlihat sepertinya “Less of durable.. “ Aku mengatakan bahwa huruf tersebut simbol dari Tuhan Yesus sendiri dan Bunda Maria. Dan kita semua ini sepertinya belum bisa tahan banting. Seperti ungkapan Jawa “inggih-inggih ning ora kepanggih. Suara yang terdengar :”Gampang….ning angel sing ngecakake. Wis, terusna, ora guyon.” Juga terlihat ada tali lawe.

Pemberhentian V Simon Kirene mengangkat salib. Terlihat ada piala dan medali, di bawahnya seperti ada tulisan:”Garden de viscous.” Kemudian terdengar suara :” Tegese taman kembang ambahan. Rungokna dhawuhe Gusti kanthi rapet lan teliti.” Pada saat itu juga terlihat seseorang tanpa baju laki-laki berambut keriting. Mungkin yang piket disitu. Pak Sumeri melihat salib biru tetapi miring.

Pemberhentian VI Veronika mengusap wajah Tuhan Yesus. Terlihat di atas patung ada bola dunia, di bawahnya ada lilin menyala dan huruf X. Suara yang terdengar :”Delengen ubenge surya, tanggal pira mengko kowe kepethuk Aku, tak jemput ana papan kerinduan, papan palegan.” Pak Pudjono bertanya cirinya kira-kira apa. Suara yang terdengar :”Ndherek Gusti … haleluya … haleluya … haleluya.” Kemudian terlihat salib dan suara yang terdengar :”Panggulen dhewe-dhewe.”

Pemberhentian VII Tuhan Yesus jatuh ke 2 X. Yang terlihat Tuhan Yesus menggendong salib di punggung. Suara yang terdengar :”Kudu kuat, amrih luwaring siksa kanggo kang padha ngandel lan percaya. Lakumu ora nggagap, lakumu padhang lan tekan.” Kemudian terlihat lilin menyala dan ada tulisan sepertinya :”Christos on come back in the world.” Suara penjelasan yang terdengar :”Gustimu kang rawuh.” (Pak Sumeri bertanya apa bedanya nggendong dan memanggul salib, dan suara yang terdengar :”Loro-lorone bener, mlaku manggul salib lan nggendhong salib sak bubare tiba.”)

Pemberhentian VIII Menghibur para wanita. Yang terlihat ada sebuah gua dan Tuhan Yesus duduk lenggah siniwaka. Kemudian berdiri di hadapan kami dan berkata :”Tampanen iki, panganen. Iki isih ana maneh, tampanen lan ombenen, ben slamet” Kami berdiri dan antri menerima pemberian tersebut, yang kami bayangkan adalah menerima Tubuh dan DarahNya sendiri. Kemudian ada suara :”Titik; Gusti kondur, wis suwung. Wis, sembahyanga sak kepenake.” (Aku bertanya apakah sebenarnya yang kami terima pada waktu itu, kemudian terlihat gambaran wujud yang kami terima, sepertinya model gudir/ agar-agar, dan suara yang terdengar :”Jenenge daging soca, embrio daging inti, ben tumbuh neng awakmu, ben ngrageni wadhagmu, gampangane cuwilane hosti, ananging hidup, ber-Roh. Yokuwi embrio sing urip ana awakmu. Sing bener daging kuwi tumbuh dadi gedhe, sak kojur tubuh podho karo (~~ sama dengan) Salirane Gusti. Amrih gampange anggonmu anggambarake, awakmu podho salirane Gusti. AwakKu ya awakmu, awakmu ya awakKu. AwakKu jejering manungsa, awake menungsa resik, kudus, kaya salirane Gusti. Sing diombe banyune Gusti. Nek rah kuwi nyawa, lha nek banyu kuwi sarana utawa genepe. Terlihat sinar kecil agak jauh “Guyangen awakmu. Tegese resikna awakmu gen pantes ndherek Gusti. Ora usah adoh-adoh, kon ngguyang anakmu utawa kon ngguyang bojomu. ” Aku mengatakan bahwa kita semua sudah seharusnya berani mengakui kesalahan kepada isteri maupun anak, yang selama ini merasa paling benar, karena merasa sebagai kepala keluarga. Kesalahan, dosa atau apapun namanya, lebih sering terjadi dalam keluarga)

Pemberhentian IX Tuhan Yesus jatuh ke 3 X. Yang terlihat ada gereja namun bentuknya bulat di bawahnya dan memanjang ke atas. Kemudian terlihat sepertinya kami ikut memasuki gereja satu persatu, mulai dari pak Sumeri, sampai dengan pak Yohanes yang berjalan mundur. Suara yang terdengar :”Bayangan kamulyan kowe iso tekan.” Dan tulisan yang terlihat :”Decides of complete.” (Pak Sumeri bertanya apa yang dimaksudkan dengan “kowe” apakah semuanya atau sebagian. Jawaban yang terdengar :”Ora usah kowe mbayangke wong liya ning mbayangke awakmu dhewe dhisik. Cekake mengkono, ning nek karepmu rak ora. Yen manut pikiranmu yen iso kabeh. Lha Gusti kang kuwasa mbukak lan nutup pintu. Koyo ngono wae ditakokake; kabeh. Pak Yohanes berjalan mundur, njagani yen ana wong liya melu. ”)

Pemberhentian X Tuhan Yesus ditelanjangi. Terlihat lilin besar dikelilingi lilin-lilin kecil dan lilin panjaman yang kami terima supaya diikut sertakan disitu. Suara yang terdengar :”Lilin iku kondurna.” Kemudian seperti terlihat banyak orang datang dari keempat penjuru, berkumpul di tempat kami berada menuju ke lilin besar. Sepertinya semua termasuk kami masuk dan hilang ke dalam lilin besar tersebut. Suara yang terdengar :’ Sebuten Asmane Gusti Allahmu ana kene.”

Pemberhentian XI Tuhan Yesus dipaku. Terlihat semua lilin kecil rebah menjadi satu ke arah lilin besar dan menyala bersama. Suara yang terdengar : “Wus manunggal, sakeca. Dadia obor kanggo kowe dhewe lan wong akeh. Ateges Gusti kang jumeneng nata wus makarya tenan. Delengen lan sawangen pasuryane Gusti kang wus labuh labet kanggo manungsa.” Tulisan yang terlihat sepertinya “Delicious wear of life con(s)tant”

Pemberhentian XII Tuhan Yesus wafat. Terlihat payung besar sekali di atas kami dan suara yang terdengar :”Kanugrahan pikantuk katentreman, pikantuk ….. okeh banget.” Tulisan yang terlhat seperti “Dominus cumulate de sanctos viscous delicious.” Suara yang terdengar :”Gusti wungu saka seda.”(Pak Pudjono bertanya maksud ucapan, karena masih di pemberhentian XII, dan suara yang terdengar :”Gusti wafat pasthi wungu saka seda” Aku mengatakan bahwa hal tersebut mengingatkan kita untuk yakin dan percaya bahwa Dia bangkit mengalahkan maut. Biarkan suara-suara lain yang mengatakan sebaliknya, yang berasal dari katanya)

Pemberhentian XIII Tuhan Yesus diturunkan dari Salib. Terlihat sebuah lilin paskah besar, di sebelahnya ada seperti buku nota atau ticket dan kami semua diminta untuk mengambil satu pesatu dan metulis nama kami masing-masing, kemudian diletakkan atau ditusukkan ke sebuah paku untuk antrian. Kemudian terdengar suara :”Kagawa jenengmu.”(Ada pertanyaan maksud dari kata kagawa, dan ada jawaban suara :”Sing penting, daftare jenengmu wis ana…ning durung nampa kartu masuk lho.)

Pemberhentian XIV Tuhan Yesus dimakamkan. Ada perintah agar kami semua menyatu dalam kumpulan dan diikat dengan tali lawe dan terlihat kami semua telanjang. Sepertinya kami di puk-puk kepalanya, namun tidak kelihatan siapa yang melakukan. Dan ada suara :”Wus kaangkat menyang kamulyan Dalem, bareng, sareng kalian Sang Kristus.” (ada yang bertanya mengapa tali lawe, dan suara yang terdengar :”Lawe, sabuke Gusti Yesus rak ya lawe.”)

Dalam doa penutup, yang terlihat sebuah salib. Kami merasakan betapa jalan salib hari ini penuh dengan berkat dan karunia yang begitu hebat. Yang tak terbayangkan, namun malah membuat isak kebahagiaan. Hanya ucapan syukur dan terima kasih kepada Tuhan yang telah memberikan rahmat. Akupun mengucapkan terima kasih kepada Bunda dan Santo Yusup yang menjadi pelindung kelompok kami. Aku juga menitipkan keluarga, khususnya untuk isteri yang berulang tahun dan mas Wira yang sedikit ada masalah dengan calon pasangannya.

Kemudian kami mengunjungi gua Maria yang masih dalam proses pembangunan. Kami berdoa masing-masing dan selanjutnya melanjutkan perjalanan ke Subang.


Kemudian kami berkumpul di gereja Subang, kulonuwun ke romo Handi Sadeli Pr bahwa kami mau berziarah dan menginap semalam di saung saja. Kami mendapat informasi bahwa pada pukul 19.00 akan diselenggarakan misa kudus penutupan bulan rosario, yang didahului dengan doa rosario bersama. Kami istirahat beberapa saat karena turun hujan kecil, merencanakan jalan salib kembali pada pukul 15.00. Aku mengusulkan bahwa pada jalan salib sekarang dengan perenungan pribadi masing-masing. Kemudian mendengarkan pesan-pesan atau perintah yang mungkin akan kami terima di setiap pemberhentian.

Berkisar pukul 15.00 lebih kami melakukan jalan salib kembali, (Gua Maria Tebar Kamulyan juga disebut Tuhan sebagai gua Maria Ikhlas, Renaning penggalih, Tulus, Paweh, Andum begja, Kang linuwih kang ana, Sejati karyo, Gamblang. Gunane kanggo tirakatan, kanggo semedi, kanggo ngalab berkah, kanggo wong leren atine, kanggo wong kang mati pendhem, pokoke kanggo ndherek Gusti).

Acara jalan salib
Pemberhentian I, yang terlihat lilin menyala dan burung seperti blekok atau kuntul atau pelican yang paruhnya besar warna putih. Suara yang terdengar :” Allah berkarya lewat hal-hal suci, nanging durung menclok neng awakmu ….. Ora perlu bertobat, wong wis bertobat.” Maksudnya apa? :”Ngomong tobat-tobat ning padha wae. Luwih becik ndandani urip. Nek ngendika kelakuan , ndhak ora apik. Nek kelakuan iku ngemu teges mojokake utawa nuding persune. Mula diilangi wae. Tobat iku ora mbaleni. “

Pemberhentian II, yang terlihat hiasan buah yang ditempel dari bawah sampai ke atas, diatasnya rata. Suara yang terdengar :”Jinjingen lan dumen, sebab kabegjan ora mung kanggo kowe, ning kanggo wong sing butuh. Carane nganggo iki wae…..Wis mundura, wis kanggo.” (dalam kurung ini hasil komunikasi tambahan di tengah malam. “Sing jeneng buah kuwi tegese menyegarkan. Yen kowe wis nampa kesegaran, dumna. Yen pirsa maknane utawa pirsa … lan isa negeske, wong liya wulangen. Iki buah asale saka Gusti, ateges mateng, mathuk, cocok. Yen saka pastor Handi, uwohe isih ijo, durung mathuk, durung cocok kanggone umat. Dadi secara pribadi durung mateng, apa maneh kanggo umat.”)

Pemberhentian III, yang terlihat pisang hijau setundun namun sudah matang, dan suara yang terdengar :”Iki simbul sing umum, ana misa utawa ana lingkungan. Romo malah amung saksisir. Dalam keluarga uga sak tundhun”. (Apa maksudnya dan ada jawaban :” Mbaca Injil Alkitab nganti tuntas, laksanakna. Gampang, ora kaya Gustimu, ora kudu mati.” Sepertinya banyak alasan untuk belum bisa melaksanakan, walau tidak terucap, karena ada suara :”Iki dhawuh, kudu diwaca kabeh.”)

Pemberhentian IV, yang terlihat ada gelaran karpet agak panjang, dan kami diminta maju satu persatu dan pak Abraham diberi minyak dalam cepuk. Kami diminta mengambil minyak, diusapkan ke kedua belah telapak tangan, kemudian diusapkan ke dahi, mulut dan dada, seperti membuat tanda salib kecil. Setelah itu diminta maju dan sujud. Kemudian kami disuruh berjajar rapat, diberi lingkaran putih di kepala kami masing-masing.

Pemberhentian V, yang terlihat Tuhan Yesus membawa cepuk besar dihadapan kami dan suara yang terdengar :”Wis tak parengake maju siji-siji, tak urapi. Iya kuwi kersane Allah, ya kudu mangkono, majua siji-siji, ndang cepet.” Kemudian kami diurapi satu persatu . Kemudian ada suara lagi :”Wis cukup, wis apik. Mosok ngenyang wae.”

Pemberhentian VI, yang terlihat Tuhan Yesus berjubah dan bertali pinggang yang ada kantongnya sebelah kiri. Suara yang terdengar :”Iki kanggo sangu. Sangu nggo golek macam-macam, sangu nggo kasunyatan…..; entek-entekane nggo berkarya. Sangu ben brajak (?), trengginas. ….Wis, mengko rak bisa.”

Pemberhentian VII s/d IX pak Pudjono agak mengalami blank, karena ada signal lain yang masuk, yang tidak berhubungan dengan kami, dan tidak kami masukkan disini. Ada simbol-simbol yang selama ini kami anggap berhubungan dengan kematian seseorang.

Pemberhentian X, yang terlihat pisang sesisir, tempayan berisi air, kemudian burung kuntul seperti di pemberhentian pertama datang di dekat pisang. Suara yang terdengar :”Sing pantes nampa Roh Kudus untuk hari ini mung pastur. Pokoke kowe lenggah wae, melu. Ya pancen dalane dhewe-dhewe, karyane dhewe-dhewe.” Hal ini seperti yang aku rasakan dalam hati, karena sebentar lagi akan ada misa kudus yang dipimpin oleh romo Handi Sadeli Pr. Pemberhentian jalan salib ini persis berhadapan dengan tempat diselenggarakan misa kudus, dimana gua dan patung besar Bunda Maria diletakkan di belakang altar.

Pemberhentian XI, Tuhan Yesus dipaku, sepertinya terlihat ada banyak orang beririt-iritan/ arak-arakan, berpakaian putih menuju ke Tuhan Yesus, lalu bersujud. Suara yang terdengar :”Melua lan tirokna. Gusti ora bisa apa-apa, Gusti ora berdaya. ….. Mangga kersa Gusti, kula naming ndherek, ingkang penting uwal saking pasiksan latu abadi. Muga-muga kowe kabeh kang ndherek, kajagi dening Roh Suci, terlindungi saka api abadi. Slamet… slamet… saka kersaning Allah… terpujilah Allah selama-lamanya.” (kami bertanya tentang maksud pesan yang membuat bingung, karena Tuhan Yesus sebagai manusia dan Allah bercampur baur. Suara jawaban yang terdengar :” Gusti Yesus matur dhumateng Allah Bapa di surga, ananging dhumateng Rohipun piyambak ingkang abadi.”)

Pemberhentian XII, yang terlihat oleh pak Pudjono dan pak Mardayat, dari tubuh Tuhan Yesus yang disalib, mengalir seperti air, namun pak Sumeri melihatnya seperti darah yang menetes. Pak Mardayat bertanya apakah boleh menadahi tetesan, untuk membasuh wajah. Kemudian terdengar suara :”Banyu suci, banyu keajaiban, banyu panebusan kanggo kowe. Kang tetes saka salirane Gusti dhewe. Ya inilah darahKu, inilah tubuhKu yang dikurbankan bagimu. Ya iki, kowe wis weruh, nyekseni. Kowe ora kepareng nyedhak, ora kepareng nadhah. Sebab iki Saliro Gusti kang langsung. Aku Gusti, dudu manungsa. Pancen kodrate beda, asal-usule beda. BengkokKu ana nyawamu. Darah dagingKu dikurbanake kanggo lestantune pra umat. Ya Aku iki kang mijil saka Bunda, saka Roh Allah kang kudus. Kang manjalma, seda kasalib, wangsul minulya wonten ing swarga. (terlihat ada titik besar), cukup. Ora samubarang wong oleh nyedhak lan nyawang sedane Gusti; apa maneh kena tetesaning darah.” Hal ini mengingatkan aku kepada darah perjanjian, hanya yang tertahbis saja dan sedikit perkecualian yang dianggap pantas menerimanya. Aku teringat bahwa kami belum bisa suci, sportif dan konsekuen dalam hidup ini.

Pemberhentian XIII, Terlihat Tubuh Tuhan Yesus di pangkuan Bunda Maria dan kepalanya ada di tangan kanan Bunda Maria. Tangan kananNya telentang ke bawah dan ada suara yang terdengar :”Nyedhaka lan unjukna atur panuwun marang Gusti Yesus kang sampun seda.” Kemudian pak Pudjono maju mencium tangan Tuhan Yesus, dilanjutkan pak Sumeri, terus pak Mardayat Kemudian terlihat tangan Tuhan Yesus sudah sedhakep di atas dada, pas giliranku untuk menyembah, dilanjutkan pak Abraham. Kemudian Tubuh Tuhan Yesus terlihat miring ke kanan menghadap kami. Tibalah giliran pak Sumadi dan ditutup oleh pak Yohanes Asngadi bersembah sujud.

Pemberhentian XIV, yang terlihat bulatan putih bersinar. Sewaktu pak Sumeri mendaraskan doa penutup, oleh pak Pudjono terlihat seseorang yang duduk bersila namun tranparant. Kami berlutut dan mengucapkan terima kasih akan pengalaman komunikasi rohani yang kami terima. Kemudian kami mulai bubar satu persatu, namun pak Pudjono mendengar ada suara :” Wong isih katon koq lunga.” lalu kami kembali berkumpul sampai menerima berkat, kemudian sesorang tersebut (aku bahkan mungkin kami semua percaya bahwa Dia Tuhan Yesus sendiri) kondur. Barulah kami menyelesaikan upacara ibadat jalan salib.

Berkisar pukul 19.00 kami semua mengikuti ibadat doa Rosario yang dilanjutkan dengan misa perjamuan kudus. Aku menyampaikan ujub untuk malam itu khususnya buat istri tercinta yang berulang tahun. Demikian juga untuk mas Wira, agar bisa menyelesaikan masalah yang sedang dihadapinya. Ada sesuatu yang aku rasakan kurang sreg dengan jalannya upacara tersebut, khususnya dengan lagu-lagu yang dibawakan pada saat misa kudus. Pak Pudjono melihat simbol pisang sesisir yang masih muda berwarna masih hijau. Kebetulan malam itu banyak sekali laron (binatang kecil bersayap yang keluar di malam hari pada saat hujan awal) berterbangan, termasuk memenuhi altar, sampai masuk ke piala.

Selesai upacara misa kudus, kami ngobrol sebentar dengan sesepuh di paroki Subang, bersilaturahmi. Suasana kekeluargaan sesama pengikut Kristus begitu terasa. Kemudian kami berjalan-jalan untuk mencari makan malam, karena sehari kami belum makan berat.

Pada malam hari di saung gereja Subang, aku membacakan kembali hasil komunikasi rohani yang dapat aku tulis. Mungkin perlu tambah kurang ataupun komentar lain, agar aku tidak keliru. Masih ada kesempatan untuk bertanya kepada yang kudus, apabila Dia berkenan mengajar kami. Tulisan dalam kurung diatas yang hampir ada di setiap pemberhentian, kami dapatkan di malam hari.

Pertanyaan tentang jalan salib di Lembang versi buku pak Sumeri, dibandingkan dengan hasil pengalaman komunikasi rohani sebelumnya yang agak berbeda. Melalui pak Pudjono ada jawaban :”Digawe sedih bisa, digawe seneng ya bisa, digawe apa wae ya bisa, kabeh bener, tergantung perasaanne sing nggawe. Yohanes ya ora ana,….. Ning mengko banjur piye, kan wis digawe ana Alkitab. Dongeng digawe cekak bisa digawe dawa ya bisa. Sing jelas Yohanes ora ana, Yohanes mangkir. Kabeh murid wedi.”

Pak Sumeri bertanya tentang wanita yang menangis, apakah Tuhan Yesus betul-betul memberikan penghiburan, dan jawaban yang didengar :”Akeh wong wedok kang podho nangis lan mbrebes mili sak turut ndalan. Ananging sing tekan Gusti diunggahke mung Bunda. Liyane ora ana. Resik ora ana uwong. Wong Aku iku megap-megap, ngomong wae ora bisa, apa maneh muni. Ana Injil, becike kudu ditulis mengkono. “ Kami disuruh menjabarkan sendiri dengan mengingat referensi pengalaman komunikasi rohani sebelumnya.

Kemudian bertanya lagi tentang Thomas yang tidak percaya, apakah Tuhan Yesus berbicara, seperti di dalam Injil. Jawaban yang diterima membikin kaget :” Luwih becik ora usah diomongke, mengko ndhak malah kisruh.”


Karena dianggap cukup dan banyak yang mulai mengantuk, kami mengucap syukur dan terima kasih. Komunikasi rohani kami tutup, dan dilanjutkan ngobrol macam-macam. Yang tidur dipersilahkan yang belum mengantuk melanjutkan ngobrol sampai pagi.

Pukul 05.45, aku, pak Yohanes Asngadi, pak Sumadi dan pak Abraham mengikuti misa kudus yang dipimpin romo Handi Sadeli Pr. Pagi hari itu rasanya komplit sudah berkat yang kami terima. Kami boleh menerima Tubuh dan Darah Tuhan Yesus sendiri secara nyata yang dapat kami rasakan melalui mulut kami.

Kemudian kami ngobrol lagi dengan para sesepuh paroki yang juga rajin mengikuti misa kudus harian.

Terima kasih Tuhan Yesus, terima kasih Bunda Maria, terima kasih Santo Yusup, terima kasih para kudus dan para malaikat. Kemuliaan kepada Allah Bapa, dan Putera, dan Roh Kudus, Allah Tritunggal yang Mahakudus. Seperti pada permulaan, sekarang, selalu dan sepanjang segala abad. Amin.

Minggu, 07 Agustus 2011

pengalaman rohani

4 Agustus 2011

Hari Kamis sore aku menjemput pak Pudjono yang baru datang dari Yogyakarta. Rumahnya menyala namun kosong, maka aku menunggu beberapa saat. Kemudian aku mampir ke rumah pak Siahaan, dan ternyata pak Pudjono sudah ada di sana. Kami ngobrol beberapa saat dan membicaraakan Leo yang menunggu pengumuman hasil test untuk masuk ke STPDN. Aku katakan bahwa yang paling penting adalah mempersiapkan diri menghadapi hasil yang paling jelek.

kemudian aku bertanya ke pak Pudjono bahwa di Bandung sedang muncul issue tentang bukit Lalakon di Soreang. Ada sekelompok orang yang mengatakan bahwa bukit Lalakon itu seperti piramida, yang lebih besar dari yang di Mesir. Pak Pudjono mencoba menerawang dan ada jawaban yang kurang lebih :”Bukit Lalakon kuwi jenenge gunung Trapsilo kanggo semedi. Kuwi gunung sing alami, dudu gaweane manungsa. Bongkahane kae jenenge bongkahan Hadar.” Kami tidak tahu apa arti hadar disini, apakah dari bahasa Sunda atau bahasa lain.

Kemudian kami bertiga berangkat ke rumah pak Mardayat untuk berkumpul dengan yang lain. Yang datang pak Abraham, pak Sumeri, bapak ibu Yohanes Asngadi, pak Yohanes BP, pak Bangun, mas Sugeng, mas Agus Budianto dan pak Slamet.

Kami ngobrol ngalor ngidul, dan berkisar pukul 21.00 aku memimpin doa pembuka, mengucap syukur. Semoga yang kudus dari sana berkenan hadir menemani kami.
Simbol yang terlihat adalah bulus, kemudian spt tulisan “on,” meja untuk menerima tamu dalam suasana lesehan. Setelah itu ada simbol mahkota raja, payung, dan sumur. Tidak ada suara apapun yang menyertai simbul-simbul tersebut. Kemudian terlihat simbul jago warna hitam.

Beberapa saat kemudian pak Pudjono mengatakan bahwa terlihat seseorang yang masih muda berjubah, kepala memakai sejenis sorban ubel-ubelan, membawa tongkat yang diletakkan di pundak. Sewaktu kami tanyakan, ada jawaban :”aku Bapa Maha Guru. Jenengku Bapa Sinar Kamulyan. Sinar kamulyan kanggo Durpa. Mulya-mulyane urip, isih mulya wong kang permana.”

Aku malahan yang diminta untuk menjabarkan makna kata-kata tersebut kepada yang lain. Dalam batinku, nama tersebut sepertinya lebih cenderung bahwa yang berkata adalah Tuhan Yesus sendiri.

Kemudian terlihat simbul gagang telepon dan ada suara :”Gusti saiki rawuh, sembahen nganggo caramu dhewe-dhewe, lan dongaa dhewe-dhewe.”

Setelah itu pak Pudjono mendengar suara :”Praptaning Gusti ora kanggo kowe kabeh, ananging mung kanggo Darmono. Darmono, mula endang ngadega, wulangen.”

Aku kaget setengah mati, karena aku sedang berdoa mengaku dosa yang mengakui sebagai anak yang bandel. Aku mengakui bahwa nyatanya masih sering berlari kemana-mana, dan malah menjauh dari kehendakNya.
Aku berdoa mohon bantuannya, agar Tuhan sendiri yang berkata melalui aku. Rasanya aku mengulang ajaran yang baru saja kami terima, bahwa dalam hidup ini harus selalu eling dan waspada, setiti ngati-ati menghadapi kehidupan. Hal ini sepertinya berkaitan dengan bahasa Alkitab, agar kita cerdik seperti ular namun tulus seperti merpati. Yang jelas aku tidak bisa mengingat semuanya, apa yang aku katakan.

Kemudian pak Sumeri mendapat perintah :”Marak a.” dan pak Semeri berdoa dengan berlutut.

Tuhan hadir pasti membawa karunia bagi kami semua, yaitu sinar kamulyan. Malam itu kami tanyakan kira-kira karunia apa bagi kami masing-masing.
Pak Slamet  yang terlihat buku tebal seperti alkitab
Pak Pudjono  yang terlihat neker/ kelereng berwarna transparan
Pak Abraham  yang terlihat bibir
Aku  yang terlihat tangan menjulur, yang memberkati
Pak Yohanes BP  yang terlihat seperti memandikan (nggrujugi) orang
Pak Yohanes Asngadi  yang terlihat seperti meteran panjang
Bu Asngadi  yang terlihat mawar putih
Pak Bangun  yang terlihat adalah akal atau pikiran
Mas Sugeng  suara “becike ora dhisik.”
Pak Siahaan  yang terlihat juga buku
Pak Sumeri  yang terlihat juga buku tertutup namun terbalik
Mas Agus Budianto  buku Perjanjian Baru namun masih tertutup
Pak Mardayat  yang terlihat sampur atau selendang warna kuning

Sekali lagi aku diminta untuk menjabarkan sinar kamulyan tadi secara garis besarnya, biarlah masing-masing mencoba merenungkannya, yang bisa disesuaikan dengan hati masing-masing.

Kemudian kami istirahat sambil ngobrol, karena nyonya rumah menyediakan mie rebus buat kami semua.

Berkisar pukul 22.45 pak Pudjono melihat ada orang yang bersila sedang memegang seperti bola berwarna transparan. Kemudian bola tersebut dilemparkan kepada kami masing-masing dan orang bersila tersebut menghilang. Bola transparan yang masih kosong tersebut kira-kira akan diisi apa oleh kita masing-masing.
Pak Pudjono mencoba melihat dari setiap bola yang ada di kami. Pak Pudjono sendiri melihat bahwa dalam bolanya terlihat seperti tangan yang bersalaman.
Pak Slamet  bola tersebut masih dilihat- lihat dan ditiup-tiup, bola masih kosong
Pak Abraham  bola diangkat diatas kepala dan berisi seperti rumah adat
Aku  katanya bola berisi banyak sekali sampai penuh dan bermacam-macam
Pak Yohanes BP  bola dimasukkan ke dalam perut di balik baju
Pak Yohanes Asngadi  bola dicium-cium, malah mau dibelah tetapi tidak jadi
Bu Asngadi  bola dibawa tidur dan dilela-lela/ ditimang. isinya seperti jelly
Pak Bangun  bola malah disodorkan kepada orang lain yang cenderung memaksa
Mas Sugeng  masih muter-muter, belum tertarik kepada bola tersebut
Pak Siahaan  bola diletakkan di bawah ketiak
Pak Sumeri  dengan heran bola diteliti dan dikatak-katik
Mas Agus Budianto  bola diletakkan di atas meja
Pak Mardayat  bola dipotong dibagi dua dan sedang dilihat apa isinya.

Kembali aku diminta untuk mencoba menjelaskan makna dari gambaran tersebut dan biarlah masing-masing juga mencoba menterjemahkannya.

Kemudian kami ngobrol kembali dan berkomentar. Pak Bangun bercerita panjang lebar tentang pengalaman mendalami segala macam kitab suci dan kaitannya.

Berkisar pukul 01.00 hari Jumat pagi, pertemuan ditutp dengan doa bersama, mengucap syukur atas segala pengajaran pendek, yang sebenarnya bermakna dalam sekali.

Selasa, 07 Juni 2011

Ziarah Durpo 26 - 27 Mei 2011

Perjalanan Ziarah Durpo
26 - 27 Mei 2011


26 Mei 2011

Hari Kamis pagi-pagi sekali kami berkumpul di rumah pak Mardayat. Kami berencana untuk melakukan ziarah ke Rangkasbitung; aku, pak Sumeri, pak Pudjono, pak Abraham, pak Yohanes BP dan mas Agus Budianto. Ternyata pak Mardayat tidak bisa berangkat, dan beliau kami minta untuk memimpin doa sebelum keberangkatan. Beliau malah menyiapkan lontong untuk makan sarapan di perjalanan.

Perjalanan ke Rangkasbitung cukup lumayan melelahkan, berangkat pukul 06.30 dan sampai di kampung Narimbang sekitar 12.30. Tujuan kami berziarah ke gua Maria Kanada yang berada di belakang Akademi Perawat di kampung Narimbang.

Setelah makan siang di warung sekolah, kami berjalan menuju ke gua dan bertemu pak Saimin dan istri yang sedang membersihkan lantai dan halaman gua maupun kapel untuk persiapan misa kudus. Kami baru mengetahui bahwa setiap malam Jumat Kliwon selalu diadakan ibadat jalan salib yang dilkanjutkan dengan perayaan Ekaristi, yang dimulai pada pukul 22.00. Hal tersebut kami anggap kebetulan, atau sebenarnya malah tuntunan Tuhan sendiri. Pada awalnya kami merencanakan akan berangkat pada hari Rabu, namun karena sesuatu hal mundur sehari. Pemikiran kami, pada malam Jumat Kliwon biasanya kami berkumpul di rumah pak Mardayat. (Rencanamu rencanamu, rencanaKu rencanaKu)

Aku berdoa di depan gua sebentar, kemudian pindah ke samping kiri di sebelah patung Bunda Maria. Sewaktu berdoa dengan mata tertutup, rasanya seperti berubah menuju kegelapan yang menyelimuti, namun kemudian berubah menjadi terang kembali. Pak Abraham malah merasakan dan melihat ada sinar seperti kilat. Pak Pudjono malah merasakan suasana yang begitu tenang dan mantap. Sedangkan pak Yohanes malah merasakan aroma bau bunga, biasanya simbul bahwa ada orang yang meninggal .

Kemudian kami kembali ke tempat istirahat model rumah panggung yang terbuka berlantai bambu (galar) di depan gua. Sambil istirahat kami mandi dan pesan minuman ke pak Saimin. Kemudian datang seseorang dan memperkenalkan diri sebagai pak Saban. Tidak tahunya beliau masih ada hubungan saudara dengan pak Saan almarhum, salah satu anggota Durpo. Beliau yang menjelaskan bahwa gua Kanada adalah singkatan dari gua Maria yang berada di KAmpung NArimbang DAlam, dibangun sekitar tahun 1986.

Pak Saban jebolan seminari dan bercerita banyak pengalaman, bagaimana melakukan ibadat jalam salib tengah malam selama 40 hari tanpa henti. Hari ke 40 dilakukan jalan salib di gua Maria Sawer Rahmat di Cigugur bersama teman-teman. Bagaimana beliau “melihat" keluarga kudus Nazaret dalam penampakan rohani. Kemudian pak Saban menelpon teman-temannya.

Sewaktu kami masih mengobrol, pak Pudjono berkata bahwa dia melihat “bulus.” Aku menangkap bahwa selama ini bulus menjadi simbul bagi kami, bahwa Bunda Maria berkenan hadir (bulus = ibu kang mulus). Pak Pudjono bertanya apakah nama gua di tempat ini. Yang didengar pak Pudjono kurang lebih :”Guwo kene kang diarani gua Nur. Tegese cahyo kang adi. Ana kene muncul cahyo adi putih. Gunane kanggo mbrantas kamurkan sing ono awakmu dhewe. Iso kanggo ngalahake api kemarahan dadi api suci. Wujude sinar kudus, api kudus. Saiki durung wektune, mengko jam 23....koyo ...cemlorot, warno putih koyo awakmu. Wis semene wae.”

Berkisar pukul 20.30 pak Pudjono melihat simbul selendang sutera berwarna putih. Selama ini kami ketahui bahwa itu simbul Bunda Maria sebagai bunda pengantara. Kami mengucap syukur dan berterima kasih.

Aku tidak tahu pada waktu pak Pudjono bercerita tentang ki Fadjar Baru yang sekarang sedang berkarya di Amerika, Timur Tengah, India dan China. Ada yang bertanya mengapa koq tidak ke Indonesia, suara yang didengar mengatakan :”Indonesia goblog, ora gelem berubah.”

Obrolan terhenti, karena sudah banyak umat yang berdatangan untuk melaksanakan ritual rutin. Selain kelompok kami, ada juga yang dari Jakarta, Serang dan sekitarnya.

Berkisar pukul 22.00 kami semua melaksanakan ibadat Jalan Salib, yang berlangsung hampir dua jam. Karena baru selesai turun hujan, maka jalan yang kami lalui cukup licin dan cukup gelap. Tetapi malam itu bintang-bintang bertaburan di langit. Di pemberhentian ke 6 - 7 yang terlihat simbul lampu teplok. Pak Yohanes menerima panggilan telepon bahwa ada yang meninggal.

Tengah malam setelah selesai jalan salib dilanjutkan dengan perayaan Ekaristi yang dipimpin oleh romo paroki Rangkasbitung. Semua umat menerima Tubuh dan Darah Kristus, yang bagi kami menjadi suatu karunia yang luar biasa.

Selama misa kudus pak Pudjono melihat simbul di dekat altar, seseorang yang kurus dan telanjang bulat. Sewaktu ditanya siapa, suara yang terdengar adalah :”Yokuwi awakmu dhewe.” Kata-kata tersebut bagi kami bermakna yang begitu dalam, bahwa di hadapan Tuhan kita harus telanjang, karena memang tidak ada yang bisa ditutup-tutupi. Hampir seperti yang aku katakan sewaktu masih ngobrol di petang hari, bahwa diberkatilah mereka yang miskin di hadapan Allah, bukan apa-apa dan bukan siapa-siapa.

Aku ngobrol dengan mas Agus, peziarah dari Serang sampai sekitar pukul dua pagi. Dia bercerita bertemu dengan Tuhan Yesus dan mengadakan perjanjian, sewaktu anaknya sakit dan hampir tidak tertolong lagi. Demi janjinya, dia siap menerima keadaan hidup pas-pasan walau tadinya kaya raya.




27 Mei 2011

Hari Jumat pagi kami bangun dan berdoa secara pribadi di depan gua Maria Nur. Dari Rangkasbitung kami melanjutkan perjalanan pulang lewat Bogor dan mampir ke Cikanyere. Karena banyak jalan rusak dan macet, kami baru sampai ke Cikanyere setelah lewat tengah hari. Suasana di Cikanyere cukup sepi karena hari biasa, kecuali sekelompok orang yang sedang melaksanakan retreat.

Sewaktu kami akan memulai jalan salib, sepertinya terlihat simbul bulan yang terang mendahului kami. Kami berdoa bersama mengucap syukur dan memulai doa permenungan jalan salib. Pak Pudjono melihat sepertinya kita semua diberi lembaran kartu yang harus diisi nama kita masing-masing.

Pada pemberhentian ke dua, pak Pudjono melihat sepertinya kita diberi kertas untuk diisi intensi kita masing-masing. Pada pemberhentian ke tiga, sepertinya semua kertas dikumpulkan, kemudian diganti dengan kartu nama yang dikalungkan dan diberi cap.

Pada pemberhentian ke lima, sepertinya terlihat simbol gelang dan cincin, suara yang terdengar disuruh memilih. Aku tidak tahu maksudnya.. Pada pemberhentian ke enam yang terlihat simbol telur dan suara yang terdengar :”Gawanen mulih.” Menuju ke pemberhentian ke tujuh, sepertinya kami diminta untuk antri satu persatu dan kami sepertinya diguyur air. Pada pemberhentian ke delapan yang terlihat simbol salak.

Sewaktu kami menuju ke pemberhentian ke duabelas, yang terlihat pak Pudjono agak aneh; lidi, bantal, tepas bambu, kendi kecil. Biasanya simbol-simbol tersebut untuk orang yang akan meninggal. Di pemberhentian ini bentuknya salib besar berwarna putih keperakan, berbeda dengan yang lainnya. Selesai kami berdoa, yang terlihat hanya simbol lilin menyala. Kami melanjutkan sampai ibadat jalan salib selesai.

Kemudian kami istirahat dan berjalan-jalan mengelilingi gereja besar yang berbentuk setengah lingkaran atau kipas terbuka. Gereja Santa Theresia. Rencananya kami akan mengikuti perayaan Ekaristi berkisar pukul 17.30. Sewaktu kami, aku, pak Sumeri dan pak Pudjono sedang istirahat dan ngobrol di samping gereja, terlihat simbol bulus berjalan melewati kami. Kami bertiga setengah berlutut berdoa dan bertanya. Suara yang terdengar :”Apike mulih wae, ora usah melu Misa.” Aku agak kaget dan bertanya siapa dan mengapa. Suara yang terdengar :”Pokoke mulih wae.” Pak Pudjono melihat simbol tempat tidur yang di dorong seperti di rumah sakit. Pikiran kami agak kaget, sepertinya aka nada apa-apa.

Akhirnya kami memutuskan pulang ke Bandung dan mampir dahulu ke rumah pak Mardayat. Kami meminta beliau untuk mempimpin doa syukur telah sampai dengan selamat. Tiba-tiba handphone pak Yohanes berdering dan mengabarkan ada pasien yang meninggal. Selesai berdoa pak Yohanes mendahului pulang. Kami masih mengobrol sejenak bercerita tentang perjalanan kami.

Selama Pak Pudjono di Bandung


31 Mei 2011

Hari-hari sebelumnya sewaktu aku dan pak Sumeri ke rumah pak Pudjono, suasana sepi walaupun banyak simbol yang terlihat. Simbolnya dalam benak kami berkaitan dengan kematian. Yang terlihat selalu antara teplok, anglo, pisang satu biji, kelapa dibelah.

Hari Selasa siang aku dan pak Sumeri ke rumah pak Pudjono dan ngobrol bersama. Kami bertanya mengapa simbolnya koq berkaitan dengan kematian. Kira-kira siapa, apakah kami mengenalnya. Biasanya memang kita kenal. Yang jelas pak Yohanes sudah mengurusi du orang yang sudah meninggal.

Berkisar pukul 16.00 pak Pudjono melihat simbol orang gemuk namun tidak kelihatan kepalanya. Pada awalnya berdiri, kemudian duduk bersila seperti bersemedi. Sewaktu kami tanya siapa koq aneh tanpa kepala, ada suara jawaban :”Pisowanan iku kudu ngene iki, pikirane ora ana. Mula ora nganggo sirah. Yen ngadeg tegese kowe isih nggoleki, durung patemon. Yen wis patemon kowe lungguh utawa jengkeng. Pisowanan alias ngadhep alias dumunung. Dumenung kuwi ana. Gunane kanggo nyadhong dhawuh, kanggo karaharjan, kanggo atur teka-teki. Kudune atur pisungsung dhisik, kanggo samubarang wae biso. Ndhek mau wis diwiwiti rosario; kanggo, oleh, pantes. Ora usah koq karang, koq eling-eling, spontan wae. Kanggo ngempelke ujub, kanggo ngempelke atur, Gusti wis pirsa.”

Kemudian yang terlihat seperti anak-anak agak gemuk berkulit kuning. Jangan-jangan berkaitan dengan permohonan pak Sumeri. Suara yang terdengar :”Nek ana tetingalan mengkene, isenana panuwunan gegadhang. Sebab bocah kuwi isih resik, isih mulus. Mula sesuwuna ben dadi, ben gangsar, ben lancar. Alfonsus (anaknya Andrianus Green Hill) klebu kategori iki.”

Setelah berhenti sejenak, terlihat simbol bulus. Pikiranku melayang ke Bunda Maria. Suara yang terdengar :”Gunane kanggo dongakake wong kang perang, kang padha padudon, kanggo nyirep prakara, kanggo nyirep ….. . Becike kanggo nglerenake. Nek ing kono ora ana unsur padudon, ora bisa.”

Beberapa saat kemudian terlihat simbol bunga pagi sore, katanya bunga fajar baru, dan suara yang terdengar :”Dadi kowe kudu bisa mbedakake kembang iki karo mawar. Ana titik terang, ana gegayuhan tercapai, ana pinuwunan kabul. Iki jenenge Kembang Sejati. Iki sifate tandha kanggo perseorangan. Yen ana simbol iki, menang.”

Kemudian terdengar suara yang melanjutkan ajaran awal :”Bubar atur pisungsung lan panuwunan, ditutup nganggo donga dawa, donga komplit (Bapa kami, Salam Maria, Kemuliaan, Terpujilah, berkat); paseban rampung.”

Beberapa saat kemudian yang terlihat seperti orang tua, telinganya besar njepiping, latar belakangnya berwarna putih. Suara yang terdengar :”Aku bapakmu dhewe-dhewe, utawa wong tuamu dhewe-dhewe. Eyangmu dhewe-dhewe. Aku ora duwe jeneng; kabeh lempeng kabeh pener. Jenenge Roh Asli. Papan dununge ana dhuwur. Pokoke Bapa Suci XXXXXXXXX. Ndang tutupen Aku selak kondur. .....Ngono wae koq gela.”

Kemudian kami berdoa penutup bersama-sama. dan kami mau bubaran.
Tiba-tiba terlihat manusia namun wajahnya hampir seperti kera walaupun giginya model manusia. Dia berjalan dari atas turun ke tempat kami dan berdiri di depan pintu. Sewaktu kami tanya siapa, dia menjawab:”Aku Kangjeng Babi Putih. Aku arep melu mulih karo pak Darmono. Aku arep njaluk suwuk, anakku ora bisa mlaku. Aku manggon ana Mangunan Rawakele; Mangunan Bojong, Tengere pedhut. Intine anakku ora iso mlaku, njaluk tamba. Sesuk wonge gen ketemu dhewe, lakonana.”

Aku agak kaget dan bingung karena biasanya yang jadi perantara pak Pudjono atau pak Sumeri. Suara yang terdengar :”Pak Darmono, kena apa kowe durung manteb karo tanganmu sing ana berkate?” Aku mengiyakan dan akan percaya sepenuhnya akan berkat Tuhan, biarlah Dia yang berkarya dan aku hanya saranaNya saja.


1 Juni 2011

Aku, pak Mardayat, pak Sumeri, mas Agus Budianto berkumpul di rumah pak Siahaan pada malam hari. Kami ngobrol macam-macam dan keinginan keluarga pak Siahaan ingin menanyakan bagaimana kemungkinannya Leo yang akan test psikologi untuk masuk ke IPDN, Demikian juga keponakannya yang test UMPTN.

Berkisar mendekati jam sembilan malam kami berdoa bersama-sama. Simbol yang terlihat pak Pudjono sebiji kacang tanah berisi dua biji. Sore harinya pak Pudjono melihat simbol seperti buah bligo atau markisah jawa beberapa biji diletakkan di atas tampah bambu.. Kelihatannya berkaitan dengan jumlah kedatangan kami di rumah pak Siahaan.

Kemudian terlihat simbol keris gayaman yang pegangannya berwarna putih. Setelah keris ditarik keluar, bentuknya wilahan tanpa luk, kemudian dimasukkan kembali.

Penglihatan lainnya sepertinya masih berkaitan dengan kematian. Berkisar pukul sebelas malam kami pamitan pulang. Agus Budianto sudah lebih dahulu pulang. Tidak tahu mengapa pak Pudjono. pak Sumeri dan Agus Budianto sudah ngantuk sekali. Aku mengantarkan pak Mardayat pulang.


2 Juni 2011

Malam hari aku berdua dengan pak Pudjono ngobrol di rumahnya. Seperti kemarin, simbol yang terlihat pisang sesisir memakai tali, anglo dan botol berisi minyak. Kemudian anak kambing bertenga panjang. Teplok, malah ayam putih yang sudah mati.
Setelah itu malah gunung berapi, bata satu biji; baju putih masih baru digantungan hanger.

Tidak ada suara apapun yang terdengar, yang bisa memberi penjelasan tentang tanda-tanda tersebut.



4 Juni 2011

Hari Sabtu aku ditelpon pak Sumeri, ditunggu di rumah pak Pudjono. Sejak hari Jumat aku sekeluarga mengikuti novena misa kudus setiap sore, menyongsong kedatangan Roh Kudus di hari Pentakosta. Aku menjemput pak Yohanes dan sekalian membawa nasi dan lauk untuk makan bersama. Pak Sumeri juga sudah membawa dari rumah.

Berkisar pukul 12.00 pak Sumeri berdoa rosario sambil bersila di bawah, aku dan pak Pudjono duduk di kursi. Di depan pak Sumeri terlihat seperti kotak persembahan. Pak Pudjono memberi tahu bahwa terlihat seperti Bunda Maria berbentuk kecil di depan pak Sumeri. Kemudian seperti terlihat seorang perempuan berpakaian seperti kimono bersabuk lebar. Dia mengaku bernama Dewi Oei dari Thailand. Suara yang terdengar :”Oei tegese putri cantik, Bunda sing rawuh saka kana; aku sing negesi (sepertinya Bunda Maria “menyatu ke tubuh Dewi Oei). Aku sing ngawaki..”

Sepertinya pak Sumeri diberi selendang putih, bertulisan seperti huruf Jawa :”Padha para samya nuGRAHA, lumebet ing alam baka.” Simbolnya bulan sabit kecil. Agak aneh karena graham memakai huruf besar.

“Aku Bracea of grade. tegese aku tangan kang diagem. Aku sakbenere ana Asia Timur. Wakile Bunda Maria ora mung aku; akeh kang ditunjuk. Dina iki aku.”

“Cobanen wae kanggo gelut marang persepsi, marang penganggepe wong kang menentang ilmumu (=ora percaya). Gampangane lidhahku kang njulur ngucap.”

“Alfonsus dipakani cecak, mengko rak mari, dangan, zirich(?)”

Pak Pudjono bertanya tentang Obat kanggo wong sing angel meteng, Gambaran yang terlihat agak aneh, kemaluannya dimasuki belut hidup. Hal tersebut berlaku bagi laki-laki dan perempuannya.

Dewi Oei :”Becike padha mangan dhisik, mengko ditutugake maneh.” Aku mengajak Dewi Oei makan bersama namun dijawab bahwa sudah membawa sendiri roti berwarna putih. Kami ngobrol bersama macam-macam sambil menghisap rokok, kecuali pak Sumeri.

Selama ngobrol malah terlihat seorang perempuan sedang habis mandi kramas. Ada jawaban dari arti kotak persembahan yang bermakna bahwa sebelum bersetubuh jangan engkel-engkelan dulu. Kelihatannya memang simbol untuk anak dan menantu pak Sumeri yang belum punya anak sendiri.

Pak Yohanes pamitan lebih dahulu setelah menerima telpon. Kami tidak tahu apakah ada yang meinggal lagi atau keperluan lain.

Pak Pudjono bertanya tentang simbol cahaya yang bermacam-macam.
“Mak pyur…., kaya kemukus , tegese sukma ilang;
“Putih lurus, tegese kudus;
“Cahya abang tegese nistha;
“Wong ketok ireng, golekana ana Alkitab;
“Cahya biru mlaku tegese pindahing jalmo saka kodrat dadi hegar:
“Sinar biru mandheg tegese umume kanggo wong bebal, wong sing ora bisa owah, ora bisa interaksi; biasane manggon ana wong pangreh. Gegambarane wong sing kepanjingan sunar cemlorot, sinar gegambaran kedadean, kuwi mung tandha.”

Aku bertanya tentang Santo Yusuf yang begitu sedikit tertulis dalam Alkitab. Dewi Oei menjawab:”Santo Yusuf kuwi tegese Yoel. Tegese sabda, arane saka kana. Asale saka dhuwur sing kuasa. Yoel ana kene tegese suci, samubarang resik. “Sih kadarman Dalem” Terjadi karena kerahiman Allah, kemurahan Allah. Dadi saka krsane kang kuwasa. Secara kepemimpinan dheweke iku Mikhael. Secara rohani Yoel - pribadine.”

Aku bertanya tentang umur, kapan meninggal dan sebagainya.
Dewi Oei:”Wektu kawin jarene umur 43. Sing jelas wis romo, wis bapa, ya wis yuswa. Keterangane tegesna dhewe.”

“Bunda Maria ketemu malaikat angkane 16 (ditulis miring ke kiri, aneh), tegese kencur, Kenya.”

Aku bertanya lagi tentang Santo Yusuf yang jadi pelindung Durpo, karena merasa belum jelas. Dewi Oei :”Mengko nek aku ngomong, kowe dipoyoki.” Aku jawab tidak apa-apa karena kami mencari kebenaran cerita atau dongeng.

Jawaban Dewi Oei :”Tanggal 3 (telu) Maret disebut grahana mati. Santo Yusuf kuwi sedane telu Maret, ora ana liyane. Tahune 73 (pitu telu). Pasarane Turi majeg. Dinane dina wiwitan, pasaran ke telu (menurutku Pon; ada gambaran makna orang membawa obor seperti dalam olag raga) Saiki Santo Yusuf lagi ana Timur Tengah, ngewangi wong demo. Ngewangi wong dagang asor, wong terlantar, wong kecumpen.”

Kami mencoba menghitung namun malah bingung sendiri, maka kami tanyakan kembali karena merasa tidak cocok. Jawaban Dewi Oei :”Pathok-pathokane Masehi. Biasane sing kok takokake umure, dudu tahune. Jatahe pitu telu seda, pitu enem mekrad. Ngenteni sewu dinane. Sara barat ya ana. Gusti Yesus mekrad swarga, Santo Yusuf isih urip. Ora let suwe ora ana, seda; marani bapa-bapa soleh, bapa-bapa wahid. Marani sing isih isa ditulungi, diapiri amrih dalan padhang. Lajeng minggah wonten papan pangentosan, nengga jemputan - panggilan; rawuhe Gusti Yesus. Banjur diajak sesarengan minggah. Thok.”

“Ana donya Santo Yusuf diarani bapa bangsa putih, bapa oei, bapa suci. Ana ing swarga diarani Bapa Gurdha, tegese bapa guru suci sagala bangsa, bapa guru suci segala umat manusia.”

“Santo Yusuf dados panguasaning nyepeng pintu swarga, berhak ngenep lan mbuka, nutup lan mbukak. Nyepeng pintu abadi.”

Pak Sumeri bertanya apakah bukan Santo Petrus yang memegang kunci dan dijawab Dewi Oei :”Santo Petrus kuwi tuladha kuncine munggah swarga. Tuladha prakaryan ben munggah swarga. Dadi tegese kunci, kabecikan lan tuladha. Santo Petrus mung nyepeng Kunci Sejati, sejatine urip, sejatine dalan.”

Berkisar pukul 15.00 pak Sumeri berdoa sendiri karena sudah kebiasaan rutin. Pak Pudjono memberi tahu bahwa ada patung Bunda Maria berpakaian biru, kecil di hadapan pak Sumeri. ?Yang terlihat ada tulisan atau suara :”Sion amandem (?)..Sion of woman wonderful classic. Jawane Ibu kang mulus tanpa cacat.”

Pak Pudjono bertanya pakah Bunda Maria akan memberikan pengajaran baru bagi kami semua, namun jawabannya agak aneh :”Badanku lagi lungkrah, lagi kesel, kakehan ujub.”

Tiba-tiba pak Pudjono melihat Tuhan Yesus di salib, kepalaNya tertutup kain putih baru bermahkota duri. Kakinya agak tertekuk ke atas dan badanNya melekung ke arah kami. Kami bertiga berlutut bersila dan berdoa. Pak Pudjono malah menangis tersedu-sedu saking terharunya. Kami hanya bisa mengucap syukur dan berterima kasih walaupun hanya sebantar bertemu dengan Tuhan Yesus. Kami bertanya apakah ada pengajaran dan dijawab :”Gusti ora paring dhawuh, mung wartakna.”

Kami bertiga berdoa panjang sebagai penutup, karena sebentar lagi kami akan ke gereja untuk mengikuti novena misa kudus menyongsong kahadiran Roh Kudus.


5 Juni 2011

Hari Minggu selesai perayaan Ekaristi sore hari, pak Sumeri mengajakku ke rumah pak Pudjono. Aku iyakan setelah mengantar istri pulang ke rumah.

Berkisar pukul delapan malam simbol yang terlihat adalah gong besar, kemudian potongan bambu model untuk tempat jimpitan yang di letakkan di tembok. Setelah itu terlihat seperti kitab suci tetapi tidak tebal dan tidak terdengar suara apapun. Kemudian terlihat kembang pacing yang bentuk hampir seperti buah rosella merah.

Bebeapa saat kemudian terlihat buah mahoni dan ada suara :”Mahoni kuwi umuk.”
Sesaat kemudian terlihat seperti poci kecil ada tutupnya, cenderung seperti cupu. Suara yang terdengar :” Cupu kuwi uga umuk …..kuluk, ….. ningrat, ….. ambassador, ….. kill.” Kemudian gambaran bendera berkibar dan terdengar suara pujian :”Glory….glory …Halleluya…”

Kami ngobrol dan aku berpendapat bahwa kalau dimaknai secara positif buah mahoni yang putih dan pahit itu bisa menjadi obat, yang selanjutnya secara bertahap malah bisa meningkat menjadi kuluk, diwisuda kemudian meningkat menjadi keluarga kerajaan menjadi ningrat. Pada saatnya malah menjadi duta atau utusan yang harus bisa membunuh ego kita masing-masing, demi melayani Tuhan. Pada saatnya akan ada pekik orak memuji dan memuliakan Allah.

Beberapa saat kemudian terlihat simbol telur putih di atas cawan. Suara yang terdengar :”Bibit kawit muncul.” Namun kemudian berubah menjadi sandal perempuan . Pak Pudjono bertanya :”Kangge sinten Gusti?” Jawabannya :”Kanggo wong akeh.”

Terlihat seperti orang bersila tetapi tidak jelas, kemudian hilang.
Terlihat telapak tangan kanan dan terdengar suara :”Wacanen , suratan takdhir, suratan hidup, kamulyan, kabegjan.”
Kemudian tangan tersebut pindah ke dada dan terdengar suara :”Madhep, manteb, ucul saka bebaya, lelakon, kewirangan, kedhungsang-dhungsang, termasuk kemlaratan.”

Kemudian terlihat orang bersila dengan kedua tangan di atas dengkul terbuka ke atas, suara yang terdengar :”Sumeleh.”
Dari bersila kemudian bangun dan menyembah dan terdengar suara :”Menyat, lingsir, kabul. Wis kabul ujarmu.”

Sesaat kemudian terlihat seperti perempuan telanjang memakai kalung berbandul permata bening, bersila. Tidak ada suara apa-apa. Malah di depan pak Sumeri seperti ada cepuk berisi perhiasan.


Pukul 21.40 terlihat seperti kupat luwar besar, dibuka dan diisi sesuatu (seperti kupat tolak bala) kemudian digantung. Suara yang terdengar :”Ben slamet.”
Kemudian terlihat sajen tumpeng ukuran kecil.

Pukul 21.50 kami berdoa bersama. Yang terlihat ada sebuat jam bundar yang menunjukkan waktu berkisar 7.20-7.30, kemudian berubah namun tidak jelas.
Di depan pak Sumeri terlihat orang memakai sarung warna merah, kemudian berubah menjadi orang yang kurus, tetapi tidak ada suara apapun.

Beberapa saat kemudian terlihat seseorang sedang merokok hampir separo. Aku bergurau terima kasih ada yang menemani merokok kecuali pak Sumeri. Kemudia ada suara :”Tak cecekke ndhak dilokake. Aku Kiai Slamet, arep nylametake keluargamu. Aku saka Parakan dieng.”
Pak Pudjono bertanya apakah kenal dengan Ki Mayangkoro dan dijawab :”Dheweke dahnyange gunung, aku mung wewengkon ngisor. Ben wong-wong ora kemrungsung pengin mulih wae. Wis tak tetegi, tak cegati.” Dieng terlihat merah membara, namun malah ada suara :”Sing abang kuwi arahe kidul kulon saka kene.”

Berkisar 22.10 terlihat dua ekor sapi beradu tanduk, bijig-bijigan.
Pak Sumeri bertanya tentang doa yang selama dia laksanakan apakah sudah benar atau bahkan keliru. Suara yang terdengar :”Rosariomu ditutugake dhisik, lagi panyuwunan siji mbaka siji. Tak baleni maneh rosariomu dibubarake dhisik, lagi panyuwunan. Nek ana pakempalan nuruta wae. Lha yen dhewe, ya ngene iki. Yen ora gelem berubah, jenenge kowe arep merubah sifat doa.”

Pak Sumeri maupun pak Pudjono bertanya apakah perlu memberi tahu warganya dan dijawab :”Apike ora wae, mengko ndhak janggal. Apike tirokna dhisik, kowe mengko ndonga dhewe. Lingkungan Girimas cocok karo karepmu.”

Pak Pudjono curhat bagaimana orang kaya ada ulang tahun saja merayakan dengan misa kudus, sedangkan yang melarat malah cukup sembahyangan walaupun untuk arwah yang sudah meninggal. Merasa tidak sanggup untuk memberikan stipendium yang pantas. Aku jelaskan bahwa stipendium sesuai dengan kemampuan, kalau perlu ditanggung oleh lingkungan. Suara yang terdengar :”Apike kabeh kudu disranani.”

Berkisar 22.45 terlihat simbol genthong besar dan suara yang terdengar :”Isine genthong sumbangan.”

Kemudian kami berdoa bersama sebagai penutup, Hari Senin pak Pudjono setelah mengambil pensiun, akan pulang ke Yogyakarta. Kami bersalaman dan titip salam untuk seluruh keluarga di Yogya.

Hari Seninnya aku mendapat kabar bahwa ada dua teman separoki, ex prodiakon dan dokter gigi meninggal dunia, keduanya diistirahatkan di RS. st. Boromeus Bandung. Sore harinya aku melawat kesana.