Jumat, 23 Juli 2010

Pengalaman 22 Juli 2010

22 Juli 2010

Kamis siang itu aku pergi bersama pak Pudjono menuju ke rumah pak Mardayat. Kami ada janji dengan keluarga yang anaknya sakit kejang-kejang untuk bertemu di rumah pak Mardayat. Di tengah jalan aku ditelepon bahwa anaknya kejang kejang kembali dan aku sarankan untuk dibawa ke rumah sakit lebih dahulu. Pertemuan masih bisa dilakukan di hari lain.

Kemudian kami mampir dahulu ke warungnya pak Hananto karena mereka juga ingin bertemu dengan pak Pudjono. Ada saudaranya yang terkena penyakit Lupus. Yang terlihat oleh pak Pudjono, obatnya buah kluweg. Bagi anak dan mantunya yang hubungannya sedang renggang, yang terlihat seeekor bebek jantan. Kelihatannya pak Hananto sedang menginginkan seorang cucu, karena terlihat seperti sedang menimang bayi.

Kemudian kami berdua ke rumah pak Mardayat dan ternyata beliau berdua sedang ke rumah sakit menjenguk menantunya. Kemudian kami ke rumah pak Benyamin yang kelihatannya sedang sakit. Dalam penglihatan pak Pudjono, obatnya buah bengkoang dan sepertinya harus memakai kacamata gelap. Hal tersebut diakui bahwa penglihatan salah satu matanya sudah tidak normal. Kemudian terlihat seperti seorang yang berdiri di depan warung memakai tongkat penyangga. Aku mencoba menjabarkan bahwa pak Benyamin harus memperhatikan orang miskin yang membutuhkan bantuan. Hal tersebut juga diakui bahwa selalu ada pengemis yang memakai tongkat penyangga yang selalu diberi lebih dibandingkan denga yang lain.

Berkisar pukul 19.00 kami berdua ke rumah pak Mardayat yang sudah menunggu melalui SMS. Begitu kami duduk, pak Pudjono melihat gambaran anak domba. Aku merasa lega karena biasanya Tuhan sendiri yang akan datang mengunjungi kami. Kami ngobrol seperti biasa karena baru datang.

Berkisar pukul 20.00 yang terlihat kendi dan masih sepi. Kemudian datang pak Siahaan bersama isteri. Berkisar pukul 20.30 yang terlihat gajah tetapi pendek dan kecil dan mengaku bernama Ki Durpa Wasesa. Kemudian berkata :”Mengko sing bakal rawuh Bapa Bijaksana. Saiki aku dhisik sing nemoni, mumpung padhang bulan, akeh sing rawuh. Bengi iki diarani dina paningal, dina padhang. Umume uwong dhisik kanggo berdoa, kanggo pertemuan. Nyadhong dhawuh utawa sowan Gusti. Tak wiwiti nganggo wicara agung, wicara guneman aneh tumrape uwong urip, ananging pener kanggo uwong seda.”

Kami bertanya siapa yang dimaksud dengan Bapa Bijaksana dan dijawab :”Bapa Bijaksana kuwi Bapa tetenger kanggo kowe, Bapa pepadhang, Bapa arah kaswargan, Bapa kang manunggal karo kowe, ateges arah lakumu, arah ……. uwis tut wuri, mung kari nglawehi. Bapa Padhang, Bapa Bijaksana kuwi sapa? Yakuwi Bapa Tritunggal Maha Kudus, Bapa kang menyatu salirane neng awakmu. Mesthine kowe rak uwis ngerti sing tak karepake. Banjur jumeneng nata, sangkan parane arah ngendi? Ana alam kelanggengan, alam kamulyan, alam kepenak. Mesthine kowe rak wis ngerti. Yakuwi titik temune roh kang manunggal, roh kang ditampi Gustimu. Wujude kowe uwis ngerti.

Saiki kowe rak uwis ayem atimu ta?Dadi gambaran padhang, gambaran tekan uwis bisa kok wujudake, uwis bisa kok ciptaake, uwis bisa kok rasakake. Kaya-kaya uwis bisa kok panggonake, bisa kok jlentrehake kanthi nyata. Yakuwi sing kayak ok jaluk mau. Jalukmu rak sawrga ta? Dadi yen kowe dongakake utawa nyuwunake, sing jeneng tetulung marang uwong kang ora ana, caramu kuwi bener lan Gustimu pirsa, lan nyaguhi papan panggonan kang kok suwun , alias nunggil kaliyan Sang Hyang Rama.”

Aku bertanya, apakah maksudnya berhubungan dengan roh yang sudah meninggal minta dibaptis secara roh juga. Dijawab :”Ana kene ora ana batesan baptismu utawa ora. Bedane, yen sing uwis dibaptis bisa sowan dhewe menyang Gusti. Sing durung dibaptis, kuwi jenenge munggah swarga karana kasih, katresnan amarga kok suwunake. Dadi gampangane, kowe sing bertanggung jawab, kowe kang mbukak dalan padhange, nemokake.”

Aku menyela dan bertanya tentang almarhum pak Saan yang katekis dan dijawab :”Yen ndelok saka ngarep mau, pak Saan uwis duwe dalam dhewe. Aku durung krungu dheweke munggah.”

Aku bertanya kembali mengapa dia belum bisa naik ke surga dan dijawab :”Cekake mengkene, Dheweke kurang bisa nggunakake tindak-tanduke lan akale khusus kanggo Gusti. Ketoke isih kurang percaya. Pak Saan tetep ora percaya, ora seneng karo kowe.”

Kami agak kaget dan memohon kalau bisa pak Saan dihadirkan, agar kami bisa ngobrol. Awalnya pak Saan idak mau menemui kami, namun kemudia dia berbicara :”Dongenge kok ora padha karo ajaran sing tak rungokake. Darmono kuwi ngobrol wae, ora gelem dongakake aku. Pudjono aja ketus karo aku. Mbah kakung ora mikirke aku malah ngguyoni wae. Siahaan wani dongakake aku ning kurang pener. Sing didhisikake anake, dudu aku.”

Aku berbicara kepada pak Saan bahwa kami mendoakan namun dijawab ora kanggo. Kemudian di Sukaharja kami bertiga mendoakan malah aku kena denda 300 Salam Maria. Pak Pudjono dan pak Sumeri didenda lebih sedikit. Kemudian kami bertanya apa yang harus kami lakukan agar beliau segera bisa diterima di surga. Kemudian pak Pudjono mengajak kami berenam berangkulan dan berdoa untuk pak Saan, dipimpin pak Pudjono dengan bahasa Jawa. Yang terlihat oleh pak Pudjono, pak Saan merasa senang, kemudian sepertinya mendaki untuk meraih jalan ke atas yang terhubung melalui selendang sutera putih. Selendang sutera ini sama seperti jalan yang harus dilalui untuk menuju kemah Allah sewaktu kami di Sukaharja. Tiba-tiba pak Saan memintaku untuk berdiri, kemudian aku diberi medali hanya untuk aku. Kami bertanya bagaimana untuk yang lainnya. Sepertinya kami semua diberi kartu transparan yang jika diperhatikan , dibolak-balik gambarnya sama, yaitu pribadi kami masing-maing. Aku mengucapkan terima kasih dan berpesan, kalau sudah sampai agar memberi tahu kami.

Kelihatannya belum puas, maka bu Mardayat diberi cincin yang dipakai di jari kelingking kanan. Pak Mardayat diberi sapu lidi, kemudian sepatu sandal. Pak Siahaan diberi kunci baru, bu Siahaan diberi peralatan dapur. Pak Pudjono diberi kunci kontak dan dikatakan bahwa tangan kirinya sudah bersih. Aku diberi asbak yang transparan.

Kemudian terlihat oleh pak Pudjono seseorang bersila namun transparan, di sebelahnya pak Saan duduk. Kemudian berkata :”Aku Gusti Allahmu, kowe uwis ngerti, ora bingung ta?” Kemudian kami berdoa pribadi bergantian.

Pada saat tersebut datang pak Ignatius Slamet berkisar pukul 21.30 dan konsentrasi agak terganggu. Kemudian Allah Bapa tidak kelihatan tetapi Ki Durpa Wasesa masih ada disitu. Komunikasi rohani terganggu karena ibu Mardayat menawari kami makan malam.
Selanjutnya obrolan sudah masuk ke yang duniawi, yang berhubungan kehidupan sehari-hari. Kami pamitan pulang sekitar pukul 01.30.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jagalah kesantunan dalam berkomunikasi, walaupun diselimuti kemarahan, kejengkelan, tidak puas dan sejenisnya.