Senin, 26 Juli 2010

Pengalaman 26 Juli 2010

26 Juli 2010

Senin sore sekitar jam 19.00 turun hujan cukup lebat walau sebentar. Aku janjian dengan pak Mardayat untuk kumpul bersama dengan para saudara Durpa sekitar pukul 20.00. Malam itu yang hadir adalah pak Pudjono, bapak ibu Siahaan, pak Abraham, pak Slamet, pak Wahyanto, pak Yohanes, mas Agus Budianto dan mas Agus Sudarno. Kami bersebelas, namun mbah kakung tidak selalu ikut karena kesehatannya.

Kami ngobrol kesana kemari sambil menunggu para saudara berkumpul. Dari awal pak Pudjono melihat simbul yang selama ini dianggap kurang baik, atau berhubungan dengan kematian. Yang terlihat pertama adalah lampu petromax.

Kemudian aku mengajak semua untuk berdoa bersama, semoga yang kudus berkenan memberikan sesuatu yang berguna bagi kami. Yang terlihat simbul teplok kemudian debok (pohon pisang). Selang beberapa waktu terdengar suara agar pak Abraham berdiri dan menunjuk seorang di antara kami sebagai pembuka obrolan malam itu. Pak Slamet yang ditunjuk, kemudian membuka Kitab Suci begitu saja, yang didapat Injil Lukas 18:31-34. Kami saling berkomentar sesuai pemahaman saat itu.

Yang terlihat oleh pak Pudjono adalah seperti tarub untuk perayaan yang dihiasi untaian kertas warna warni. Kemudian terlihat simbul sendok teh, setelah itu terlihat sibori yang ada tutupnya dialasi kain putih. Menurut pak Slamet, kita diajar bahwa kematian tidak harus membuat kita sedih berkepanjangan.

Suara yang terdengar oleh pak Pudjono :”Kanggone uwong urip ora.”
Dalam kenyataan pada umumnya kita akan bersedih jika ditinggalkan oleh orang-orang terdekat. Semua saling berkomentar dan berpendapat untuk mengamini.

Kemudian pak Hartono bercerita kesaksian sewaktu pergi ke Sangkalputung Klaten, patung Pieta terlihat seperti bergerak dan mendesah. Karena penasaran, pada hari lain pak Hartono mengajak isteri dan pak Sugeng pergi ke Klaten bertiga dan mengunjungi patung Pieta. Mereka bertiga mengalami penglihatan yang sama, bagaimana tangan Tuhan Yesus bergerak-gerak seperti kesakitan. Bagaimana Bunda Maria nafasnya mendesah membawa beban tubuh Tuhan Yesus.

Berkisar pukul 22.15 pak Pudjono mengajak untuk merefleksikan gambar bayangan yang ada di pak Hartono hadir di tengah-tengah kami. Yang terlihat oleh pak Pudjono adalah simbul Pieta, Bunda Maria membopong Tuhan Yesus, kepala-Nya terletak di tangan kanan Bunda Maria. Pak Hartono diminta menyampaikan keinginan kalau memang ada uneg-uneg.

Yang terdengar kemudian, sepertinya Bunda Maria berkata :”Ujubna apa, aturna. …… Kowe meneng, rungokna. …… Gulawenthahen, kowe rak bisa.”

Yang terlihat oleh pak Pudjono kemudian sepertinya pak Hartono diberi kalung liontin baiduri bulan yang lebih transparan. Kemudian sepertinya Bunda Maria menyerahkan tubuh Tuhan Yesus untuk dibopong pak Hartono. Harapannya bukan hanya dibopong disangga tetapi malah lebih dekat lagi, dirangkul ditempelkan ke dada bahkan diciumi. Sepertinya pak Hartono belum siap dan belum berani menerima anugerah besar tersebut.
Kemudian pak Hartono diminta berdiri menempel di tembok. Yang terlihat sepertinya kepala pak Hartono dikucuri air dari kendi. Kemudian kendi tersebut diletakkan di atas meja. Kami saling berkomentar, mengapa kendi sekarang di meja dan untuk apa?

Aku mengajak berdoa kembali untuk mengucap syukur, sekalian doa makan malam karena telah disediakan oleh mbah kakung. Sambil makan kami ngobrol kesana kemari.

Berkisar pukul 22.30 pak Pudjono melihat simbul lilin menyala yang sudah memendek sekitar 2/3 panjangnya. Kemudian terdengar suara :”Ngendikane simbul Gusti Yesus.”
Kami berdoa kembali mengucap syukur, dan kemudian kami diberi gambaran perumpaan tentang kami masing-masing untuk malam itu.
Gambaran pak Wahyanto seperti andhong kereta kuda dan seorang anak kecil duduk di belakang.
Gambaran pak Slamet seperti gunungan wayang kulit.
Gambaran pak Yohanes seperti menanam pohon pisang yang sudah berbuah tetapi buahnya kecil-kecil agak kisut.
Gambaran bu Siahaan seperti kain puti dijemur lalu dibersihkan dengan seblak rotan
Gambaran pak Pudjono seperti terlihat telapak kaki yang cukup besar
Gambaran pak Abraham seperti kertas memo yan ditulisi
Gambaran untukku seperti mendorong grobag, cikar
Gambaan mas Agus Sudarno seperti pompa
Gambaran mas Agus Budiyanto seperti sedang mengikat setumpuk pakaian
Gambaran pak Siahaan seperti gunung yang ada terowongan airnya mengalir ke bawah,
dan ada ikan yang naik ke atas masuk ke dalam terowongan air.
Gambaran pak Hartono seperti gelas ukur.
Biarlah masing-masing merenungkan arti gambaran yang telah diberikan tersebut

Kemudian pak Pudjono melihat simbul mutiara di atas di tengah-tengah kami. Selama ini yang kami alami apabila dalam adorasi melihat seperti kunang-kunang, kami yakini itulah simbul Roh Kudus. Apabila menempel di atas kepala seseorang, sepertinya berubah menjadi lidah api kecil seperti api lilin kecil

Pak Pudjono memohon agar Roh Kudus berkenan masuk ke dalam hati kami masing-masing melalui doa yang dipimpin pak Slamet. Setelah berdoa, pak Pudjono memohon agar diberikan gambaran apa yang harus kami lakukan ataupun simbul karya pelayanan kami.

Aku tidak sempat mencatat dan agak lupa semua gambaran tersebut. Bagiku sendiri diberi gambaran seperti membawa sejenis nampan persembahan yang berisi sesuatu dan ada payung.
Tanpa payung kemungkinan besar bisa kehujanan ataupun kepanasan. Yang jelas semuanya baik untuk pelayanan dalam kehidupan ini, walaupun kadang kala tugas tersebut terasa berat. Seperti yang aku ingat bahwa pak Slamet dengan gunungnya harus menjadi pembawa damai, melerai dan mendamaikan dua orang yang sedang membawa pentungan akan bekelahi.

Memasuki tanggal 27 Juli 2010 pagi oleh pak Pudjono terlihat seseorang yang mamakai caping yang masih baru. Kemudian terlihat seperti anak angsa, setelah itu terlihat tangga (andha).

Simbul Durpa pada saat itu spertinya kami sedang naik permainan ombak banyu yang berputar. Suara yang terdengar :”Sok-sok mrinding, sok-sok miris, ning wani. Ya ombak umbuling kahanan. Ning intine kowe tetep nunggang..”

Sewaktu pak Wahyanto bercerita tentang pengalaman dengan mertua yang berhubungan dengan caping, aku bertanya kembali siapa yang bercaping sebelumnya. Jawaban yang terdengar oleh pak Pudjono :”Ki Ujung Pamungkas. Tegese uwis lingsir.”

Kami berdoa penutup yang dipimpin pak Hartono kemudian pamitan pulang berkisar pukul 01.00 lebih.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jagalah kesantunan dalam berkomunikasi, walaupun diselimuti kemarahan, kejengkelan, tidak puas dan sejenisnya.