Jumat, 31 Januari 2014

Mengantar pastor yang pindah , maupun yang ditinggal neneknya

Senin tanggal 4 Maret 2013 Hanya tidur sekitar dua jam, pagi pagi bersama isteri sudah bersiap siap pergi. Pagi itu kami akan mengantar pastor Bekatmo (pastor paroki) pindahan ke paroki santo Yosef di Cirebon. Rombongan yang mengantar berkisar limapuluhan orang dalam satu bis, ditambah dua mobil pribadi. Rombongan sampai di paroki Cirebon berkisar jam 11.30 yang disambut dengan hujan deras. Kami semua bersilaturahmi dengan warga Cirebon yang menyambut rombongan kami. Sambil menunggu pastor lain yang juga pindah ke Cirebon, kami ngobrol sambil beristirahat. Aku melihat pastor Eko Susanto sedang menerima telepon dan wajahnya berubah, mata berkaca-kaca dan menutup mulutnya. Pasti ada sesuatu yang terjadi, maka aku mendekati. Dia bilang bahwa neneknya yang sangat dicintai baru saja meninggal. Dia ingin cepat cepat pergi ke Yogyakarta, dan aku minta tolong ke warga Cirebon, kendaraan apa yang paling awal berangkat menuju Jogya. Sokurlah mas Candra Setiawan menyediakan diri untuk mengantarkan dengan mobilnya. Sesaat kemudian aku lihat mbak Lis ibunya Aan yang sedianya ingin ikut mengantar, wajahnya memerah dan tegang. Ternyata ibunya di Semarang mengalami serangan jantung dan dibawa ke rumah sakit. Akhirnya aku, mas Candra dan pak Frans yang mengantar pastur Santo ke Yogya. Sedangkan mbak Lis beserta anaknya ditemani mas Martin berangkat ke Semarang. Aku sempat menghubungi pak Pudjono dan bertanya tentang ibu Marto Sudarmo, nenek pastor Santo. Menurut penglihatannya, ibu Marto Sudarmo malah begitu cepat sudah berada di tangga paling bawah. Tangga tersebut bagaikan trap-trap yang terus naik tinggi, menuju kemah Allah. Kemah Allah tersebut bagaikan di puncak bukit dan melayang diatasnya. Dalam mobil, aku bercerita tentang penglihatan yang dialami pak Pudjono. Dan aku tambahkan, boleh percaya boleh tidak. Namun hal ini mestinya kita syukuri bahwa perjalanan ibu Marto Sudarmo begitu mulus. Pasti selama hidupnya selalu berada di jalan Tuhan. Pastor Santo bercerita bahwa memang dia begitu dekat dengan sang nenek. Dan neneklah yang begitu mendukung agar dia mau menjadi pastor. Kami sampai tujuan berkisar jam sembilan malam lebih, masuk ke rumah dan berdoa dihadapan arwah ibu Marto Sudarmo. Beliau mempunyai nama komplit sebagai ibu Ignatia Maria Tarsinah Marto Sudarmo. Beliau bagikan tidur dan tersenyum dan aku mengucapkan kata-kata seperti yang diajarkan Tuhan Yesus, serta memberikan tanda salib di dahinya. Berkisar jam sebelas malam, kami meminta agar pastor Santo istirahat, karena besok pagi masih ada tugas panjang. Kamipun ingin beristirahat juga di rumah pak Pudjono, agar tidak mengganggu keluarga besar ibu Marto maupun tamu yang ingin menyambanginya. Kami bertiga menginap di rumah pak Pudjono, yang sudah menyiapkan makan malam untuk kami semua. Dan aku masih sempat ngobrol sejenak, sedangkan pak Frans dan mas Candra tidur duluan. Aku dan pak Pudjono masih ngobrol tentang wiyosan Dalem yang jatuh pada tanggal tiga Maret, dimana pak Pudjono dan pak Sumeri menginap di gua Tritis Wonosari. Senin pagi hari pak Sumeri pulang ke Bandung, sedangkan kami malam harinya gantian di rumah pak Pudjono. Selasa pagi, setelah sarapan yang disediakan ibu Pudjono, aku, pak Frans, mas Candra, pak Pudjono dan anak live in dari van Lith (lupa namanya) berangkat ke kediaman pastor Santo. Sambil menunggu acara Misa Requiem, aku dan pak Pudjono mencoba melihat gambaran ataupun pesan dari yang diatas. Siang itu hujan bagai tercurah dari langit, yang ingin mengiringi kesedihan para yang ditinggalkan. Pak Pudjono melihat ibu Marto Sudarmo berpakaian Jawa, keluar dari rumah dan sepertinya mau ke jalan besar. Sewaktu ditanya belia menjawab :”Aku arep methukake anakku dhisik.” Aku tidak tahu siapa yang dimaksud. Kemudian pak Pudjono mendengar kata-kata seperti :”Gijarat” Aku tidak tahu apa yang dimaksud, maka aku tanyakan dan ada jawaban :”Damai sejahtera.” Pak Pudjono melihat tulisan seperti running text, namun tidak bisa mengikuti semua. Yang bisa aku tangkap kurang lebih dan mungkin salah tulis : Patrio current noble standart Delicous state ....... Zamza carious on believe numerical zone God wonderfull gate pilar some human together with soul Circle circum first with Son Maria together with them believe….. (terlihat bunda bersalaman dengan yang datang) This is complete comeback was loose Ladies memoriam on home place smart Kemudian terlihat seperti bentuk pigura dan diminta untuk berhenti, karena upacara Misa Requiem akan segera dimulai. Dan hujan malah semakin deras, juga sayang karena jumlah hosti tidak mencukupi untuk semua umat. Batinku hanya bertanya, mangapa tidak dipotong menjadi dua, agar semuanya boleh menikmati Tubuh Kristus. Aku dan pak Pudjono memohon kepada Yang Kuasa, semoga dalam perjalanan ke makam sampai selesai penguburan, hujan berhenti. Harapanku malah sampai perjalanan kami pulang ke Bandung. Ternyata dikabulkan dan aku hanya bisa mengucap syukur dan terima kasih. Penguburan berjalan lancar, namun ternyata pator Santo sudah tidak bisa menahan kesedihan, menangis habis. Aku mendekati dan hanya bilang :”Puaskan saja mo, kami masih menunggu koq.” Selesai menangis pastor Santo melihat berkeliling, dan semuanya sudah berjalan pulang. Dia bertanya :”Lho pada kemana semuanya, kasihan simbah, tidak ada yang menemani, ditinggal sendirian.” Aku hanya berkata :”Mo, rohnya sudah enak Mo. Romo Kanjeng Pujo malah bilang profisiat, karena sudah lulus dari peziarahan. Badannya sudah terbaring diam dalam damai.” Kemudian aku berdoa dengan caraku dan aku lanjutkan berkata setengah ngobrol dengan mbah Marto Sudarmo. Rasanya cukup panjang aku ngobrol dan didengarkan oleh yang masih menunggu. Kami semua pulang ke rumah dan bersiap siap melanjutkan perjalanan. Mas Candra ngajak makan sore dahulu bersama romo Santo dan mobil kami isi berenam. Selesai makan kami ke rumah pak Pudjono, duduk ngobrol dan mandi sore. Romo Santo malah bisa tertidur di kursi dan kami biarkan saja. Aku hanya berpesan sebagai orang yang lebih tua dari romo. Sebaiknya kepulangan ke Bandung menunggu setelah mbah bungsu dari Kendari datang, karena selama ini belum pernah bertemu muka. Daripada suatu ketika menyesal tak berkesudahan, tidak ada seorangpun tahu akan kehidupan dan kematian seseorang. Sekalian pamit dan berterima kasih kepada bapak ibu Pudjono sekeluarga, kami pulang karena jam tujuh malam akan diselenggarakan ibadat arwah yang dipimpin prodiakon setempat. Selesai doa, ternyata pada kecapaian dan bergeletakan di tikar. Aku ngobrol dengan ibu dan adik adik pastor Santo di samping rumah, sambil menunggu kedatangan keluarga dari Kendari. Aku menyampaikan hasil komunikasi rohani dan titip semoga selama seminggu ini diadakan doa rosario keluarga. Demikian juga agar dilakukan intensi misa buat simbah selama tiga hari berturut-turut. Kebetulan stasi dekat dan melewati makam simbah Marto Sudarmo. Ternyata keluarga Kendari datang terlambat sekitar jam setengah sebelas malam. Karena sesuatu hal pesawat merpati ditunda cukup lama, demikian juga sewaktu mau mendarat di Yogyakarta berputar-putar dulu hampir setengah jam. Kami ngobrol bersama sambil menikmati oleh-oleh Kendari, mete, bagea mete dan kopi. Kemudian satu persatu ketiduran sehingga hanya aku dan mbah lik Kendari saja yang ngobrol. Obrolanpun tak sengaja ya hanya seputar gereja dan paroki. Sekitar jam tiga pagi mbah lik Kendari mengundurkan diri dan aku tidak tidur, hanya berjalan keluar dan mencoba untuk berdoa rosario pribadi. Ternyata doaku pun berputar-putar, kadang lenyap ditelan malam, terjaga kembali melanjutkan doa sampai habis. Aku tidak yakin apakah selesai betulan atau malah kelebihan, biarlah Tuhan yang tahu. Akhirnya, Rabu pagi sekitar jam tujuh kami berempat pulang ke Bandung. Mas Candra hari Kamis harus berangkat ke Medan. Aku berkata bahwa sekarng giliranku untuk tidur gantian. Pastor Santo berkata bahwa sewaktu tertidur dalam mobil, wajah neneknya muncul sampai dua kali. Inginnya kembali lagi ke Yogyakarta. Aku berkata bahwa simbah putri itu sedang menemani perjalanan kita. Dan aku juga berserita tentang pengalaman rohani sewaktu bertemu santo Petrus di Pasirimpun. Kami mendoakan anak seorang teman. Santo Petrus memberi tahu bahwa anak tersebut belum mau masuk ke sorga, karena masih “digondheli” ibunya. Ibunya harus rela, ikhlas melepaskan agar segera menikmati kehidupan kekal. Kebetulan bapaknya memang sedang bersama kami. Kemudian pak Pudjono melihat bahwa anak tersebut digandeng santo Petrus dibawa ke atas. Kami semua yang berkumpul, menangis seperti anak kecil, betapa kasihnya Tuhan melalui santo Petrus. Malah santo Petrus berkata agar hal ini diwartakan, betapa Allah begitu mengasihi umatNya. Akhirnya berkisar jam tujuh malam, aku turun di terminal Cicaheum, naik ojeg dan sampai di rumah dengan selamat. Terima kasih Tuhan atas penyertaanMu. amin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jagalah kesantunan dalam berkomunikasi, walaupun diselimuti kemarahan, kejengkelan, tidak puas dan sejenisnya.